Dalam dunia interogasi, istilah “good cop, bad cop” merujuk pada teknik psikologis klasik yang digunakan untuk membujuk seseorang agar memberikan pengakuan atau informasi.
Salah satu petugas bertindak keras dan mengintimidasi (bad cop), sementara petugas lainnya tampil lebih simpatik dan penuh empati (good cop). Tujuannya? Menciptakan tekanan emosional yang membuat target merasa lebih nyaman dan kooperatif dengan si "baik".
Namun, pendekatan ini tidak hanya digunakan di ruang interogasi. Dalam kajian psikologi sosial dan ilmu politik, teknik ini sering kali muncul dalam pola komunikasi dan strategi kekuasaan, termasuk dalam pemerintahan negara.
Dalam perspektif psikologi, strategi good cop, bad cop memanfaatkan konflik kognitif dan ketergantungan emosional. Menurut Cialdini dalam bukunya “Influence: The Psychology of Persuasion”, teknik ini bekerja karena otak manusia cenderung merespons positif pada pihak yang memberikan rasa aman setelah mengalami tekanan.
Hal ini juga didukung oleh Teori Ketergantungan Sosial (Social Exchange Theory), yang menyatakan bahwa manusia membentuk hubungan berdasarkan pertukaran manfaat dan rasa aman.
Ketika seseorang menghadapi situasi tidak nyaman (bad cop), kemudian diberi solusi oleh pihak lain (good cop), maka persepsi positif akan terbentuk terhadap si penolong, sekalipun semua itu adalah bagian dari satu strategi.
Presiden: Si "Good Cop" yang Selalu Datang Menyelamatkan
Dalam konteks kepemimpinan negara, strategi ini tampak nyata meski sering kali luput dari perhatian publik. Presiden sebagai kepala negara kerap tampil sebagai si “pahlawan” ketika terjadi kegaduhan atau kontroversi akibat kebijakan menteri atau pejabatnya. Padahal, semua pejabat tersebut diangkat oleh presiden sendiri dan secara struktural bertanggung jawab kepadanya.
Contohnya ketika seorang menteri melempar wacana kenaikan tarif, penghapusan subsidi, revisi undang-undang atau pembatasan tertentu yang memancing kemarahan publik, presiden bisa tampil belakangan dengan pernyataan yang meredam: “Akan kami kaji ulang,” atau “Rakyat tidak perlu khawatir.” Di mata masyarakat, presiden menjadi sosok pengayom yang melindungi rakyat dari keputusan yang keliru.
Padahal, jika kita berpikir kritis, presiden sejatinya mengetahui, bahkan bisa jadi menginisiasi, kebijakan tersebut sejak awal. Namun dengan memainkan peran good cop, ia berhasil menjaga citra positif di tengah badai kritik yang diarahkan ke anak buahnya.
Permainan Imajinatif yang Menipu
Fenomena ini bukan hal baru dan tidak terbatas pada satu negara. Dalam studi ilmu politik, strategi pencitraan semacam ini disebut scapegoating atau pengambinghitaman, yang dikombinasikan dengan teknik image management.
Dengan membiarkan bawahannya menerima kritik, pemimpin tertinggi bisa menjaga jarak dari kegagalan sambil tetap menikmati simpati publik.
Dalam kasus tertentu, wacana yang kontroversial bisa saja memang sengaja dilontarkan oleh seorang menteri untuk “mengetes ombak” melihat respons publik.
Jika respons buruk, maka presiden turun tangan, memperlihatkan empati dan akhirnya membatalkan atau merevisi kebijakan tersebut. Lagi-lagi, citra positif menempel pada sang pemimpin.
Apakah Rakyat Selalu Tertipu?
Tentu tidak semua rakyat bisa dikelabui. Namun, dalam masyarakat yang masih memiliki keterbatasan literasi politik dan cenderung mempersonalisasi kekuasaan (mengidolakan tokoh), strategi ini tetap sangat efektif.
Media sosial dan pemberitaan yang terfragmentasi juga memperkuat narasi tertentu dan membuat publik lebih mudah menerima sudut pandang yang menyenangkan, tanpa menggali struktur kekuasaan secara mendalam.
Dalam dunia yang serba cepat ini, penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dan memahami bahwa politik bukan sekadar soal siapa yang berbicara paling manis atau paling keras.
Di balik wacana dan kebijakan, ada strategi komunikasi dan permainan persepsi yang rumit. Jika kita tidak waspada, kita bisa dengan mudah jatuh ke dalam perangkap retorika yang membuat kita mencintai sang "pahlawan" dan membenci sang "penjahat".
Akhir kata, dalam politik, tidak semua yang terlihat sebagai penyelamat benar-benar murni membela. Kadang mereka hanya memainkan naskah dari sang sutradara. Maka waspadalah… waspadalah.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Kronik Dehumanisasi dalam Kebijakan: Ketika Angka Membungkam Derita
-
Demokrasi, Kesejahteraan, dan Pembangunan Bangsa: Sebuah Renungan
-
Filosofi Tongkrongan: Saring Pikiran Biar Gak Jadi Ujaran Kebencian
-
Manuver Danantara, Jadi Penjaga Napas saat IHSG Bergejolak?
-
Evakuasi Gaza ke Indonesia: Solidaritas atau Legitimasi Penindasan?
Artikel Terkait
-
Indonesia Berani Lawan AS? DPR Desak Cari Pasar Baru di BRICS dan Tinggalkan Ketergantungan!
-
Kerja Sama RI-UEA Semakin Erat, Prabowo dan MBZ Tandatangani 8 Kesepakatan Penting
-
Presiden Prabowo dan Presiden MBZ Bahas Upaya Perdamaian di Gaza
-
Rupiah Terkapar Dekati Rp 17.000, Puan Minta Hal Ini ke Pemerintah Prabowo
-
Apresiasi Kinerja Mentan - Wamentan, Presiden Prabowo: Punya Tim Pertanian Hebat
Kolom
-
Malam Tanpa Layar! Seni Menjaga Kesehatan Tidur di Era Digital
-
Femisida dan Tantangan Penegakan Hukum yang Responsif Gender di Indonesia
-
Media Lokal Sudah Badai Selama 10 Tahun Terakhir dan Tak Ada yang Peduli
-
Saat Buku Tak Bisa Dibaca: Akses Literasi yang Masih Abai pada Disabilitas
-
Sama-Sama Pekerja Gig, Kok Driver Ojol Lebih Berani daripada Freelancer?
Terkini
-
Mengintip Kans Asnawi Mangkualam Jadi Starter dalam Duel Indonesia vs. China
-
Tembus 10 Juta Penonton, Jumbo Kian Tipis Salip KKN di Desa Penari
-
ATEEZ Umumkan Comeback dengan GOLDEN HOUR: Part.3 dan Tur Dunia
-
Hong Kong Kembali Dipilih Jadi Lokasi MAMA Awards 2025 Setelah Tujuh Tahun
-
Mateo Kocijan Resmi Hengkang, Persib Bandung Punya PR Besar di Musim Depan?