Dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak orang yang melek dan peduli dengan kesehatan mental. Edukasi tentang isu ini pun semakin banyak disuarakan di media sosial.
Sehingga masyarakat semakin tahu tentang kecemasan dan ketakutan yang menimpanya. Kalau dulu mungkin kita tidak akan berpikir kalau keresahan yang mengusik kita adalah salah satu tanda dari mental yang butuh pertolongan, saat ini kita menjadi lebih terbuka untuk meminta bantuan pertolongan pada profesional. Karena datang ke psikolog tidak melulu mereka yang 'gila'.
Orang yang baru saja kehilangan, putus cinta, bercerai, mengalami kecelakaan atau bencana adalah salah satu dari sekian banyak orang yang harus ditolong psikolog. Sebelum gejala dan kondisinya lebih mengkhawatirkan, segeralah meminta bantuan profesional sebelum terlambat.
Karena ketahanan mental antara satu orang dengan orang lainnya berbeda. Sehingga kita tidak bisa meremehkan kesedihan orang lain. Jadi jangan pernah mengolok-ngolok temanmu bila ia galau berkepanjangan setelah habis diputusin sama pacarnya. Karena bisa jadi itu adalah momen yang sangat mengguncang dirinya hingga mempengaruhi aktivitasnya sehari-hari.
Begitu pula dengan kesepian. Dilansir melalui YouTube @sepulang sekolah, kesepian adalah penyebab bunuh diri nomor 1 dari orang-orang usia 20-30an di Jepang. Sehingga meski tampak sepele, tapi ini tidak bisa disepelekan.
Jadi ayo normalisasi pergi ke psikolog bila memang dibutuhkan. Karena selayaknya sakit fisik, sakit psikis juga butuh pengobatan yang tepat aga sembuh. Jika dibiarkan maka sakitnya bisa bertambah parah.
Jadi orang yang pergi ke psikolog belum tentu gila. Orang dengan gejala ketakutan, kecemasan, trauma, hingga kesepian juga harus ditangani sebelum kondisi ini semakin parah.
Namun stigma yang salah dan melabeli orang yang pergi ke psikolog dengan sebutan 'gila', justru bisa membunuh orang tersebut. Karena gejala ringan yang dibiarkan terus-menerus bisa menyebabkan depresi hingga berujung bunuh diri.
Tentu kita tidak menginginkan orang terdekat kita mengalami ini, bukan?
Jadi, ayo lebih terbuka dan waspada pada kesehatan mental, ya. Sayangi dirimu dan orang di sekitarmu.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.
Baca Juga
-
Tak Hanya Sesama Teman, Saat Guru dan Dosen Juga Jadi Pelaku Bully
-
Kisah Relawan Kebersihan di Pesisir Pantai Lombok
-
Viral Tumbler KAI: Bahaya Curhat di Medsos Bagi Karier Diri dan Orang Lain
-
Ricuh Suporter Bola hingga War Kpopers, Saat Hobi Tak Lagi Terasa Nyaman
-
Budaya Titip Absen: PR Besar Guru Bagi Pendidikan Bangsa
Artikel Terkait
-
Stigma 'Pria Tidak Bercerita': Mengapa Berbagi Cerita Masih Jadi Hal Tabu?
-
Ulasan Novel Yang Paling Patah Antara Kita, Isu Kesehatan Mental di Kisah Empat Sahabat
-
Gegara Berseteru dengan Nikita Mirzani, Fitri Salhuteru Sebut Anaknya Sampai Butuh Psikolog
-
Aktris China Zhao Lusi Ungkap Depresi dan Dugaan Kekerasan yang Dialaminya
-
Ulasan Buku Penat, Cara Mengelola Emosi Ketika Hidup Terasa Hambar
Kolom
-
Marissa Anita dan Perfeksionisme: Tak Ada Ruang untuk Setengah-Setengah
-
Drone Dilarang, Tambang Bebas Jalan: Ada Apa dengan Konservasi Kita?
-
Banjir Sumatra dan Mimpi Indonesia Emas: Mau Lari ke Mana Kalau Lantainya Amblas?
-
Kelapa Sawit: Sama-sama Pohon, tapi Tak Bisa Gantikan Fungsi Hutan
-
Meninjau Ulang Peran Negara dalam Polemik Arus Donasi Bencana
Terkini
-
Hemat Waktu dan Tenaga, Ini 7 Cara Efektif Membersihkan Rumah
-
4 Cleanser Korea dengan Kandungan Yuja untuk Wajah Sehat dan Glowing
-
Menopause Bukan Akhir, tapi Transisi yang Butuh Dukungan
-
Rilis Trailer, Film Alas Roban Kisahkan Teror Mistis di Hutan Angker
-
Totalitas Tanpa Batas: Deretan Aktor yang Rela Ubah Penampilan Demi Peran