Ada satu fase dalam hidup yang seringkali orang-orang cuma bahas separuhnya, yakni penantian. Apalagi kalau yang dinanti adalah kehadiran buah hati. Dalam banyak cerita yang aku dengar (dan kadang saksikan), fokusnya biasanya hanya pada perjuangan istri. Suami? Sering digambarkan sebagai sosok yang mendukung ‘secukupnya’, bahkan nggak jarang absen secara emosional. Namun, Film Lyora: Penantian Buah Hati mengajakku melihat sisi lain perihal menjaga kewarasan bersama itu sama pentingnya dengan menjaga asa.
Film garapan Sutradara Pritagita Arianegara ini diangkat dari kisah nyata pasangan publik, yakni politisi Meutya Viada Hafid dan suaminya, Noer Fajrieansyah.
Diproduksi atas kolaborasi Paragon Pictures, Jarasta Enterprise, dan Ideosource Entertainment, film ini benar-benar menyentuh kalbu berkat skrip yang ditulis Titien Wattimena, dan tentu saja berkat penampilan prima dari Aktor Darius Sinathrya (sebagai Noer) dan Marsha Timothy (sebagai Meutya).
Menanti dengan Mental Sehat
Dari segi sisi cerita, memang terbilang sederhana, tapi bila menilik bahwa ini kisah nyata, tentu saja kesederhanaan kisahnya pun mampu menghantam hati.
Dikisahkan Meutya dan Noer menjalani pernikahan yang hangat, tapi diuji penantian panjang akan kehadiran buah hati. Di tengah tekanan keluarga (bisa jadi), masyarakat, dan jam biologis yang terus berdetak, mereka menemukan makna pernikahan terpenting: Kekuatan terbesar ada pada hal-hal kecil, misalnya duduk bersama di ruang tamu saat hati sedang remuk, menatap tanpa perlu kata-kata, dan sekadar memegang tangan saat air mata jatuh.
Bagaimana karakter Noer, nggak pernah benar-benar mengambil peran sebagai ‘pahlawan’ yang menyelesaikan masalah, sosoknya memang terbilang green flag yang nggak pernah menyudutkan. Dia hadir. Itu saja. Kedengarannya sepele, tapi bagi pasangan yang sedang berjuang, kehadiran emosional itu bisa jadi jangkar yang menjaga dari karamnya kewarasan.
Film ini mengingatkan diriku akan satu hal. Misalnya, di tengah badai konflik maupun ujian, kita nggak selalu butuh seseorang yang menunjukkan jalan keluar. Kadang kita cuma butuh seseorang yang mau tetap duduk di samping kita saat gelap datang.
Bagi aku pribadi, ini bukan cuma cerita tentang menanti anak, tapi tentang kesehatan mental pasangan. Tekanan dari luar bisa sangat menggerus, apalagi ketika setiap pertemuan keluarga atau teman berubah jadi sesi tanya-jawab yang menusuk. Contohnya, “Kapan punya anak?”
Dalam kondisi seperti itu, dukungan emosional dari pasangan bukan bonus, tapi kebutuhan dasar. Dan Film Lyora: Penantian Buah Hati menggambarkan itu dengan tulus tanpa melodrama berlebihan, tapi juga tanpa menutupi rasa sakitnya.
Pritagita Arianegara berhasil menggarapnya dengan pendekatan humanis. Kamera nggak selalu mengejar momen-momen besar, tapi menangkap detik-detik sunyi yang biasanya kita lewatkan. Misalnya, ekspresi wajah yang tertahan, napas yang berat sebelum bicara, atau tatapan yang berisi seribu kata. Semua itu membuat aku merasa sedang mengintip kehidupan nyata, bukan menonton film.
Setelah nonton Film Lyora: Penantian Buah Hati, aku mendapat satu kesadaran baru, bahwa menjaga kesehatan mental dalam hubungan adalah kerja tim. Nggak ada yang ‘lebih menderita’ atau ‘lebih berjuang’, yang ada adalah bagaimana kita saling menopang di saat yang lain hampir jatuh. Dan seperti Noer, mungkin kita juga bisa belajar menjadi pasangan yang baik bukan soal memberikan solusi, tapi memberikan ruang, waktu, keyakinan, kesabaran, dan yang terpenting adalah jati.
Mungkin itu yang disebut green flag sejati. Pokoknya, film ini bakal menguras banyak air mata jika ditonton sama penonton yang merasa related banget dengan kisah yang disuguhkan. Buat pejuang dua garis biru, yuk, jangan pernah menyerah!
Sudahkah Sobat Yoursay Nonton Film Lyora: Penantian Buah Hati yang rilis sejak 7 Agustus 2025? Jika belum, yuk nonton sebelum turun layar!
Baca Juga
Artikel Terkait
-
5 Film Tema Kemerdekaan Indonesia, Wajib Ditonton untuk Gelorakan Nasionalisme!
-
Habiskan Rp 6,7 Miliar, Siapa Dalang di Balik Film Animasi 'Merah Putih' yang Viral Dihujat Netizen?
-
Review Film Sound of Falling: Horor Empat Zaman di Rumah Tua
-
Kontroversi Film Merah Putih One For All: 5 Aspek Krusial Proyek Rp6,7Miliar Dikebut 2 Bulan
-
Kunto Aji Pertanyakan Biaya Produksi hingga Sosok Di Balik Film Merah Putih One For All
Kolom
-
Yang Penting Rilis, Mentalitas di Balik Produksi Animasi Lokal
-
Marhaenisme: Ideologi dari Soekarno yang Tak Lekang oleh Zaman
-
Vila Mewah vs Komodo: Ketika Pembangunan Mengancam Warisan Alam Terakhir
-
Sri Mulyani Sentil Gaji Guru Rendah: Pajak Rakyat Buat Apa?
-
Paradoks Era Digital: Akses Finansial Mudah tapi Literasi Keuangan Rendah
Terkini
-
Gabung Sassuolo, Ini 3 Nama Saingan Kapten Timnas Indonesia, Jay Idzes
-
Peringkat Timnas Putri Merosot, Liga Wanita Bisa Jadi Solusi Bagi PSSI?
-
Plot Twist Ngeri, dan Kesetiaan dalam Novel Mawar Merah: Metamorfosis
-
Bukan Jordi Amat dan Rizky Ridho, Ternyata Pemain Ini yang Jadi Pemain Termahal Liga Indonesia
-
Review Film Sound of Falling: Horor Empat Zaman di Rumah Tua