Baru-baru ini, band punk asal Purbalingga, Sukatani, menjadi sorotan setelah menghapus lagu mereka yang berjudul "Bayar Bayar Bayar" dari berbagai platform musik. Lagu ini sebelumnya viral karena liriknya yang tajam mengkritik praktik korupsi dan pungutan liar di kalangan aparat kepolisian.
Penghapusan ini memicu spekulasi di kalangan publik mengenai kemungkinan adanya tekanan atau upaya pembungkaman terhadap band tersebut.
Setelah perilisan lagu "Bayar Bayar Bayar", Sukatani menerima berbagai tanggapan, termasuk dari institusi kepolisian. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memberikan respons terkait penghapusan lagu tersebut, meskipun detail dari pernyataannya belum sepenuhnya dipublikasikan.
Sementara itu, Polda Jawa Tengah membantah adanya intimidasi terhadap Sukatani. Mereka bahkan menyatakan menghargai lirik lagu tersebut. Namun, bantahan ini tidak serta-merta menghentikan spekulasi bahwa penghapusan lagu mungkin disebabkan oleh tekanan eksternal.
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ikut memberikan tanggapan terkait penghapusan lagu tersebut. Pihaknya menekankan bahwa negara seharusnya menjamin kebebasan berekspresi dan tidak membredel karya seni.
Mereka mengingatkan bahwa seni adalah medium penting untuk menyuarakan kritik sosial dan politik, dan tindakan pembungkaman terhadap seniman dapat berdampak negatif pada demokrasi di Indonesia.
Penghapusan lagu "Bayar Bayar Bayar" dan permintaan maaf yang disampaikan oleh Sukatani menimbulkan pertanyaan besar mengenai batasan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Jika benar terdapat tekanan yang memaksa penghapusan karya seni yang kritis, hal ini dapat menciptakan preseden berbahaya bagi seniman lain yang ingin menyuarakan kritik melalui karya mereka.
Seni seharusnya menjadi ruang aman untuk berekspresi dan mengkritik. Jika ruang ini dipersempit, demokrasi dan keberagaman budaya di Indonesia bisa terancam. Masyarakat dan pemerintah perlu bekerja sama untuk memastikan bahwa seniman bisa berkarya tanpa rasa takut.
Penghapusan lagu "Bayar Bayar Bayar" oleh Sukatani menyoroti tantangan yang dihadapi oleh seniman dalam menyuarakan kritik sosial di Indonesia.
Dukungan dari komunitas musik dan lembaga seperti YLBHI menunjukkan solidaritas terhadap kebebasan berekspresi. Namun, diperlukan komitmen lebih lanjut dari semua pihak untuk memastikan bahwa seni tetap menjadi medium yang bebas dan aman untuk menyampaikan pesan-pesan kritis demi kemajuan masyarakat. Karena seni bukan hanya hiburan, tetapi juga cerminan suara hati rakyat.
Jika kritik sosial dalam seni semakin dibatasi, masihkah kita bisa menyebut Indonesia sebagai negara demokrasi yang menjunjung kebebasan berekspresi?
Baca Juga
-
Program 3 Juta Rumah: Solusi atau Beban Baru Rp14,4 Triliun per Tahun?
-
Janji Mundur atau Strategi Pencitraan? Membaca Ulang Pernyataan Prabowo
-
Prabowo Tunjuk Jenderal BIN Jadi Dirjen Bea Cukai: Loyalitas di Atas Kompetensi?
-
Prioritas yang Salah: Ketika Baznas Pilih Beli Mobil Ketimbang Bantu Rakyat
-
Efisiensi atau Ilusi? Mengulik RAPBN 2026 di Tengah Ambisi dan Realita
Artikel Terkait
-
Seni dan Sastra sebagai Kebebasan Berekspresi serta Suara Demokrasi
-
Mahfud MD Sayangkan Sukatani Minta Maaf: Harusnya Nggak Perlu...
-
Bela Band Sukatani Korban Intimidasi, Senator Jateng Sentil Polri Pakai Quotes Gus Dur: Gitu Aja Kok Repot!
-
Segini Kekayaan Fadli Zon: Menbud yang Soroti Sukatani, Ingatkan Kebebasan Berekspresi Ada Batasnya
Kolom
-
Raja Ampat di Simpang Jalan: Kilau Nikel atau Pesona Alam?
-
Gunakan Aplikasi Pengawas saat Ujian Daring, Yakin Siswa 100% Jujur?
-
Budaya Cicil Bahagia: Ketika Gen Z Menaruh Harapan pada PayLater
-
Gubernur Jawa Barat Hapus PR: Solusi Pendidikan atau Tantangan Baru?
-
Bukan Sekadar Hiburan: Membaca Novel Bisa Asah Daya Ingat dan Sehatkan Otak
Terkini
-
4 Ide OOTD Clean Look ala Lim Yoona SNSD, Simpel tapi Bikin Pangling!
-
Ulasan Novel Life After You: Keikhlasan dan Cinta Sejati dalam Situasi Perang
-
Desa Wisata Kelor, Tempat Wisata Edukasi dengan View Pedesaan Asri
-
Five Nights at Freddy's 2 Dipastikan Tak Ulang Kesalahan Film Pertama
-
Review Film Tenung: Drama Keluarga dan Teror Gaib yang Melelahkan?