Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Athar Farha
Poster Film Merah Putih: One For All (Cinema 21)

Lagi scrolling timeline, terus tiba-tiba ada trailer film animasi baru. Dari judul dan temanya, langsung ketebak kalau itu bakal jadi film yang mengusung semangat kebangsaan, sesuatu yang terasa dekat di hati kita. Ya, Merah Putih: One For All. Film animasi yang katanya bakal jadi kebanggaan Indonesia, apalagi tayang di momen spesial: Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia.

Siapa yang nggak terhanyut dengan tema patriotisme yang diangkat? Cerita tentang anak-anak yang bertugas menjaga bendera pusaka, yang jadi simbol perjuangan dan persatuan bangsa. Idenya keren banget, benar-benar punya potensi jadi tontonan keluarga yang bisa menginspirasi banyak orang. Bahkan, aku langsung membayangkan film ini bisa jadi sesuatu yang ikonik, kayak film-film animasi inspiratif dari luar negeri.

Eh, setelah lihat trailernya, aku langsung tertegun. Bukan terharu karena pesannya, tapi terkejut karena animasinya jauh dari harapan. Kaku, dan nggak sehalus animasi-animasi yang sudah kita lihat di layar lebar. Karakter-karakternya terlihat seperti digambar dengan terburu-buru, dan gerakan mereka nggak smooth sama sekali. Beberapa netizen bahkan langsung bikin meme dan mengkritik habis-habisan. Dari situ, aku mulai sadar ada masalah besar yang sedang terjadi di balik produksi film ini.

Film Merah Putih: One For All diproduksi dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari sebulan? Pantas saja visualnya bikin ngakak. Dan di situlah masalah utama muncul. 

Kalau dipikir-pikir, animasi itu bukan proyek yang bisa selesai dalam waktu singkat. Pengerjaannya membutuhkan waktu yang panjang dan detail, mulai dari penulisan naskah, desain karakter, storyboard, modeling, animasi, hingga rendering, yang semuanya membutuhkan keahlian dan proses yang nggak bisa dipercepat tanpa mengorbankan kualitas. Coba bayangkan kalau kamu diminta masak hidangan lima bintang dengan bahan seadanya dalam waktu yang sangat terbatas. Hasilnya pasti nggak sesuai ekspektasi, kan?

Barangkali di sinilah masalahnya; mentalitas ‘yang penting rilis’ yang semakin menguat di industri film, termasuk animasi. 

Kalau mentalitas ini terus dipertahankan, kita cuma akan terus mendapatkan film-film yang terlihat buru-buru, dan bukan yang benar-benar bisa dinikmati dan dihargai penonton. Kadang aku mikir, apakah produsernya benar-benar yakin dengan apa yang mereka hasilkan, atau mereka hanya terlalu fokus pada tanggal rilis yang sudah dijadwalkan?

Sebenarnya, fenomena kejar tayang bukan hal yang baru. Industri film, terutama yang berkaitan dengan animasi, memang memiliki tekanan yang besar untuk segera merilis produk mereka ke pasar. 

Kadang ada rasa urgensi, seperti “Kita harus keluar pas Hari Kemerdekaan” atau “Kita harus tayang di bulan ini supaya bisa masuk ke festival dan cuan segera.” Namun, masalahnya adalah, kejar tayang yang berlebihan ini seringkali mengorbankan kualitas, dan pada akhirnya, yang terjadi adalah hasil karya yang hanya jadi ‘produk’.

Sebagai contoh, kita tahu film animasi itu nggak bisa dikerjakan dalam waktu sekejap. Misalnya, film animasi Disney atau Pixar, mereka bisa menghabiskan waktu lebih dari tiga tahun untuk menggarap satu proyek. Dan ini bukan tanpa alasan. Setiap detail dipikirkan matang, dan teknologi yang digunakan untuk menghasilkan animasi yang sempurna membutuhkan banyak percakapan dan uji coba. Jangan lupa dengan tim kreatif yang juga butuh waktu untuk meneliti, menguji, dan mengevaluasi agar cerita dan karakter bisa benar-benar mengena.

Sayangnya di Indonesia, kita seringkali mendengar cerita produksi yang tergesa-gesa, dimana tim kreatif harus bekerja keras dalam waktu yang sangat singkat, seringkali hanya beberapa bulan atau bahkan beberapa minggu. Dan yang paling menyedihkan, hasilnya terasa ngasal. Animasi yang kaku, cerita yang nggak tuntas, dan karakter yang kurang hidup. Itulah yang didapatkan saat produksi film lebih fokus pada tanggal tayang ketimbang kualitas karya yang dihasilkan.

Pernahkah Sobat Yoursay berpikir, “Kenapa film animasi Indonesia seringkali nggak bisa saingan dengan film luar negeri?” Jawabannya bisa jadi karena kita terus-menerus terjebak dalam mentalitas yang mementingkan kecepatan tayang daripada pengembangan kualitas jangka panjang.

Nggak kebayang deh, jika terus-menerus ada film animasi yang keluar dengan kualitas seperti ini, penonton lama-lama akan bosan. Apalagi dengan semakin berkembangnya teknologi, penonton sekarang lebih terbiasa dengan kualitas animasi yang lebih mulus, lebih realistis, dan lebih ekspresif. Bayangkan saja, siapa yang masih betah nonton film animasi lokal yang kualitas teknisnya jauh di bawah standar internasional?

Investor dan produser juga jadi ikut-ikutan terjebak di pola ini. Mereka jadi berpikir, “Ah, animasi lokal ini nggak perlu budget gede, toh bisa tayang juga.” Pola semacam ini bakal mematikan industri animasi lokal. Kalau terus dipaksa berproduksi dalam tekanan waktu, animator yang berbakat bisa saja kabur ke luar negeri untuk bekerja di studio yang lebih menghargai kualitas. Dan itu bisa jadi kerugian besar buat Indonesia.

Selain itu, kepercayaan publik juga semakin luntur. Penonton nggak lagi melihat film animasi lokal sebagai sesuatu yang punya kualitas. Mereka cuma akan melihatnya sebagai produk murah yang hanya tayang karena ingin segera mendapat cuan. Ini benar-benar bisa merusak industri animasi dalam jangka panjang.

Aku nggak pesimis kok. Aku yakin industri animasi Indonesia bisa bangkit, asalkan kita mulai serius mengubah pola pikir. Kita harus berhenti berpikir bahwa yang penting adalah “rilis”, dan mulai fokus pada proses pengembangan yang matang, kualitas, dan ide-ide orisinal. Ya, memang butuh waktu. Namun, kalau kita bisa meluangkan waktu untuk memoles karya, hasilnya pasti akan jauh lebih baik, dan penonton akan kembali memberi kepercayaan.

Kalau film animasi lokal mulai dibuat dengan lebih banyak perhatian terhadap detail dan pengembangan cerita, mungkin kita bisa punya film animasi yang bisa bersaing dengan luar negeri, dan yang lebih penting, diterima dengan baik oleh penonton seperti halnya Film Jumbo. 

Semoga ke depannya ada lebih banyak film animasi yang kece-kece. Aamiin. 

Athar Farha