Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | Sabit Dyuta
Ilustrasi pena jurnalistik melawan intimidasi (Freepik/freepik)

Ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia semakin menjelma dalam bentuk yang brutal dan nyata. Teror berupa paket kepala babi dan bangkai tikus yang dikirimkan ke kantor redaksi Tempo bukanlah sekadar aksi vandalisme, melainkan pesan intimidasi yang jelas.

Melansir dari Suara.com, paket kepala babi tanpa telinga tiba di kantor Tempo pada Rabu, (19/03/2025), disusul enam bangkai tikus yang datang tiga hari kemudian. 

Koordinator Komite Keselamatan Jurnalis Indonesia, Erick Tanjung, dengan tegas menyebut tindakan ini sebagai simbol ancaman pembunuhan terhadap jurnalis.

Peristiwa ini terjadi tepat di tengah perdebatan hangat seputar revisi UU TNI yang baru disahkan DPR meski menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Timing yang terlalu presisi untuk disebut kebetulan.

Pertanyaannya sederhana tapi menohok: apakah teror ini merupakan upaya sistematis untuk membungkam suara media yang berani mengkritisi kebijakan kontroversial tersebut?

Pola intimidasi terhadap pers di Indonesia sesungguhnya bukan fenomena baru. Dari era kriminalisasi dengan UU ITE hingga kekerasan fisik terhadap jurnalis di lapangan, tekanan terhadap insan media terus bermetamorfosis dalam bentuk yang semakin mengkhawatirkan.

Yang berubah kini adalah eskalasi ancamannya—bukan lagi sekadar tekanan hukum atau intimidasi verbal, melainkan teror fisik yang mengirimkan pesan ketakutan yang jelas: berani bersuara, nyawa taruhannya.

Respons negara terhadap ancaman semacam ini pun seringkali jauh dari memadai. Meski Kapolri telah menginstruksikan penyelidikan, publik masih skeptis mengingat banyaknya kasus serupa yang berakhir tanpa kejelasan.

Di sisi lain, pernyataan Istana yang dikutip Suara.com bahwa tidak ada upaya sensor terhadap media terdengar hambar ketika pada saat yang sama, jurnalis di lapangan masih harus bekerja di bawah bayang-bayang ancaman.

Bagaimana mungkin bicara tentang jaminan kebebasan pers ketika mereka yang bertugas menyuarakan kebenaran hidup dalam ketakutan?

Iklim intimidasi ini berdampak lebih luas dari sekadar pada institusi media. Ketika jurnalis bekerja dalam ketakutan, masyarakat kehilangan akses terhadap informasi krusial.

Ketika media besar seperti Tempo saja bisa menjadi target teror, bagaimana dengan jurnalis independen di daerah yang bekerja tanpa perlindungan memadai? Ini bukan sekadar serangan terhadap satu redaksi, melainkan serangan terhadap pilar demokrasi itu sendiri.

Negara perlu mengambil langkah konkret—bukan sekadar retorika politik. Penyelidikan tuntas terhadap setiap kasus kekerasan terhadap jurnalis, perlindungan hukum yang memadai, hingga penghapusan pasal-pasal karet yang kerap digunakan untuk membungkam media menjadi prasyarat bagi ekosistem pers yang sehat.

Kebebasan pers bukanlah kemewahan, melainkan harga yang harus dibayar untuk menjadi negara demokratis yang sesungguhnya.

Teror terhadap Tempo adalah lakmus test untuk melihat seberapa serius negara ini memandang kebebasan berekspresi.

Jika kasus ini kembali berakhir tanpa penyelesaian tuntas, pesan yang terkirim ke seluruh insan pers sudah jelas: kebenaran memiliki harga, dan harganya mungkin terlalu mahal untuk dibayar. Di titik inilah masa depan demokrasi Indonesia sesungguhnya dipertaruhkan.

Sabit Dyuta