Di era digital yang bergerak begitu cepat, dunia terasa seperti sebuah panggung raksasa yang tak pernah gelap. Cahaya terang dari layar gawai menyala hampir dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu, tanpa jeda. Kita semua menjadi penonton dan pemain dalam waktu yang sama. Dalam keramaian yang nyaris tidak berujung itu, diam-diam tumbuh sebuah kecemasan modern yang tidak disebutkan secara langsung, namun terasa menguasai: FOMO, atau fear of missing out. Sebuah istilah yang tampak sederhana, tetapi di baliknya tersembunyi mekanisme psikologis kompleks yang mampu menggerus kesehatan mental generasi digital hari ini.
FOMO bukanlah sekadar takut ketinggalan acara, tren, atau informasi. Ia adalah gejala kegelisahan eksistensial yang berasal dari ilusi bahwa kehidupan orang lain lebih menyenangkan, lebih kaya, lebih sukses, dan lebih berarti dibandingkan hidup kita sendiri. Rasa takut itu tumbuh dari ketidakhadiran kita di berbagai peristiwa, baik nyata maupun maya. Media sosial menjadi medan utama di mana kecemasan ini tumbuh subur, menjelma menjadi semacam perang psikologis yang sunyi, namun menggerogoti dari dalam. Setiap unggahan liburan teman, foto pernikahan rekan seangkatan, hingga pencapaian karier seseorang di LinkedIn, tanpa sadar berubah menjadi cermin pembanding yang kejam. Kita membandingkan, menilai, dan akhirnya meragukan nilai diri sendiri.
Dunia digital telah menciptakan ilusi koneksi yang sangat kuat, tetapi dalam waktu yang sama menumbuhkan rasa keterasingan. Ironisnya, semakin terkoneksi seseorang secara daring, semakin tinggi pula kemungkinan dia merasa tertinggal atau terisolasi secara emosional. FOMO bukanlah gangguan klinis, namun dampaknya terhadap psikologis seseorang bisa sangat nyata. Ia bisa memicu stres kronis, kecemasan sosial, penurunan harga diri, hingga depresi. Ketika seseorang merasa bahwa dirinya tidak cukup 'hadir' dalam kehidupan sosial digital, ia mulai merasa kehilangan tempat dan makna.
Teknologi, dalam hal ini media sosial, bekerja dengan algoritma yang sangat pandai mengenali pola perhatian manusia. Algoritma tersebut tidak didesain untuk kesejahteraan psikologis kita, melainkan untuk mempertahankan atensi selama mungkin. Maka tak heran, kita menjadi budak notifikasi, terpancing oleh angka likes, views, atau mention. Di balik layar, mesin algoritma bekerja seperti dealer adiksi yang terus menyuapkan dopamine dosis kecil, menciptakan candu dan kecemasan sekaligus. FOMO muncul bukan semata karena kita tidak ikut dalam peristiwa tertentu, melainkan karena algoritma memanipulasi persepsi kita bahwa semua orang selalu bersenang-senang tanpa kita.
Secara psikologis, FOMO berkaitan erat dengan self-comparison dan kebutuhan untuk diterima (need to belong). Ketika seseorang melihat orang lain melakukan sesuatu yang dianggap menyenangkan atau penting, dan ia tidak ikut terlibat, maka muncul perasaan ditinggalkan, diabaikan, bahkan tak layak. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada remaja, tetapi juga orang dewasa yang mulai mempertanyakan arah hidupnya karena terlalu sering melihat narasi-narasi kesuksesan orang lain di media digital. Hidup seakan berubah menjadi ajang pertunjukan, di mana kebahagiaan harus ditunjukkan agar dianggap nyata, dan makna harus divalidasi lewat statistik keterlibatan.
Dalam studi-studi psikologi terbaru, FOMO dikaitkan dengan penurunan well-being secara umum. Orang yang mengalami FOMO cenderung mengalami gangguan tidur karena terus-menerus memantau media sosial bahkan saat malam hari. Mereka juga cenderung mengambil keputusan impulsif bergabung dalam acara yang tidak diinginkan, belanja yang tidak direncanakan, bahkan memaksakan diri untuk tampil sempurna di dunia maya. Semua itu dilakukan demi mempertahankan citra dan keikutsertaan dalam alur sosial digital, sekalipun itu merusak keseimbangan internal mereka.
Tidak hanya soal konten personal, FOMO juga menyusup ke dalam ranah informasi. Kita cemas jika tidak tahu berita terbaru, merasa kurang pintar jika tertinggal isu viral, atau merasa tidak terlibat jika tidak berkomentar di kolom diskusi daring. Informasi berubah menjadi konsumsi yang membanjiri nalar, bukan lagi untuk memperkaya pemahaman, tetapi untuk memenuhi dorongan agar tidak dianggap ‘out of the loop’. Inilah wajah lain dari perang psikologis era digital: ketika otak manusia dipaksa memproses terlalu banyak hal dalam waktu singkat, tanpa ruang untuk merenung atau membedakan mana yang penting dan mana yang tidak.
FOMO juga berdampak pada hubungan interpersonal. Kita menjadi lebih sulit hadir secara penuh dalam interaksi nyata karena sebagian perhatian selalu terpecah dengan dunia digital. Saat berkumpul, sebagian dari kita lebih sibuk mengambil foto dan mengedit caption daripada menikmati kebersamaan. Saat bersama pasangan, kita bisa tiba-tiba berubah murung hanya karena melihat unggahan orang lain yang tampaknya lebih romantis. Dalam jangka panjang, hal ini menciptakan hubungan yang dangkal, karena di baliknya menyimpan luka perbandingan dan ketidakpuasan yang terus dipelihara secara diam-diam.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: mengapa kita membiarkan FOMO mengendalikan keseharian kita? Jawabannya mungkin terletak pada identitas diri yang semakin lekat dengan citra digital. Dalam dunia yang menilai seseorang dari seberapa aktif, seberapa menarik, dan seberapa update dia di dunia maya, kita pun secara tidak sadar mulai mengikat harga diri pada keterlibatan digital. Kita ingin terlihat, ingin dianggap relevan, dan ingin menjadi bagian dari percakapan yang sedang berlangsung. Kita takut menjadi bayangan, meskipun harus kehilangan ketenangan batin.
FOMO bukan hanya produk dari dunia yang sibuk, tetapi juga dari dunia yang menuntut kehadiran simultan di banyak ruang sekaligus. Kita ditarik oleh notifikasi, dituntut untuk cepat merespons, diminta untuk terus hadir. Tidak ada ruang untuk absen, apalagi diam. Dalam ruang-ruang digital yang riuh, kesunyian menjadi kemewahan. Dan di sanalah perang psikologis itu bekerja: ketika jeda dianggap kelemahan, ketika ketiadaan diartikan sebagai ketertinggalan, dan ketika keheningan dianggap sebagai kegagalan sosial.
Namun di tengah semua itu, FOMO juga membuka ruang refleksi. Ia adalah cermin zaman, yang menantang kita untuk kembali bertanya: apa yang benar-benar penting? Kehidupan macam apa yang ingin kita jalani, terlepas dari bagaimana itu terlihat di mata orang lain? Dalam era di mana segala sesuatu tampak harus dibagikan dan divalidasi, keberanian untuk menjalani hidup secara utuh meski tidak terlihat menjadi bentuk perlawanan yang paling otentik.
Perlu kita sadari bahwa tidak semua kehidupan perlu ditampilkan, dan tidak semua kebahagiaan harus diberi filter. Kesehatan mental tidak diukur dari jumlah followers, dan rasa cukup tidak datang dari like atau mention. Menghadapi FOMO bukan berarti menolak teknologi, tetapi membangun kesadaran akan batas batas antara diri yang asli dan diri yang ditampilkan. Kita perlu menciptakan ruang hening, membatasi eksposur digital, dan belajar untuk hadir sepenuhnya dalam momen nyata, bukan hanya sebagai dokumentasi.
Psikologi positif menyarankan praktik gratitude dan mindfulness sebagai cara mengatasi FOMO. Bersyukur atas hal-hal sederhana yang sering luput dari perhatian bisa menumbuhkan rasa cukup, dan mindfulness membantu kita kembali pada kesadaran penuh akan momen kini. Dalam dunia yang terus mengarahkan pandangan kita pada apa yang belum dimiliki, kita perlu melatih mata batin untuk melihat apa yang sudah ada dan cukup.
Generasi digital adalah generasi yang cerdas, adaptif, dan penuh potensi. Namun mereka juga rentan, karena hidup di persimpangan antara realitas dan representasi. FOMO hanyalah salah satu dari sekian banyak tantangan psikologis yang muncul dalam dunia yang serba cepat dan terhubung. Mengatasinya butuh kesadaran kolektif, bukan hanya dari individu, tetapi juga dari ekosistem digital itu sendiri. Platform media sosial perlu lebih etis, sekolah perlu mengajarkan literasi digital yang menyentuh aspek emosional, dan masyarakat perlu mengembalikan makna pada relasi yang nyata.
Di tengah derasnya arus informasi dan interaksi maya, barangkali kita semua butuh mengingat satu hal: tidak apa-apa tertinggal. Tidak apa-apa tidak tahu apa yang viral hari ini. Tidak apa-apa memilih diam dan absen dari hiruk-pikuk. Karena ketenangan adalah kemewahan baru, dan kehadiran penuh dalam hidup kita sendiri adalah kemenangan paling hakiki. Perang psikologis di era digital memang nyata, tapi kita tidak harus selalu ikut bertarung. Kadang, kemenangan sejati justru hadir ketika kita berani mundur dan memilih damai.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Saat Kenangan Jadi Komoditas: Psikologi di Balik Tren Vintage Masa Kini
-
Siapa Ryu Kintaro? Mengenal Sosok Pengusaha Cilik yang Viral Gegara Video Bocah Perintis
-
Gen Z Lebih Pilih Sehat Mental Dibanding IPK Cumlaude, Salahkah?
-
Studi: Disinformasi Cuaca Ekstrem di Medsos Hambat Penyelamatan Nyawa Korban Terdampak
-
Ketika Karnaval Jadi Derita! Sound Horeg dan Dampak Nyata untuk Kesehatan
Kolom
-
Saat Kenangan Jadi Komoditas: Psikologi di Balik Tren Vintage Masa Kini
-
Menyelamatkan Harimau: Ketika Konservasi Satwa Liar Menjadi Solusi Iklim
-
Psikolog Masuk Sekolah: Kebutuhan Mendesak atau Sekadar Wacana?
-
Naik Jabatan, Retak Hubungan: Mengapa Banyak ASN dan PPPK Minta Cerai?
-
Di Tengah Budaya Skimming saat Membaca, Masih Perlukah Menulis dengan Rasa?
Terkini
-
Pecco Bagnaia Minta MotoGP Tetap Masukkan 'Sirkuit Klasik' dalam Kalender
-
4 Fakta Menarik Demon Slayer: Kimetsu no Yaiba Infinity Castle First Movie
-
Tayang Agustus, Intip Peran Gong Seung Yeon dalam Drama My Lovely Journey
-
Tech3 Bawa Dua Kabar Bahagia, Herve Poncharal Tenang Sambut Jeda Paruh Musim
-
4 Gentle Peeling Serum Rp30 Ribuan, Eksfoliasi Tanpa Perih untuk Pemula