Bulan Ramadan selalu menjadi momen spesial untuk mempererat hubungan dengan keluarga dan teman. Salah satu tradisi yang paling dinantikan adalah acara buka bersama, atau yang lebih akrab disebut bukber.
Di awal Ramadan, undangan bukber mulai berdatangan, baik dari teman sekolah, rekan kerja, hingga komunitas lainnya. Namun, pernahkah kita berpikir, apakah bukber benar-benar menjadi ajang silaturahmi, atau justru berubah menjadi ajang pamer status yang tak disadari?
Awalnya, bukber adalah momen untuk berbagi kebahagiaan, mempererat tali persaudaraan, dan meningkatkan rasa syukur atas nikmat yang diberikan.
Dengan berbuka puasa bersama, kita bisa saling bertukar cerita, berbagi pengalaman, dan merasakan kebersamaan yang hangat. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan pengaruh media sosial, esensi dari bukber mulai bergeser.
Banyak orang yang menjadikan acara ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan status sosial mereka, gaya hidup mewah, atau pencapaian materi.
Pemilihan tempat bukber pun menjadi indikatornya. Restoran mewah, kafe hits dengan interior yang Instagramable, atau bahkan hotel berbintang menjadi pilihan utama, bukan lagi karena kenyamanan atau kelezatan makanan, tetapi lebih karena gengsi dan keinginan untuk dilihat.
Dampak Negatif Bukber sebagai Ajang Pamer
1. Meningkatnya tekanan sosial
Bukber yang berorientasi pada pamer status dapat memicu tekanan sosial yang signifikan. Tidak semua orang memiliki kemampuan finansial untuk mengikuti standar acara bukber yang mewah dan kekinian.
Akibatnya, sebagian orang merasa minder, tidak percaya diri, atau bahkan terpaksa ikut serta hanya demi menjaga pergaulan dan tidak dianggap ketinggalan zaman.
2. Hilangnya Esensi Silaturahmi yang Sebenarnya
Ketika fokus utama acara bukber adalah memamerkan gaya hidup, outfit terbaru, atau makanan yang mahal, tujuan awal untuk mempererat hubungan dan berbagi kebahagiaan sering kali terabaikan.
Percakapan menjadi kurang bermakna, interaksi menjadi dangkal, dan perhatian lebih tertuju pada penampilan dan eksistensi di media sosial.
3. Mendorong Perilaku Konsumtif yang Tidak Sehat
Fenomena ini juga dapat mendorong perilaku konsumtif yang tidak sehat. Demi memenuhi ekspektasi sosial dan mengikuti tren bukber mewah, banyak orang yang rela mengeluarkan uang lebih banyak dari yang seharusnya. Pemborosan makanan, pembelian pakaian baru, dan pengeluaran yang tidak perlu menjadi hal yang lumrah.
Bukber seharusnya menjadi momen yang penuh berkah dan kebahagiaan, bukan ajang kompetisi status sosial. Berikut adalah beberapa cara untuk mengembalikan esensi bukber yang sejati:
- Pilihlah Tempat yang Sederhana Namun Nyaman: Tidak perlu memaksakan diri untuk bukber di restoran mahal. Rumah salah satu teman, masjid, atau bahkan panti asuhan pun bisa menjadi pilihan yang lebih bermakna.
- Fokuslah pada Kebersamaan dan Interaksi yang Tulus: Hindari terlalu banyak memposting di media sosial. Nikmati setiap momen kebersamaan, bertukar cerita, dan saling mendukung satu sama lain.
- Ciptakan Konsep Bukber yang Lebih Bermakna: Selenggarakan bukber sambil berbagi dengan anak yatim, membersihkan masjid, atau melakukan kegiatan positif lainnya.
- Batasi Jumlah Peserta Bukber: Bukber dengan kelompok kecil biasanya lebih intim dan memungkinkan percakapan yang lebih mendalam.
Ramadan adalah bulan yang penuh berkah, dan bukber seharusnya menjadi salah satu cara untuk merayakan kebersamaan dalam keberkahan tersebut.
Mari kita renungkan kembali, untuk siapa sebenarnya kita mengadakan bukber? Apakah kita benar-benar ingin mempererat tali silaturahmi, atau hanya sekadar ingin memamerkan status sosial?
Ingatlah, nilai seseorang tidak ditentukan oleh apa yang mereka miliki atau pamerkan, melainkan oleh kebaikan dan manfaat yang mereka berikan kepada orang lain.
Semoga di Ramadan kali ini, kita bisa menjadikan bukber sebagai momen spesial untuk mempererat hubungan dengan orang-orang terdekat tanpa embel-embel pamer dan kesombongan. Jadikan bukber sebagai ajang untuk berbagi kebahagiaan, meningkatkan rasa syukur, dan mempererat tali persaudaraan.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Pembangunan Hilir vs Pembangunan Hulu: Benarkah Desa Ikut Sejahtera?
-
Reading Tracker dan Obsesi Kuantitas: Apa Kabarnya Kenikmatan Membaca?
-
FOMO Literasi: Ketika Membaca Berubah Jadi Ajang Pamer dan Tekanan Sosial
-
Pangkas Lahan Basah: Ketika Rawa Dihancurkan Demi Pembangunan
-
Masalah Emisi Rendah dan Kenyamanan Penumpang: Apa Kabar Janji Pemerintah?
Artikel Terkait
-
Lengkap! 12 Perbuatan yang Membatalkan Puasa: Dari Makan Hingga Keluar Mani
-
5 Tempat Bukber Hidden Gem di Jakarta Selatan yang Instagramable, Murah Meriah!
-
Asuransi Jasindo Berkontribusi dalam Sobat Aksi Ramadan 2025
-
Anak Rantau Wajib Tahu! 5 Rekomendasi Tempat Berburu Takjil di Bandung
-
Ramadan Tanpa Distraksi, Waktunya Puasa dari Gadget!
Kolom
-
Wacana Ibu Rumah Tangga Produktif Diabaikan dalam Narasi Ekonomi RI?
-
Potensi Wisata Lokal Padukuhan Kunang di Gunungkidul
-
Jadi Ketua RT Bukan Cuma Urusan Bapak-Bapak, Gen Z Siap Pegang Wilayah?
-
Kedekatan yang Mendidik, Saat Dosen Menjadi Teman Tumbuh
-
Fenomena Pekerja Ordal: Sebuah Jalan Pintas atau Jebakan Etika?
Terkini
-
7 Karakter di Drama China The Prisoner of Beauty, Ada Song Zuer
-
4 Face Wash Niacinamide Bikin Wajah Auto Cerah, Harga Murah Rp20 Ribuan!
-
Sinopsis Drama A Dream Within A Dream Episode 1: Mengubah Nasib
-
Futsal Indonesia: Mampukah Saingi Kepopuleran Sepak Bola di Negeri Ini?
-
Ulasan Buku Tales from the Cafe: Saat Waktu Menjadi Jembatan untuk Berdamai