Demokrasi dan kebebasan pers adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Sebuah negara yang mengklaim diri sebagai demokrasi harus memberikan ruang bagi pers untuk bekerja secara independen, tanpa takut akan ancaman atau intimidasi. Namun, di Indonesia, situasi ini semakin dipertanyakan.
Media yang berani mengungkap kebenaran diintimidasi, jurnalis yang menulis kritik dikriminalisasi, dan masyarakat pun perlahan kehilangan haknya untuk mengetahui informasi yang sebenarnya.
Kasus terbaru berupa teror kepala babi dan bangkai tikus yang dikirim ke kantor Tempo menunjukkan bagaimana tekanan terhadap media semakin meningkat.
Jika situasi ini terus berlanjut, apakah kita masih bisa menyebut Indonesia sebagai negara demokratis?
Dalam beberapa tahun terakhir, ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia semakin nyata. Media yang berani bersuara kritis tak jarang menjadi sasaran serangan, baik secara fisik maupun digital.
Tempo, menjadi korban teror yang mengingatkan kita akan gelapnya masa lalu ketika kebebasan berbicara dikekang. Kiriman kepala babi dan bangkai tikus yang diterima kantor mereka bukan hanya bentuk intimidasi, tetapi juga pesan yang jelas bahwa ada pihak-pihak yang tidak ingin kebebasan pers terus hidup.
Jika setiap kritik terhadap kebijakan pemerintah berujung pada ancaman dan tekanan, maka fungsi media sebagai pilar keempat demokrasi perlahan terkikis.
Jika jurnalis harus selalu waspada karena memberitakan fakta yang tidak disukai penguasa, bagaimana mereka bisa menjalankan tugasnya dengan bebas?
Di era modern, membungkam media tidak selalu dilakukan dengan cara kasar seperti membredel koran atau menangkap jurnalis secara terang-terangan. Kriminalisasi dan tekanan ekonomi kini digunakan untuk membungkam media dengan cara yang lebih halus.
Sebagian media mulai berhati-hati dalam pemberitaan mereka, bukan karena kekurangan fakta, tetapi karena takut menghadapi konsekuensi hukum yang bisa mengancam keberlangsungan mereka.
Jurnalis yang ingin melaporkan kasus-kasus korupsi atau pelanggaran hak asasi manusia harus berpikir dua kali sebelum menekan tombol "terbitkan".
Ketakutan inilah yang menjadi senjata paling efektif untuk membungkam pers. Tak perlu melarang media secara langsung—cukup ciptakan atmosfer ketidakpastian, di mana setiap kata bisa berujung pada ancaman hukum atau bahkan kekerasan.
Perlahan tapi pasti, media akan mulai membatasi diri mereka sendiri, memilih diam daripada harus berhadapan dengan risiko besar.
Kebebasan pers bukan hanya milik jurnalis atau pemilik media. Kebebasan pers adalah hak setiap warga negara untuk mendapatkan informasi yang jujur dan tidak dikendalikan oleh kepentingan tertentu.
Tanpa pers yang bebas, masyarakat hanya akan menerima informasi yang telah disaring, direkayasa, dan dikemas sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu. Tak ada lagi ruang untuk kritik, tak ada lagi ruang untuk perdebatan yang sehat.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, maka kita akan sampai pada titik di mana demokrasi hanyalah kata tanpa makna. Sebuah sistem yang tampak bebas di permukaan, tetapi di dalamnya penuh dengan ketakutan dan kebungkaman.
Pertanyaan terbesar yang harus kita tanyakan pada diri sendiri adalah: Apakah kita benar-benar hidup dalam demokrasi jika pers tidak lagi bisa bersuara?
Demokrasi seharusnya menjadi sistem yang memberi ruang bagi setiap individu untuk berbicara, berpendapat, dan mencari kebenaran. Tetapi jika kebenaran itu sendiri dianggap sebagai ancaman, maka kita harus mulai mempertanyakan arah yang sedang kita tuju.
Jika hari ini kita membiarkan media dibungkam, maka esok, suara kita sebagai rakyat yang akan menghilang.
Apakah menurutmu kebebasan pers di Indonesia masih bisa diselamatkan?
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Gerakan Rereongan Sapoe Sarebu: Mengapa Ide Dedi Mulyadi Memicu Kritik?
-
QRIS dan Dompet Digital: Siapkah Indonesia Cashless Total?
-
QRIS Antarnegara: Simbol Indonesia Jadi Pemain Utama Ekonomi Digital ASEAN
-
E10 Wajib 10 Persen: Kenapa Kebijakan Etanol Ini Dikhawatirkan?
-
Menkeu Purbaya Potong Anggaran Daerah: Shock Therapy untuk Pemda Lamban
Artikel Terkait
-
Kantor Media Diteror, Akademisi Sebut Seperti Kembali ke Masa Orde Baru
-
Profil Neal Petersen, Jurnalis Belanda Tuai Pujian karena Tak Mau Ganggu Pemain Timnas Indonesia
-
Timnas Indonesia vs Bahrain: Patrick Kluivert Disebut Media Vietnam Tak Profesional
-
Media Asing Sebut Timnas Indonesia Tak Miliki Filosofi Permainan yang Jelas
-
Media Vietnam: Patrick Kluivert Kepedean
Kolom
-
Refleksi Satu Tahun Komunikasi Publik Pemerintahan Presiden Prabowo
-
Generasi Muda dan Konser Musik: Bukan Sekadar Arena Hiburan, Tapi Tempat Refleksi Diri
-
Menilik Tokoh Ryuji: Dari Obsesi Peneliti ke Candaan Ableisme
-
Harga Emas Antam Turun Rp9.000: Saatnya Beli atau Tunggu Lagi?
-
Breaking the Chain: Seni, Riset, dan Upaya Memutus Rantai Pernikahan Anak
Terkini
-
Kreator Frieren: Beyond Journeys End Hiatus Lagi karena Masalah Kesehatan
-
Fakta Ironis Patrick Kluivert, Tak Mampu Dapatkan 1 Poin Pun saat Bertanding di Luar Kandang!
-
Ditolak Lagi: Mental Load di Tengah Persaingan Kerja
-
4 OOTD Mawar Eva, Pesona Anggun Pemain Film Sampai Titik Terakhirmu!
-
Boleh Ditiru! 8 Jurus Jitu Bikin Liburan Aman, Nyaman, dan Bebas Drama