Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sendi Suwantoro
Presiden Joko Widodo atau Jokowi didampingi Menhan Prabowo Subianto saat menjawab pertanyaan awak media di Rumah Sakit Pusat Pertahanan Negara (RSPPN) Panglima Besar Jenderal Soedirman, Jakarta Selatan, Senin (19/2/2024). (Suara.com/Novian)

Ketika dua kubu yang selama bertahun-tahun menjadi simbol polarisasi politik Indonesia—loyalis Jokowi dan Prabowo—akhirnya bersatu dalam pemerintahan baru, banyak pihak melihat ini sebagai langkah strategis yang tidak hanya mencairkan ketegangan politik, tetapi juga membuka peluang untuk menciptakan pemerintahan yang solid.

Namun, apakah kebersamaan ini benar-benar menjadi kunci tingginya tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah baru? Atau hanya sekadar kompromi politik tanpa dampak nyata bagi rakyat?

Bersatunya loyalis Jokowi dan Prabowo membawa angin segar bagi stabilitas politik Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir, narasi "cebong" dan "kampret" telah mengakar dalam diskursus publik, menciptakan jarak sosial yang merugikan.

Dengan kolaborasi dua kubu ini, setidaknya ada harapan bahwa pemerintah baru dapat fokus pada kebijakan strategis tanpa terganggu oleh friksi internal atau serangan dari oposisi.  

Namun, stabilitas ini harus lebih dari sekadar simbol politik. Publik menanti bagaimana persatuan ini diterjemahkan dalam bentuk kebijakan yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat.

Jika hanya menjadi "koalisi besar" yang sibuk berbagi kekuasaan tanpa prioritas nyata, tingkat kepuasan masyarakat bisa berbalik menjadi kekecewaan yang besar.

Kekuatan besar dari persatuan ini terletak pada kemampuan Jokowi dan Prabowo untuk memadukan gaya kepemimpinan mereka.

Jokowi, dengan gaya merakyat dan fokus pada pembangunan infrastruktur, membawa pengalaman yang mendalam dalam menjangkau masyarakat. Sementara itu, Prabowo, dengan latar belakang militer dan pandangan strategis, menawarkan kepemimpinan yang tegas.  

Namun, tantangan terbesar adalah menjaga keseimbangan antara dua gaya ini. Loyalis masing-masing kubu harus memahami bahwa keberhasilan pemerintah baru hanya mungkin tercapai jika ada kompromi dan sinergi. Ego politik harus diredam demi mewujudkan program-program yang konkret dan realistis.

Tingkat kepuasan masyarakat terhadap pemerintah baru akan sangat bergantung pada bagaimana kolaborasi ini diwujudkan dalam kebijakan nyata. Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan, antara lain:  

1.  Penguatan Ekonomi Rakyat Prioritaskan kebijakan yang memberdayakan UMKM, meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan, serta menciptakan lapangan kerja yang inklusif.  

2. Pembangunan Berkelanjutan Melanjutkan pembangunan infrastruktur Jokowi, tetapi dengan pendekatan yang lebih inklusif dan berkelanjutan.  

3. Reformasi Birokrasi Loyalis kedua kubu harus memastikan bahwa pemerintahan berjalan efisien, dengan memerangi korupsi dan memperbaiki tata kelola birokrasi.  

4. Pemulihan Polarisasi Publik Gunakan momentum persatuan ini untuk merekatkan kembali masyarakat yang sempat terbelah oleh perbedaan politik.

Namun, jika persatuan ini hanya dimanfaatkan sebagai strategi untuk mengonsolidasikan kekuasaan, maka harapan tinggi masyarakat bisa berubah menjadi apatisme.

Ketidakmampuan untuk memenuhi janji-janji yang dilontarkan selama kampanye dapat memicu gelombang kritik yang lebih besar. Publik menginginkan hasil nyata, bukan sekadar narasi persatuan yang hanya terjadi di tingkat elit politik. 

Bersatunya loyalis Jokowi dan Prabowo adalah peluang besar untuk menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil, dan responsif terhadap kebutuhan rakyat.

Namun, keberhasilan persatuan ini tidak hanya diukur dari seberapa harmonis hubungan kedua kubu di tingkat elit, tetapi juga dari seberapa besar dampak positif yang dirasakan masyarakat.  

Kolaborasi ini bukan tentang siapa yang lebih mendominasi, tetapi tentang bagaimana dua kekuatan besar dapat bekerja bersama untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

Jika mereka mampu memenuhi harapan publik, maka tingkat kepuasan terhadap pemerintah baru tidak hanya tinggi, tetapi juga berkelanjutan.

Kini, saatnya membuktikan bahwa persatuan ini bukan sekadar retorika politik, melainkan langkah nyata menuju masa depan yang lebih cerah.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sendi Suwantoro