Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi shopping (Pexels/Borko Manigoda)

Dalam beberapa tahun terakhir, ada tren yang semakin marak di kalangan Gen Z terkait memberi hadiah untuk diri sendiri atau self-reward.

Saat mencapai tujuan tertentu, seperti lulus ujian atau berhasil menyelesaikan proyek besar, banyak dari kita yang merasa layak untuk memberikan penghargaan berupa barang atau pengalaman.

Tidak jarang, hadiah tersebut berupa sesuatu yang mengesankan, seperti beli barang branded, makan di restoran mewah, atau bahkan perjalanan liburan.

Menurut survei yang dilakukan oleh National Retail Federation (2021), sekitar 50% remaja dan dewasa muda melaporkan bahwa mereka sering memberi hadiah pada diri sendiri sebagai bentuk apresiasi atas pencapaian pribadi. Namun, apakah kebiasaan ini bisa jadi masalah jangka panjang?

Saya sendiri nggak bisa bilang kalau saya nggak pernah melakukan hal ini. Setiap kali saya berhasil menyelesaikan sesuatu yang sulit atau memuaskan, saya merasa perlu memberi penghargaan pada diri sendiri.

Bisa berupa membeli barang yang sudah lama diinginkan, atau mungkin mencoba pengalaman baru yang belum pernah saya coba sebelumnya.

Namun, setelah saya berpikir lebih dalam, apakah self-reward ini benar-benar sehat untuk keuangan dan kesejahteraan jangka panjang?

Self-reward sebenarnya bisa menjadi motivasi yang baik. Memberikan hadiah pada diri sendiri bisa memperkuat rasa pencapaian dan mendorong kita untuk terus berusaha.

Psikolog mengatakan bahwa ini adalah cara untuk merayakan kemajuan dan memberi dorongan positif untuk mencapai tujuan selanjutnya.

Tapi, masalah muncul ketika hadiah yang kita berikan malah melebihi nilai dari pencapaian yang kita raih. Apakah kita benar-benar butuh barang-barang mewah atau pengalaman mahal untuk merasa dihargai?

Di sisi lain, tren self-reward ini juga sering terkait dengan perilaku konsumtif. Sebagian dari kita mungkin merasa bahwa hadiah yang mahal adalah cara terbaik untuk menunjukkan betapa pentingnya pencapaian kita.

Padahal, sering kali kebiasaan ini hanya mendorong kita untuk terus berbelanja tanpa mempertimbangkan dampaknya pada keuangan pribadi. Apakah benar kita merasa puas setelah membeli barang mahal, atau justru hanya merasa lega sementara?

Lebih dari itu, kebiasaan ini juga bisa menciptakan tekanan sosial. Lihat saja di media sosial, banyak influencer atau teman-teman yang memamerkan hadiah besar yang mereka berikan pada diri mereka sendiri.

Melihat hal tersebut, tak jarang kita merasa perlu mengikuti tren ini demi mendapatkan pengakuan atau bahkan hanya sekadar merasa "normal".

Tentu saja, ini bisa berujung pada pengeluaran yang tidak perlu dan membuat kita semakin sulit untuk mengelola keuangan pribadi dengan bijak.

Lalu, bagaimana kita bisa menikmati self-reward tanpa terjebak dalam siklus konsumtif? Mungkin kita bisa lebih bijak dalam memilih hadiah yang benar-benar bernilai untuk diri kita.

Hadiah tidak selalu harus berupa barang mahal. Mungkin cukup dengan memberi diri kita waktu untuk bersantai, menikmati hobi, atau berinvestasi pada pengalaman yang lebih bermakna, seperti mengembangkan keterampilan baru. Hal ini bisa jauh lebih bermanfaat daripada sekadar membeli barang yang hanya akan kita nikmati sementara waktu.

Intinya, self-reward memang penting sebagai bentuk apresiasi atas diri sendiri. Namun, penting untuk kita tetap sadar akan dampaknya, baik dari sisi finansial maupun psikologis.

Jangan sampai kebiasaan memberi hadiah untuk diri sendiri malah berbalik menjadi kebiasaan boros yang merugikan di masa depan. Semua itu bisa dikendalikan dengan bijak, sehingga kita tetap bisa merasa dihargai tanpa mengorbankan keuangan pribadi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah