Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ridho Hardisk
Ilustrasi infrastruktur kota (freepik.com)

Di televisi, tampak Menteri meresmikan pabrik baru di kawasan industri. Kamera menyorot para eksekutif berdasi dan spanduk bertuliskan “Meningkatkan Nilai Tambah Demi Kesejahteraan Bangsa”. Di lokasi lain, jurnalis mewawancarai warga desa yang katanya “siap menyambut masa depan cerah”.

Tapi ketika kita menelusuri desa-desa di sekitar proyek itu, jalan tanah tetap becek, anak-anak masih sekolah dengan bangku kayu reot, dan petani tetap mengeluh soal harga pupuk. Pembangunan industri memang gemerlap, tapi apakah desa ikut terangkat?

Inilah dilema pembangunan Indonesia. Hilir disulap jadi kebanggaan nasional, sementara hulu tetap berjalan di tempat.

Apa Bedanya Hilir dan Hulu dalam Pembangunan?

Secara sederhana, hilir adalah segala bentuk pembangunan yang terkait dengan pengolahan, produksi akhir, dan industri skala besar. Ia sering muncul dalam bentuk smelter nikel, pabrik pupuk, atau kawasan ekonomi khusus (KEK).

Sementara itu, hulu adalah sektor paling dasar: petani, nelayan, buruh perkebunan, dan masyarakat desa yang menopang rantai pasok dari awal.

Ironisnya, investasi pemerintah dan swasta lebih sering menyasar hilir, karena dianggap menjanjikan pertumbuhan cepat dan capaian makroekonomi. Sementara hulu dianggap lambat, tradisional, bahkan “tidak menarik”.

Pertanyaannya, bisakah pembangunan nasional berkelanjutan jika hulunya terus dibiarkan keropos?

Ambil satu contoh, hilirisasi nikel di Morowali. Pemerintah memuji proyek ini sebagai tonggak industri strategis nasional. Bahkan disebut-sebut bisa menyerap ratusan ribu pekerja.

Namun, studi kualitatif di Desa Bunta (Morowali Utara) justru menemukan fakta sebaliknya. Warga lokal mengalami tekanan tanah, akses air bersih terganggu, dan peluang kerja banyak diisi oleh tenaga dari luar daerah.

Di Halmahera Selatan, studi dari UGM menunjukkan bahwa masyarakat desa yang dulu bertani kini bingung arah. Lahannya tergusur, namun ia tidak cukup berpendidikan untuk bekerja di pabrik. Hasilnya? Desa menjadi “penonton proyek”. Dapat limbah, bukan laba.

Bahkan di Pulau Obi yang disebut mengalami boomtown, peningkatan ekonomi justru tidak diikuti infrastruktur dasar. Restoran naik, toko bertambah, tapi desa tetap minim tenaga medis, guru tetap kurang, dan layanan publik tertinggal. Sebuah pertumbuhan yang timpang.

Pembangunan untuk Siapa?

Pertanyaan ini penting diajukan ketika narasi kesejahteraan digaungkan dari podium-podium industri. Siapa yang sebenarnya merasakan manfaat? Investor? Tenaga ahli dari kota? Atau warga desa yang lahannya dipinjam tanpa suara?

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pekerjaan yang tercipta dari proyek-proyek besar itu banyak bersifat sementara, outsourcing, dan tanpa jaminan sosial. Sementara warga lokal lebih banyak tersingkir dari ruang pengambilan keputusan dan tidak memiliki keterampilan teknis yang dibutuhkan industri.

Di satu sisi, pembangunan industri memang dibutuhkan. Tapi jika tak diimbangi dengan pendekatan dari hulu, maka ia hanya membangun dinding kemewahan yang tidak berpintu bagi desa.

Pembangunan hulu tidak menghasilkan angka fantastis seperti industri hilir. Kontribusi sektor pertanian ke PDB semakin kecil. Pemerintah lebih senang merilis data investasi besar dari sektor manufaktur, daripada laporan revitalisasi koperasi tani.

Padahal, desa punya potensi luar biasa jika dibina dengan baik. Namun arah pembangunan masih bias. Seolah pertanian tak punya masa depan, dan industrialisasi adalah satu-satunya jalan menuju modernitas.

Dalam situasi ini, hulu tak hanya dilupakan, tapi juga digerus secara perlahan oleh tambang, oleh kawasan industri, oleh retorika kemajuan.

Haruskah Desa Terus Menunggu Proyek Turun

Jika desa terus disuruh “menunggu” manfaat pembangunan, maka ia tak pernah benar-benar menjadi subjek. Karena itu, sudah saatnya pembangunan dari hulu mendapat tempat yang setara:

  • Koperasi yang kuat,
  • Ekonomi lokal yang bernilai tambah,
  • Teknologi tepat guna untuk pertanian dan perikanan,
  • Serta akses pendidikan vokasi yang relevan dengan kebutuhan desa.

Hilir memang penting, tapi tanpa hulu, ia seperti pohon tanpa akar. Kokoh di atas, rapuh di bawah.

Pembangunan seharusnya tidak hanya dihitung dari banyaknya pabrik berdiri, melainkan dari berapa desa yang ikut tumbuh. Kita tak bisa terus memuja kemajuan di hilir jika desa-desa tetap berkubang dalam lumpur.

Jika pembangunan hanya menyisakan janji bagi hulu, maka yang tumbuh hanyalah ketimpangan. Itu pun bukan pembangunan, melainkan penumpukan ketidakadilan yang disepakati bersama.

Ridho Hardisk