Drama Good Cop, Bad Cop dalam Politik: Presiden Pahlawan dan Pejabat Tumbal

Hayuning Ratri Hapsari | Naufal Mamduh
Drama Good Cop, Bad Cop dalam Politik: Presiden Pahlawan dan Pejabat Tumbal
Ilustrasi pejabat. [Suara.com]

Dalam dunia interogasi, istilah “good cop, bad cop” merujuk pada teknik psikologis klasik yang digunakan untuk membujuk seseorang agar memberikan pengakuan atau informasi.

Salah satu petugas bertindak keras dan mengintimidasi (bad cop), sementara petugas lainnya tampil lebih simpatik dan penuh empati (good cop). Tujuannya? Menciptakan tekanan emosional yang membuat target merasa lebih nyaman dan kooperatif dengan si "baik".

Namun, pendekatan ini tidak hanya digunakan di ruang interogasi. Dalam kajian psikologi sosial dan ilmu politik, teknik ini sering kali muncul dalam pola komunikasi dan strategi kekuasaan, termasuk dalam pemerintahan negara.

Dalam perspektif psikologi, strategi good cop, bad cop memanfaatkan konflik kognitif dan ketergantungan emosional. Menurut Cialdini dalam bukunya “Influence: The Psychology of Persuasion”, teknik ini bekerja karena otak manusia cenderung merespons positif pada pihak yang memberikan rasa aman setelah mengalami tekanan.

Hal ini juga didukung oleh Teori Ketergantungan Sosial (Social Exchange Theory), yang menyatakan bahwa manusia membentuk hubungan berdasarkan pertukaran manfaat dan rasa aman.

Ketika seseorang menghadapi situasi tidak nyaman (bad cop), kemudian diberi solusi oleh pihak lain (good cop), maka persepsi positif akan terbentuk terhadap si penolong, sekalipun semua itu adalah bagian dari satu strategi.

Presiden: Si "Good Cop" yang Selalu Datang Menyelamatkan

Dalam konteks kepemimpinan negara, strategi ini tampak nyata meski sering kali luput dari perhatian publik. Presiden sebagai kepala negara kerap tampil sebagai si “pahlawan” ketika terjadi kegaduhan atau kontroversi akibat kebijakan menteri atau pejabatnya. Padahal, semua pejabat tersebut diangkat oleh presiden sendiri dan secara struktural bertanggung jawab kepadanya.

Contohnya ketika seorang menteri melempar wacana kenaikan tarif, penghapusan subsidi, revisi undang-undang atau pembatasan tertentu yang memancing kemarahan publik, presiden bisa tampil belakangan dengan pernyataan yang meredam: “Akan kami kaji ulang,” atau “Rakyat tidak perlu khawatir.” Di mata masyarakat, presiden menjadi sosok pengayom yang melindungi rakyat dari keputusan yang keliru.

Padahal, jika kita berpikir kritis, presiden sejatinya mengetahui, bahkan bisa jadi menginisiasi, kebijakan tersebut sejak awal. Namun dengan memainkan peran good cop, ia berhasil menjaga citra positif di tengah badai kritik yang diarahkan ke anak buahnya.

Permainan Imajinatif yang Menipu

Fenomena ini bukan hal baru dan tidak terbatas pada satu negara. Dalam studi ilmu politik, strategi pencitraan semacam ini disebut scapegoating atau pengambinghitaman, yang dikombinasikan dengan teknik image management.

Dengan membiarkan bawahannya menerima kritik, pemimpin tertinggi bisa menjaga jarak dari kegagalan sambil tetap menikmati simpati publik.

Dalam kasus tertentu, wacana yang kontroversial bisa saja memang sengaja dilontarkan oleh seorang menteri untuk “mengetes ombak” melihat respons publik.

Jika respons buruk, maka presiden turun tangan, memperlihatkan empati dan akhirnya membatalkan atau merevisi kebijakan tersebut. Lagi-lagi, citra positif menempel pada sang pemimpin.

Apakah Rakyat Selalu Tertipu?

Tentu tidak semua rakyat bisa dikelabui. Namun, dalam masyarakat yang masih memiliki keterbatasan literasi politik dan cenderung mempersonalisasi kekuasaan (mengidolakan tokoh), strategi ini tetap sangat efektif.

Media sosial dan pemberitaan yang terfragmentasi juga memperkuat narasi tertentu dan membuat publik lebih mudah menerima sudut pandang yang menyenangkan, tanpa menggali struktur kekuasaan secara mendalam.

Dalam dunia yang serba cepat ini, penting bagi masyarakat untuk lebih kritis dan memahami bahwa politik bukan sekadar soal siapa yang berbicara paling manis atau paling keras.

Di balik wacana dan kebijakan, ada strategi komunikasi dan permainan persepsi yang rumit. Jika kita tidak waspada, kita bisa dengan mudah jatuh ke dalam perangkap retorika yang membuat kita mencintai sang "pahlawan" dan membenci sang "penjahat". 

Akhir kata, dalam politik, tidak semua yang terlihat sebagai penyelamat benar-benar murni membela. Kadang mereka hanya memainkan naskah dari sang sutradara. Maka waspadalah… waspadalah. 

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Yoursay. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak