Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Ardina Praf
Novel Tales from the Café (goodreads.com)

Setelah sukses dengan novel Before the Coffee Gets Cold, Toshikazu Kawaguchi kembali hadir dengan sekuel keduanya yang berjudul Tales from the Café.

Masih mengambil latar di kafe kecil Funiculi Funicula yang penuh keheningan dan keajaiban, buku ini membawa kita menyelami empat kisah baru yang kembali memanfaatkan kesempatan unik: kembali ke masa lalu, namun hanya selama kopi masih hangat.

Kisah-kisah di sekuel kali ini cukup mengalami perkembangan yang apik. Justru kali ini, penulis menghadirkan cerita-cerita yang lebih matang dan emosional.

Karakter-karakternya terasa lebih dalam dan hidup, dan penulisan kali ini mengalir lebih lancar. Tidak seperti seri sebelumnya yang putus-putus.

Kita bisa mengenal lebih dekat tokoh-tokoh dalam novel ini. Salah satunya seperti kisah pemilik dan keluarganya, hingga terungkap sosok wanita misterius penghuni kursi perjalanan waktu.

Konsepnya memang masih sama, yaitu perjalanan waktu. Mereka harus kembali sebelum kopi menjadi dingin meskipun tidak merubah apapun kejadian di masa lalu.

Bagi pembaca yang sudah menyelesaikan buku pertama, pengulangan aturan ini mungkin terasa agak membosankan. Meski begitu, setiap kisah yang diceritakan para tokoh tetap membawa keunikannya sendiri.

Masing-masing cerita ditulis dengan penuh ketulusan dan kedalaman, seolah-olah penulis ingin mengatakan bahwa perjalanan waktu bukan soal mengubah peristiwa, melainkan soal menghadapi dan memahami perasaan yang tertinggal.

Empat cerita yang disajikan kali ini menyoroti tokoh-tokoh baru, dengan latar belakang dan konflik yang beragam.

Ada yang ingin mengucapkan sesuatu yang belum sempat terucap, ada yang ingin memahami keputusan seseorang yang telah pergi, hingga ada pula yang ingin berdamai dengan masa lalu yang penuh penyesalan.

Setiap perjalanan yang dilakukan para tokoh di kafe itu memang tidak merubah apapun di masa lalu. Namun, mereka pasti mendapatkan suatu hal yang lebih berarti.

Ada yang akhirnya bisa berdamai dengan dirinya sendiri, ada yang menemukan keberanian untuk memaafkan, dan ada pula yang merasa lebih ringan karena beban yang lama terpendam akhirnya bisa dilepaskan.

Bukan hasil yang nyata yang mereka cari, melainkan ketenangan dalam hati.

Sudut pandang novel ini juga menjadi salah satu daya tariknya. Sering kali, orang yang dikunjungi dalam perjalanan waktu justru memiliki perspektif yang sama sekali berbeda tentang peristiwa yang ingin diklarifikasi oleh si pelancong waktu.

Kita sebagai pembaca jadi tersadar, bahwa sudut pandang kita terhadap suatu kejadian belum tentu sama dengan cara orang lain melihatnya. Sering kali, apa yang terasa begitu berat bagi kita, ternyata tidak sekelam itu di mata mereka yang terlibat.

Lewat cerita-ceritanya, buku ini mengajak kita untuk berpikir ulang: berapa banyak penyesalan yang sebenarnya tumbuh karena kesalahpahaman atau asumsi kita sendiri?

Tales from the Café adalah novel yang penuh perenungan. Alih-alih menyampaikan pesan secara langsung dan cepat, buku ini justru memberi ruang bagi pembaca untuk perlahan-lahan menyelami setiap emosi yang terselip dalam keheningan.

Suasana yang dibangun sangat khas, tenang, melankolis, tapi juga hangat. Membaca buku ini terasa seperti berada di pojok sebuah kafe, menyimak kisah orang-orang yang datang dan pergi, lalu tanpa disadari, kita mulai menemukan bagian-bagian kecil dari cerita mereka yang seolah berbicara tentang hidup kita sendiri.

Secara keseluruhan, Tales from the Café bukanlah bacaan yang mengejutkan dengan plot twist atau alur cepat.

Ia menenangkan, menyentuh, dan menawarkan ruang bagi kita untuk berdamai dengan masa lalu, bukan dengan mengubahnya, tetapi dengan memahaminya.

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Ardina Praf