Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Suhendrik Nur
ilustrasi wanita (Pexels/ἐμμανυελ)

Ada satu dunia yang tak bisa disentuh, tapi bisa membuat jantung berdetak lebih cepat dari kenyataan yang kita jalani setiap hari. Dunia itu tak punya bangunan, jalanan, atau langit. Ia hanya ada di kepala kita, di ruang sunyi tempat imajinasi dan harapan berkumpul. Dunia idea_tempat di mana segala sesuatu terasa lebih baik, lebih teratur, lebih indah. Kita menciptakannya tanpa sadar, ketika sedang menatap langit-langit kamar, ketika menunggu ojol (Ojek Online) yang tak kunjung datang, atau ketika cinta belum sempat bertumbuh tapi sudah dibayangkan sampai ke pelaminan.

Dunia idea adalah tempat ekspektasi lahir dan berkembang biak. Di sana, hidup seperti novel yang alurnya kita kendalikan, seperti film yang adegan akhirnya sudah kita rancang sejak awal. Kita membayangkan bagaimana orang-orang seharusnya memperlakukan kita, bagaimana karier akan berjalan sesuai rencana, bagaimana kesedihan akan dihibur dan cinta akan tumbuh dari saling memahami. Tapi dunia idea tidak pernah menyertakan macet pagi hari, tagihan yang datang bertubi-tubi, cinta yang tak terbalas, atau keringat yang harus jatuh sebelum mimpi bisa berdiri. Dunia idea adalah sketsa yang terlalu sempurna, dan karena itulah ia begitu menggoda.

Namun, ekspektasi yang lahir dari dunia idea bisa menjadi kutukan. Kita mulai membandingkan hidup kita yang nyata dengan hidup yang hanya hidup di kepala kita. Kita marah pada dunia yang tak bisa memenuhi rencana kita. Kita kecewa pada orang-orang yang tak bisa membaca isi hati kita, seolah mereka wajib mengerti kita tanpa penjelasan. Padahal, dunia ini bukan panggung dari naskah yang sudah kita tulis diam-diam dalam angan. Ia liar, tak tertebak, dan sering kali tak peduli pada harapan kita.

Mereka bilang, orang dewasa adalah mereka yang berhasil menyeimbangkan dunia idea dan dunia nyata. Tapi apakah itu benar? Ataukah justru mereka yang terlalu lama hidup di dunia nyata kehilangan hak istimewa untuk bermimpi? Dunia idea sering dicap sebagai pelarian, seolah hanya anak-anak dan pemimpi yang membutuhkannya. Padahal, dunia idea justru cikal bakal perubahan. Segala kemajuan_ilmu pengetahuan, seni, bahkan cinta_berasal dari seseorang yang berani membayangkan dunia berbeda dari yang ia lihat. Dunia idea bukan musuh realita; ia adalah partner bisu yang selalu setia menunggu kita kembali ketika realita terasa terlalu bising.

Masalahnya, bukan pada ideanya, tapi pada cara kita memperlakukan ekspektasi yang lahir darinya. Jika ekspektasi dijadikan standar mutlak, maka kekecewaan akan datang dengan cepat. Tapi jika ekspektasi kita rawat sebagai inspirasi, bukan sebagai keharusan, maka dunia idea bisa menjadi mercusuar. Ia memberi arah, bukan beban. Ia menyemangati, bukan menghakimi. Dunia idea bukan tempat untuk menghindar, tapi tempat untuk mengingat siapa diri kita sebelum dunia mengubah kita terlalu jauh.

Dalam hidup, selalu akan ada jarak antara yang kita bayangkan dan yang kita alami. Tapi bukan berarti kita harus menyerah. Terkadang, menyadari bahwa realita tak selalu bisa memenuhi ekspektasi adalah bentuk kedewasaan paling sunyi. Dan menyadari bahwa dunia idea tetap bisa menjadi tempat pulang, bahkan ketika kenyataan begitu pahit, adalah bentuk ketegaran yang tak selalu bisa dijelaskan.

Maka biarkan dunia idea tetap hidup. Jangan biarkan ia mati hanya karena dunia nyata tak seindah yang kita harapkan. Kita butuh dunia itu, bukan untuk kabur, tapi untuk ingat: bahwa hidup tak selalu harus sempurna untuk bisa bermakna. Bahwa ekspektasi tak selalu harus jadi kenyataan untuk bisa menggerakkan langkah. Dan bahwa meskipun dunia idea mungkin tak akan pernah benar-benar kita capai, ia tetap layak untuk terus diperjuangkan_dengan sadar, dengan sabar, dan dengan hati yang tetap percaya bahwa meski tak semua hal bisa terjadi, tidak berarti tak ada yang mungkin.

Suhendrik Nur