Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Rion Nofrianda
Ilustrasi konser K-Pop (Pexels/Luis Quintero)

Fenomena K-pop di Indonesia semakin berkembang pesat dari tahun ke tahun, menjadi salah satu subkultur global yang tak terelakkan. Dengan popularitas yang terus meningkat, Indonesia kini menjadi negara dengan jumlah penggemar K-pop terbesar, terutama di media sosial. Melihat fenomena ini, banyak yang tergerak untuk lebih memahami apa yang mendasari tingginya ketertarikan penggemar terhadap budaya pop Korea tersebut, serta bagaimana faktor psikologis memengaruhi perilaku mereka. Di sinilah pentingnya penelitian yang menggali lebih dalam tentang hubungan antara identitas fandom, tipe kepribadian, dan pemujaan selebritas di kalangan penggemar K-pop di Indonesia.

K-pop bukan hanya sebuah genre musik. Ia telah berkembang menjadi fenomena sosial yang memengaruhi banyak aspek kehidupan masyarakat, terutama dalam hal perilaku konsumsi dan interaksi sosial di dunia maya. Salah satu fenomena yang paling mencolok adalah pemujaan terhadap selebritas, yang berkembang menjadi obsesi dan fanatisme berlebih terhadap idola mereka. Data dari media sosial menunjukkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kontribusi terbesar dalam perbincangan seputar K-pop. Twitter, misalnya, mencatatkan 7,5 miliar unggahan mengenai K-pop pada tahun 2021, dengan Indonesia sebagai salah satu penyumbang terbesar. Tak hanya itu, popularitas K-pop juga tercermin dalam tingginya penayangan video K-pop di YouTube dan Spotify yang melibatkan penggemar Indonesia. Bahkan, beberapa agensi hiburan Korea membuka cabang di Indonesia, seperti SM Entertainment yang membuka kantor cabang di Jakarta pada 2019.

Fenomena ini tak lepas dari pengaruh psikologi yang mendalam. Salah satu konsep psikologis yang menjelaskan hubungan penggemar dengan selebritas adalah konsep pemujaan selebritas atau "celebrity worship". Pemujaan ini tidak hanya berkisar pada kecintaan terhadap karya selebritas, tetapi juga pada kehidupan pribadi mereka, yang sering kali diikuti dengan perilaku obsesif. Dalam konteks ini, pemujaan selebritas dapat dibagi menjadi tiga dimensi. Dimensi pertama adalah hiburan-sosial, yang merujuk pada ketertarikan penggemar terhadap selebritas sebagai objek hiburan semata. Ini adalah dimensi yang paling rendah dampaknya dalam kehidupan sehari-hari penggemar. Dimensi kedua adalah personalisasi kuat, yang menggambarkan hubungan penggemar dengan selebritas mereka yang lebih intens, meskipun hanya terbatas pada interaksi melalui media sosial atau konten yang dipublikasikan oleh selebritas. Sedangkan dimensi terakhir adalah ambang patologis, yang menggambarkan penggemar yang terobsesi secara ekstrem dengan selebritas, bahkan sampai melakukan tindakan yang melanggar hukum atau norma demi mendapatkan perhatian dari selebritas tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Handoko, Rahaju, dan Siaputra (2024) dari Universitas Surabaya terbit dalam Jurnal Psikologi Ulayat menyelidiki hubungan antara identitas fandom, tipe kepribadian, dan pemujaan selebritas pada penggemar K-pop Indonesia. Studi ini melibatkan 716 penggemar K-pop di Indonesia yang diukur dengan menggunakan alat ukur Celebrity Attitude Scale, BFI-2 Short Version, dan Fandom Identity Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa identitas fandom, yaitu rasa keterikatan individu dengan komunitas penggemar, memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap perilaku pemujaan selebritas dibandingkan dengan faktor kepribadian individu. Hasil ini menegaskan bahwa pemujaan selebritas lebih berhubungan dengan dinamika kelompok penggemar daripada karakteristik pribadi penggemar itu sendiri.

Penelitian ini juga menggali tipe kepribadian penggemar berdasarkan model Big Five yang mencakup lima dimensi utama: neurotisisme, ekstraversi, keterbukaan pada pengalaman, kesesuaian, dan kewaspadaan terhadap tugas. Hasilnya menunjukkan bahwa hanya dimensi neurotisisme yang memiliki korelasi lemah dengan pemujaan selebritas. Penggemar K-pop yang memiliki tingkat neurotisisme tinggi cenderung lebih mudah terjebak dalam kecemasan dan ketidakamanan, yang mempengaruhi keterikatan mereka dengan selebritas sebagai pelarian emosional. Namun, dimensi kepribadian lainnya, seperti ekstraversi, keterbukaan pada pengalaman, dan kewaspadaan terhadap tugas, tidak menunjukkan pengaruh signifikan terhadap pemujaan selebritas. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kepribadian individu memengaruhi cara seseorang berinteraksi dengan komunitas penggemar, identitas fandom lebih mendominasi perilaku mereka dalam berhubungan dengan selebritas.

Selain itu, fanatisme terhadap K-pop yang berlebihan bisa memberikan dampak yang signifikan baik positif maupun negatif. Di sisi positif, keterlibatan dalam komunitas penggemar dapat meningkatkan rasa kebersamaan dan dukungan sosial di antara anggota fandom. Kegiatan bersama, seperti menonton konser, berbagi pengalaman di media sosial, atau mendukung produk yang berhubungan dengan idola mereka, dapat mempererat hubungan antar sesama penggemar. Namun, fanatisme yang berlebihan juga dapat menimbulkan dampak negatif, seperti kecanduan media sosial, pemborosan uang untuk membeli barang-barang yang berkaitan dengan selebritas, hingga perilaku yang merugikan diri sendiri atau orang lain. Beberapa penggemar mungkin mengembangkan ketidakpuasan terhadap diri sendiri atau citra tubuh mereka akibat membandingkan diri dengan standar yang ditampilkan oleh selebritas. Di tingkat yang lebih ekstrem, penggemar dengan pemujaan patologis dapat menunjukkan perilaku adiktif dan kriminal.

Dalam konteks ini, studi ini memberikan wawasan penting bagi pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam mengelola dampak positif dan negatif dari fenomena fanatisme penggemar K-pop di Indonesia. Pihak berwenang dapat menggunakan temuan ini untuk merancang kebijakan atau program yang lebih efektif dalam mengelola perilaku penggemar, serta mengoptimalkan potensi positif dari komunitas penggemar yang ada. Misalnya, pemerintah dan organisasi bisa mengadakan acara atau kegiatan yang tidak hanya melibatkan para penggemar dalam bentuk hiburan, tetapi juga dalam kegiatan yang mendidik dan bermanfaat bagi pengembangan diri mereka. Selain itu, penting juga untuk memberikan perhatian lebih terhadap dampak negatif yang mungkin timbul, seperti kecanduan media sosial atau pengaruh selebritas terhadap kesehatan mental penggemar.

Kesimpulannya, fenomena K-pop di Indonesia tidak hanya menunjukkan fenomena musik atau hiburan semata, tetapi juga memberikan gambaran tentang bagaimana identitas fandom dan kepribadian individu dapat memengaruhi perilaku penggemar. Pemujaan selebritas di kalangan penggemar K-pop lebih didorong oleh identitas kelompok yang terbentuk dalam komunitas penggemar, yang menandakan bahwa fanatisme ini lebih berhubungan dengan interaksi sosial di dalam komunitas daripada kepribadian pribadi. Penelitian ini juga memperingatkan pentingnya pemahaman yang lebih dalam terhadap dinamika penggemar dalam konteks psikologis, agar dampak positif dapat dimaksimalkan dan dampak negatif dapat diminimalisasi. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, fenomena K-pop hanyalah salah satu contoh bagaimana budaya global dapat mengubah pola pikir dan perilaku individu dalam masyarakat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS.

Rion Nofrianda