Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Yudi Wili Tama
Ilustrasi konservasi harimau (Unsplash/lying down)

Bayangkan ini: seekor harimau benggala sedang berlenggak-lenggok di tengah hutan India, tanpa tahu bahwa dirinya—selain menjadi bintang film dokumenter alam—juga adalah pahlawan iklim global. Ironis bukan? Kita sibuk debat soal panel surya dan mobil listrik, sementara si belang cuma perlu hidup tenang di hutannya, dan voila! Emisi karbon pun turun.

Tapi ini bukan dongeng Disney. Studi yang diterbitkan di Nature Ecology and Evolution (2023) menunjukkan bahwa konservasi harimau di India tak hanya menjaga spesies langka tetap eksis, tapi juga berperan aktif dalam menyelamatkan hutan dari gergaji mesin.

Hasilnya? Lebih dari 5.800 hektar hutan terselamatkan, 1 juta ton emisi karbon tak jadi melayang ke atmosfer, dan India hemat hampir 100 juta dolar dari potensi bencana iklim.

Mungkin sudah saatnya kita berhenti memandang konservasi sebagai urusan pecinta binatang semata, dan mulai melihatnya sebagai strategi iklim paling cerdas, murah, dan… punya cakar.

Harimau, Hutan, dan Heliumnya Dunia

Bukan rahasia lagi bahwa hutan tropis adalah paru-paru dunia. Tapi sayangnya, banyak dari kita memperlakukannya seperti asbak tua: dibakar, ditebangi, lalu dibiarkan kering kerontang. Nah, inilah titik masuk si harimau.

Konservasi harimau berarti menjaga habitatnya. Menjaga habitatnya berarti menjaga hutan tetap utuh. Dan hutan yang utuh berarti karbon tetap terperangkap di akar dan batang pohon, bukan di langit sebagai gas rumah kaca.

Penelitian Tahzeeb Fatima et al. (2025) menyebutkan bahwa program konservasi harimau berkontribusi langsung pada pengurangan deforestasi secara signifikan. Tidak dengan slogan bombastis atau seminar yang penuh katering, tapi dengan bukti konkret: 5.800 hektar hutan selamat dari pembalakan liar.

Bayangkan, jika seekor harimau menyelamatkan hutan seluas kota, maka sekawanan harimau bisa menyelamatkan satu negara. Oke, itu agak berlebihan, tapi Anda mengerti maksudnya.

Konservasi: Strategi Iklim dengan Bonus Bulu dan Belang

Dunia sedang tergila-gila dengan teknologi hijau: kendaraan listrik, panel surya, pembangkit angin, bahkan sapi yang diberi makan rumput “rendah metana.” Tapi semua itu mahal, rumit, dan seringkali bikin sakit kepala birokrasi.

Di sisi lain, konservasi satwa liar menawarkan strategi iklim yang elegan: biarkan hewan liar hidup damai, dan biarkan hutan bekerja sebagai penyedot karbon alami.

Finch et al. (2023) menegaskan bahwa perlindungan ekosistem seperti ini membantu menjaga stok karbon di vegetasi dan tanah. Dan bukan cuma menjaga, tapi juga meningkatkan daya serap karbon.

Dalam kasus konservasi harimau di India, jumlah emisi yang berhasil dihindari mencapai 1,08 juta ton setara karbon dioksida. Itu sama dengan mengeluarkan 200.000 mobil dari jalanan selama setahun—tanpa perlu recall atau subsidi pemerintah.

Jadi, mengapa repot-repot membuat mobil listrik jika kita bisa menyelamatkan harimau saja?

Kredit Karbon: Uang dari Jejak Kaki Harimau

Ah, bagian yang paling menyenangkan dari segala upaya lingkungan: uang. Ya, jangan munafik, tidak semua orang mau menyelamatkan bumi demi cinta semata. Tapi tenang, konservasi harimau juga punya daya tarik kapitalis: potensi menghasilkan uang lewat pasar karbon.

Studi terbaru menunjukkan bahwa penghindaran emisi akibat konservasi harimau di India setara dengan potensi penghematan biaya sebesar 93 juta dolar AS.

Lebih dari itu, kawasan konservasi bisa menghasilkan carbon credit yang dapat diperjualbelikan di pasar internasional. Artinya, jejak kaki harimau bukan hanya menggetarkan tanah, tapi juga menggetarkan grafik keuntungan investor hijau.

Kini kita tak perlu lagi melihat konservasi sebagai pengeluaran sosial, tapi sebagai investasi masa depan. Seperti startup, tapi versi belang dan tidak butuh pitching ke venture capitalist.

Mungkin di masa depan kita akan menyaksikan sebuah startup bernama “HarimauCoin” yang memperdagangkan karbon dan memelihara satwa. Kalau Elon Musk tahu ini, bisa jadi dia akan mengganti Twitter dengan suara auman.

Dua Sisi Mata Uang: Biodiversitas dan Iklim

Coba kita jujur sebentar: banyak proyek iklim yang justru merusak biodiversitas. Misalnya, pembangunan bendungan untuk energi “bersih” yang malah menenggelamkan hutan dan habitat satwa langka. Di sinilah kita harus mengubah paradigma: biodiversitas dan iklim bukan saingan dana, melainkan mitra strategis.

Wudu et al. (2023) menegaskan bahwa keanekaragaman hayati mendukung layanan ekosistem penting seperti regulasi air dan karbon. Jika kita melindungi harimau dan teman-temannya—gajah, badak, hingga burung-burung yang tak sempat viral—maka kita juga sedang memperkuat pertahanan bumi terhadap perubahan iklim.

Dengan kata lain, menyelamatkan harimau bukan soal pelestarian nostalgia masa kecil atau konten Instagram safari, tapi soal menjaga sistem penyangga kehidupan global. Jika Anda masih merasa ini cuma urusan “aktivis lingkungan,” mungkin Anda harus melihat ulang tagihan listrik Anda saat musim panas.

Saatnya Kebijakan Publik Belajar dari Hutan

Mari kita akui, selama ini pendekatan kita pada krisis iklim cenderung teknokratis, birokratis, dan terkadang terlalu pesimis. Kita terlalu sibuk menambal lubang, alih-alih mencegah jalan berlubang sejak awal. Konservasi satwa liar, yang selama ini dianggap "bonus tambahan," justru bisa jadi kartu truf kita dalam menghadapi krisis iklim.

Sebagai negara dengan biodiversitas melimpah, Indonesia seharusnya berdiri di garis depan dalam agenda ini. Kita punya harimau sumatra, orangutan, anoa, hingga burung cendrawasih—semua bisa jadi mitra ekologis kita, sekaligus “aset” dalam diplomasi karbon global.

Namun agar itu terjadi, kita perlu memperbaiki banyak hal: kebijakan konservasi yang sering setengah hati, pendanaan yang minim, dan kesadaran publik yang lebih suka selfie dengan harimau di kebun binatang ketimbang menyumbang untuk perlindungan habitat aslinya.

Jika kita bisa mengubah cara pandang ini, mungkin suatu saat, ketika dunia menghadapi gelombang panas ekstrem atau krisis air bersih, kita bisa bilang dengan bangga: “Kami menyelamatkan harimau, dan mereka menyelamatkan kami kembali.”

Yudi Wili Tama