Di dalam kelas, sang dosen berdiri di depan papan, menjelaskan dengan penuh wibawa, sementara mahasiswa duduk diam, mencatat, mengangguk, bertanya, diskusi lalu pulang. Di luar kelas, dunia akademik terus berjalan, tetapi relasi antara dosen dan mahasiswa tetap terjaga dalam formalitas yang kaku. Dosen menjadi figur yang serba tahu, tak tersentuh, dan terpisah jarak oleh atribut jabatan dan gelar. Mahasiswa menjadi penerima pasif yang sering kali segan bicara, ragu bertanya, bahkan takut untuk sekadar menyapa. Beginikah seharusnya pendidikan tinggi?
Sudah saatnya kita mempertanyakan dan mengkritisi model relasi akademik yang menempatkan dosen dan mahasiswa dalam dua kutub terpisah. Dalam realitas kampus di Indonesia, masih banyak ditemui relasi vertikal yang menjauhkan dosen dari mahasiswa. Alih-alih membentuk hubungan pedagogis yang dialogis dan setara, dosen justru memelihara jarak simbolik dan sosial yang menimbulkan efek berantai: rendahnya partisipasi mahasiswa, stagnasi diskusi akademik, dan rapuhnya ikatan emosional antara pengajar dan yang diajar.
Relasi yang berjarak bukan hanya persoalan gaya komunikasi, tetapi menyangkut ideologi pendidikan. Kita masih mewarisi warisan kolonial dalam dunia akademik: dosen sebagai sumber kebenaran mutlak, mahasiswa sebagai penampung informasi. Paradigma ini membentuk ruang kelas yang tidak demokratis. Padahal, mahasiswa hari ini terutama dari Generasi Z dan Alpha menuntut ruang yang lebih terbuka, inklusif, dan komunikatif. Mereka tidak lagi bisa diperlakukan sebagai subjek yang hanya duduk diam dan menerima perintah. Mereka ingin didengar, dilibatkan, dan dipahami.
Dosen tidak harus berjarak dengan mahasiswa bukan berarti dosen kehilangan otoritas akademiknya. Ini bukan tentang menghapus batas, tapi mengubah bentuk batas itu: dari sekat kekuasaan menjadi jembatan empati. Dosen tetap menjadi figur yang membimbing, namun bukan dengan cara mendominasi. Justru dengan membuka ruang dialog, menciptakan kepercayaan, dan menjalin komunikasi yang setara, dosen akan lebih dihormati bukan karena gelarnya, tetapi karena kedewasaan intelektual dan kebijaksanaan sikapnya.
Kedekatan bukan berarti permisif atau terlalu akrab tanpa kendali. Kedekatan yang dimaksud adalah relasi profesional yang hangat, suportif, dan manusiawi. Mahasiswa tidak boleh merasa takut bertanya karena khawatir dihakimi. Mahasiswa tidak seharusnya ragu berkonsultasi karena merasa “bukan siapa-siapa”. Dalam dunia akademik yang sehat, dosen menjadi mitra berpikir yang mengajak mahasiswa tumbuh, bukan hanya membentuk barisan patuh.
Sayangnya, masih banyak kampus yang mengukur kualitas dosen hanya dari publikasi, jabatan fungsional, dan gelar doktoralnya. Kemampuan pedagogis, empati dalam mengajar, dan keterlibatan emosional dalam proses pembelajaran kerap dianggap “tidak penting”. Dosen yang “dingin” secara relasional justru dianggap profesional. Padahal, pendidikan bukan sekadar transfer pengetahuan, tapi transformasi manusia. Dan transformasi hanya bisa terjadi jika hubungan antara pengajar dan pembelajar dibangun atas dasar kepercayaan, keterbukaan, dan pengakuan akan kemanusiaan masing-masing.
Kita tidak bisa lagi memisahkan pengetahuan dari relasi. Pengetahuan tidak tumbuh dalam ruang hampa. Ia hidup dalam interaksi. Jika mahasiswa merasa terasing dari dosennya, bagaimana mungkin mereka merasa bebas berpikir? Jika mereka terus-menerus merasa diawasi, dinilai, atau bahkan diremehkan, bagaimana mungkin mereka percaya diri menyampaikan pendapat? Maka, membangun kedekatan bukan tambahan dari proses belajar ia adalah syarat dasar bagi pembelajaran yang bermakna.
Dosen yang dekat dengan mahasiswa bukan berarti menjadi teman sebaya atau ikut dalam ruang privat mahasiswa. Dekat di sini berarti mampu hadir secara psikologis dan emosional. Dosen yang mendengar ketika mahasiswa merasa bingung. Dosen yang peka ketika ada kesulitan. Dosen yang merespons pertanyaan dengan sabar, bukan dengan intimidasi. Dosen yang melihat mahasiswa bukan sekadar NIM atau angka IPK, tapi sebagai manusia utuh dengan latar belakang, mimpi, dan persoalannya sendiri.
Banyak penelitian dalam dunia pendidikan tinggi menunjukkan bahwa faktor relasi interpersonal antara dosen dan mahasiswa sangat menentukan keberhasilan pembelajaran. Di negara-negara dengan sistem pendidikan maju, seperti Finlandia dan Belanda, dosen bahkan mendorong mahasiswa untuk memanggil nama depan, membuka ruang diskusi terbuka tanpa rasa takut, dan menyediakan waktu khusus untuk mendampingi proses belajar mahasiswa secara personal. Di Indonesia, hal seperti itu masih dianggap “tidak biasa” atau bahkan “melanggar etika akademik”. Padahal justru dari sanalah lahir trust, sense of belonging, dan motivasi belajar yang autentik.
Sudah saatnya kita mendekonstruksi relasi akademik yang kaku dan menara gading itu. Kita perlu membangun kultur kampus yang lebih humanis, relasional, dan berbasis pada dialog. Ini bukan hanya tugas dosen, tetapi sistem akademik secara keseluruhan. Perlu pelatihan dosen yang tidak hanya soal penelitian, tetapi juga tentang pedagogi, komunikasi lintas generasi, dan keterampilan membangun relasi dengan mahasiswa. Dosen perlu belajar mendengarkan, bukan hanya mengajar. Perlu belajar memahami, bukan hanya menyampaikan materi. Karena mengajar bukan hanya soal mengisi kepala, tetapi menyentuh hati.
Barangkali yang perlu disadari pertama-tama oleh dosen adalah: bahwa mahasiswa masa kini berbeda dari masa lalu. Mereka tumbuh dalam era keterbukaan informasi, kecepatan digital, dan ekspresi diri yang lebih cair. Mereka tidak hanya belajar dari buku teks, tetapi juga dari internet, komunitas, media sosial, dan pengalaman sosial mereka. Maka, dosen yang kaku, otoriter, dan menutup diri dari perubahan akan ditinggalkan secara diam-diam. Mahasiswa akan hadir secara fisik di kelas, tapi mentalnya melayang ke tempat lain. Relasi yang berjarak hanya akan melahirkan kelas-kelas sepi makna.
Sebaliknya, dosen yang mampu menjembatani kesenjangan generasi akan menjadi sosok yang berpengaruh bukan hanya dalam ruang kuliah, tapi juga dalam proses kehidupan mahasiswanya. Dosen semacam ini tidak kehilangan wibawa karena dekat, tetapi justru dihormati karena mampu membangun koneksi yang jujur dan tulus. Dosen yang bisa memanusiakan mahasiswa akan dikenang bukan karena gelarnya, tetapi karena dampaknya.
Membangun kedekatan bukan tanpa risiko. Dosen harus siap menghadapi tuntutan untuk lebih sabar, lebih terbuka, dan kadang menampung keresahan mahasiswa yang tak terucap. Namun justru di sanalah letak panggilan intelektual dan moral seorang pendidik. Dosen bukan hanya pengajar, tetapi pendamping tumbuh. Dan pertumbuhan tidak terjadi dalam relasi yang kaku dan menakutkan.
Tulisan ini bukan ajakan untuk menyepelekan batas etika atau melemahkan struktur akademik. Justru sebaliknya. Ini adalah seruan agar kita menata ulang cara pandang terhadap pendidikan tinggi yang kadung dingin dan birokratis. Pendidikan tinggi harus kembali menjadi ruang hidup yang menghangatkan, bukan hanya menghafal teori. Dan dosen adalah kunci utamanya. Tidak semua dosen harus menjadi sahabat mahasiswa. Tapi setiap dosen perlu belajar menjadi pendengar yang baik, komunikator yang empatik, dan pemantik nalar yang rendah hati.
Sebagai penutup, izinkan satu refleksi sederhana: dalam dunia yang terus berubah, di mana informasi bisa didapat di mana saja, maka yang akan membedakan pengalaman kuliah bukan lagi seberapa banyak teori yang diajarkan, tetapi seberapa dekat dan manusiawinya relasi antara dosen dan mahasiswa. Karena pada akhirnya, pendidikan yang menyentuh bukan yang hanya menyampaikan, tetapi yang menemani.
Dan untuk menemani, kita tidak bisa berdiri terlalu jauh. Kita perlu mendekat. Kita perlu hadir. Kita perlu menjadi manusia yang mengajar, mendengar, dan belajar bersama.
Baca Juga
-
Tradisi Indonesia Menembus Dunia, Dari Warisan Lokal ke Panggung Global
-
Fenomena Fatherless: Krisis yang Mengintai Anak-Anak Indonesia, Dimulai dari Gerbang Sekolah
-
Pacu Jalur Viral, Warisan Budaya Kita Terancam Dicuri?
-
Pacu Jalur: Sungai yang Menyatukan, Tradisi yang Menghidupkan
-
Mengajar Tanpa Belajar, Dosa Intelektual yang Terlupakan
Artikel Terkait
-
Butuh Mobil buat Kuliah? Ini 5 Mobil Bekas Murah Juli 2025 yang Cocok untuk Mahasiswa
-
5 Daftar Kebobrokan Jokowi saat Kuliah yang Diungkap Mantan Rektor UGM
-
Ranking Global Naik, Etika Terjun: Potret Buram Kampus Indonesia
-
15 Amunisi Timnas Filipina U-23 yang berstatus sebagai Pemain Universitas di Piala AFF U-23 2025
-
Terendus di Australia, MAKI Desak Kejagung Segera Masukan Jurist Tan dalam Red Notice
Kolom
-
Fenomena Pekerja Ordal: Sebuah Jalan Pintas atau Jebakan Etika?
-
Drama FOMO Buku: Ketika Literasi Jadi Ajang Pamer dan Tekanan Sosial
-
Ranking Global Naik, Etika Terjun: Potret Buram Kampus Indonesia
-
S Line, Garis Merah Menguak Jejak Seksual: Kok Malah Jadi Tren?
-
Mind Games dalam Dunia Konsumtif: Kenapa Kita Gampang 'Tertipu' Promosi?
Terkini
-
Piala AFF U-23: Bikin Tumbang Malaysia, Bagaimana Strategi Skuat Garuda Kalahkan Filipina U-23?
-
Anime Tougen Anki Resmi Tayang, Premis Cerita Disebut Mirip Blue Exorcist
-
Review Anime Akuyaku Reijou Tensei Ojisan, Definisi Baru Villain Isekai
-
Rowoon Tunda Wajib Militer: Harus Lakukan Pemeriksaan Kesehatan Ulang
-
Review Film The Gold Rush: Charlie Chaplin dan Sepatu yang Dimakan