Mahasiswa sering digadang-gadang sebagai generasi berpendidikan yang mampu berpikir kritis dan terbuka. Namun, ironi muncul ketika lingkungan kampus justru menjadi tempat berkembangnya budaya labelisasi.
Sebuah komentar kecil, tindakan ramah, atau pilihan bergaul tertentu sering kali dianggap memiliki maksud tersembunyi. Padahal, belum tentu ada motif seperti yang diasumsikan banyak orang.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan sosial yang cepat menghakimi. Di banyak kampus, mahasiswa yang sering berinteraksi dengan banyak orang kerap dilabeli "sok eksis" atau "caper".
Bahkan, keramahan terhadap lawan jenis sering kali dikaitkan dengan maksud romantis. Akibatnya, seseorang yang hanya ingin membangun relasi secara sehat menjadi ragu untuk mengekspresikan niat baiknya.
Apa sebenarnya yang memicu budaya ini? Salah satunya adalah norma sosial yang terlalu sempit dalam memandang hubungan.
Lingkungan kampus yang heterogen seharusnya menjadi ruang untuk eksplorasi dan kolaborasi, tetapi sering kali diwarnai oleh mentalitas "zona nyaman" yang membatasi. Siapa pun yang berani melangkah di luar norma yang tidak tertulis ini berisiko dilabeli dengan berbagai stereotip negatif.
Budaya labelisasi ini memiliki dampak nyata pada hubungan antarindividu. Niat baik seseorang untuk menjalin relasi sering kali disalahartikan, menciptakan jarak emosional dan psikologis.
Tidak sedikit mahasiswa yang akhirnya memilih mengisolasi diri demi menghindari label yang tidak diinginkan. Padahal, dalam dunia nyata, kemampuan untuk berjejaring merupakan salah satu keterampilan penting.
Lalu, siapa yang sebenarnya rugi? Tentu saja, tidak hanya individu yang dilabeli, tetapi juga lingkungan kampus secara keseluruhan. Budaya ini menciptakan atmosfer yang kurang kondusif untuk kolaborasi dan inovasi.
Bayangkan jika seseorang dengan potensi besar tidak berani mengeksplorasi kemampuan sosialnya karena takut dilabeli negatif. Berapa banyak peluang kerja sama yang hilang?
Menyelesaikan masalah ini membutuhkan perubahan paradigma. Mahasiswa perlu diajarkan untuk menunda penilaian terhadap orang lain dan lebih fokus pada komunikasi terbuka.
Selain itu, kampus sebagai institusi dapat berperan dengan mengedukasi pentingnya membangun lingkungan yang inklusif, niat baik tidak selalu dikaitkan dengan motif tertentu.
Budaya labelisasi hanya akan terus tumbuh jika kita membiarkannya. Dengan memulai dari diri sendiri, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih suportif dan menghilangkan stigma yang merugikan. Apakah kita siap mengambil langkah kecil ini untuk perubahan yang lebih besar?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Memberdayakan Siswa sebagai Agen Perubahan melalui Mentor Sebaya
-
Tawa yang Berisiko! Kenapa Sarkasme Mahasiswa Mudah Disalahpahami Otoritas?
-
Jebakan Flexing! Ketika Bahasa Ilmiah Cuma Jadi Aksesori Pamer Kepintaran
-
Fenomena Bubble Kampus! Saat Eksklusivitas Prodi Mencekik Jaringan dan Ide
-
Kesesatan Berpikir Generasi: Predikat Tak Harus Verba, Kenapa Kita Salah?
Artikel Terkait
-
Kampung Budaya Padi Pandan Wangi, Sensasi Berlibur di Pedesaan Cianjur
-
Ramah Kok Dibilang Naksir: Yuk, Ubah Pola Pikir!
-
Jangan Salah Pilih! Cek Peringkat 10 Kampus Terbaik di Indonesia Sebelum Daftar
-
7 Beasiswa Kedokteran Full, Mulai dari Biaya Pendidikan hingga Biaya Hidup
-
Apa Itu IISMA? Diisukan Terancam Bubar di Tengah Carut Marut Kampus Merdeka
Kolom
-
Generasi Muda dalam Ancaman menjadi Pelaku dan Korban Bullying
-
Kenapa Gen Z Menjadikan Sitcom Friends sebagai Comfort Show?
-
Merosotnya Kepercayaan Publik dan Pemerintah yang Tak Mau Mengalah
-
Dirut Terra Drone Tersangka, Safety Kantor Wajib Dievaluasi
-
CERPEN: Remote Televisi di Antara Norma dan Hukum Rimba
Terkini
-
Catat Tanggalnya! Lee Junho Gelar Fan Meeting Spesial Bertajuk STUNNING US
-
Bukan Makanan, Lesti Kejora Justru Ngidam Hal Anti-Mainstream Ini!
-
Hubungan Diuji! Sinopsis The Drama, Film Baru Zendaya dan Robert Pattinson
-
7 HP Rp 2 Jutaan Paling Kencang 2025, Skor AnTuTu Bisa Tembus 800 Ribuan!
-
6 Wearable Murah 2025: Mana yang Paling Worth It buat Dibeli?