Dalam masyarakat yang sering kali terpaku pada standar kesuksesan yang sempit, anak-anak sering kali menjadi objek ambisi orang tua. Tekanan untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi, karier yang cemerlang, atau popularitas yang gemilang seringkali mengabaikan potensi unik dan pilihan hidup yang sebenarnya dimiliki anak. Padahal, setiap anak adalah individu yang berharga dengan hak untuk mengejar kebahagiaan dan kesuksesan versinya sendiri.
Anak bukanlah objek ambisi orang tua karena setiap anak unik. Mereka memiliki minat, bakat, dan kepribadian yang berbeda. Memaksakan ambisi orang tua dapat menghambat perkembangan potensi unik anak. Selain itu, tekanan berlebihan dapat menyebabkan stres, kecemasan, dan depresi pada anak. Kebahagiaan dan kesejahteraan mental anak harus menjadi prioritas utama. Anak juga memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Membiarkan anak bereksplorasi dan membuat pilihan akan menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab. Memaksakan ambisi juga dapat merusak hubungan orang tua dan anak. Anak mungkin merasa tidak dicintai dan tidak dihargai apa adanya.
Sebuah kasus disorot di media sosial baru-baru ini tentang atlet yang dikabarkan hilang selama beberapa tahun yang lalu, akhirnya muncul dan menghebohkan publik dengan alasan yang tidak terduga. Fidya Kamalindah, seorang atlet taekwondo asal Bandung, Jawa Barat, menghebohkan publik dengan kemunculannya setelah 10 tahun dikabarkan hilang. Pada 26 November 2015, Fidya yang saat itu berusia 21 tahun, dilaporkan hilang setelah izin pergi ke warnet untuk mencetak dokumen. Orang tuanya, Hindarto dan Khodijah Dede Indriany, melaporkan kehilangan Fidya ke Polda Jabar pada Januari 2016.
Setelah 10 tahun berlalu, Fidya muncul dan memberikan klarifikasi bahwa ia tidak diculik. Ia mengaku sengaja meninggalkan rumah karena mengalami siksaan lahir dan batin selama menekuni aktivitas sebagai atlet taekwondo. Fidya menegaskan bahwa kepergiannya dari rumah adalah atas kemauannya sendiri, tanpa paksaan dari siapa pun.
Setelah meninggalkan rumah, Fidya bertemu dengan seorang pria yang kini menjadi suaminya. Mereka telah menikah dan dikaruniai seorang anak. Fidya meminta maaf kepada publik atas kehebohan yang ditimbulkan oleh kasusnya. Ia menjelaskan bahwa seiring berjalannya waktu, orang tuanya dapat menerima bahwa ia pergi dari rumah dengan kesadaran penuh, bukan karena diculik.
Fidya juga mengungkapkan bahwa ia memilih untuk pergi karena merasa terkekang dan tidak memiliki kebebasan dalam hidupnya. Ia mengaku bahwa uang hasil tanding dan gajinya sebagai atlet diambil oleh orang tuanya. Selain itu, ia juga merasa tidak dihargai sebagai individu dan sering mengalami kekerasan verbal.
Kasus ini menjadi viral di media sosial, terutama setelah video orang tuanya yang meminta bantuan untuk menemukan Fidya tersebar luas. Banyak warganet yang memberikan dukungan kepada Fidya, tetapi ada juga yang menyayangkan keputusannya untuk pergi tanpa kabar selama 10 tahun.
Barangkali banyak di lingkungan kita yang memiliki problem seperti Fidya, tetapi mereka tetap bertahan dengan segala tekanan yang ada. Mungkin tentang jurusan kuliah, penyaluran bakat yang tak sesuai, pemaksaan kehendak, target-target sulit dari orang tua yang harus anak penuhi selama hidupnya. Mereka menghindari cap lokal sebagai anak durhaka apabila tidak menuruti kehendak orang tua, meskipun keinginan dari hati mereka harus dipendam sedalam-dalamnya. Tidak banyak dari anak-anak semacam itu yang berani bicara, mereka sering kalah suara, dan orang tua biasanya memang tidak mau mengalah dan terus memosisikan diri mereka sebagai yang paling benar dan paling berpengalaman. Ketimpangan inilah yang akhirnya membuat anak-anak memilih bungkam, sedikitnya tertekan dan depresi, sisanya hidup tanpa motivasi, barangkali capaian-capaian mereka selama ini hambar dan tidak cukup berarti.
Dari kasus Fidya ini, sebenarnya penting untuk menormalisasi hidup dengan potensi dan pilihan sendiri. Orang tua berperan sebagai pendamping dan pemberi dukungan, bukan pengatur jalan hidup anak. Ciptakan ruang aman bagi anak untuk mengungkapkan perasaan, minat, dan kekhawatirannya. Fokus pada usaha dan perkembangan anak, bukan hanya pada hasil akhir. Berikan kesempatan bagi anak untuk mencoba berbagai kegiatan dan menemukan minatnya. Terima kekurangan anak, bantu anak mengembangkan potensinya tanpa menuntut kesempurnaan.
Dampak positif dari hal ini adalah anak akan lebih bahagia dan sehat. Anak yang bebas memilih jalan hidupnya akan merasa lebih bahagia, percaya diri, dan memiliki kesehatan mental yang lebih baik. Dukungan yang tepat akan membantu anak mengembangkan potensi uniknya secara maksimal. Komunikasi terbuka dan saling menghargai akan mempererat hubungan orang tua dan anak. Pada akhirnya, anak-anak yang bahagia dan percaya diri akan tumbuh menjadi individu yang produktif dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Mari kita ciptakan lingkungan tempat anak-anak merasa dicintai, dihargai, dan diberi kebebasan untuk mengejar impian mereka sendiri. Anak bukan objek ambisi orang tua, melainkan individu yang berharga dengan hak untuk hidup sesuai potensi dan pilihannya.
Baca Juga
-
Kontroversi Baru: Musisi Jadi Dirut PT Produksi Film Negara, Apakah Kompeten?
-
Percaya Nggak Sih, Kalau Kita Lebih Pintar dari AI?
-
Mengapa Penyedia Jasa Layanan Antar Tak Banyak Buka Peluang Kerja pada Perempuan?
-
Perempuan dalam Kacamata Dunia: Tantangan Kini dan yang akan Datang
-
Ini Dia Cara agar Tidak Dibully sebagai SDM Rendah, Sudah Coba Terapkan?
Artikel Terkait
-
Potret Pendidikan Anak Penyandang Disabilitas di Indonesia, Menagih Hak untuk Setara
-
Dasco Desak Hukuman Berat untuk Eks Kapolres Ngada: Selain Pidana, Harus Dipecat
-
Profil AKBP Fajar Widyadharma, Eks Kapolres Ngada yang Diduga Cabuli Anak, Jual Video Syur ke Australia
-
Bagaimana Ramadan Bisa Membantu Anak Memahami Nilai Kemanusiaan?
-
Eks Kapolres Ngada AKPB Fajar Dicurigai Cari Cuan Lewat Video Porno Anak: Buat Beli Narkoba?
Kolom
-
Kesejahteraan Psikologis Guru Honorer, Solusi atau Ilusi?
-
Transformasi Pendidikan: Dari Hafalan Menuju Pembelajaran Bermakna
-
Bagaimana Ramadan Bisa Membantu Anak Memahami Nilai Kemanusiaan?
-
Buat Apa Ada Film Pabrik Gula Versi Uncut?
-
Penyebab hingga Solusi, Mengapa Generasi Z Cenderung Mudah Berhenti Kerja?
Terkini
-
Tren Positif Berlanjut, Sabar/Reza Melaju ke Semifinal All England 2025
-
Rekap Perempat Final All England 2025: Hanya Dua Wakil Indonesia yang Lolos
-
Kesepian di Tengah Keramaian: Review Novel 'Malam Putih'
-
3 Rekomendasi Merk Beras Terbaik untuk Kegiatan Zakat Fitrah, Apa Saja?
-
Sinopsis Court: State Vs A Nobody, Film India yang Dibintangi Harsh Roshan