Scroll untuk membaca artikel
Hernawan | YESRUN EKA SETYOBUDI
Ilustrasi bekerja (Freepik/Racool_studio)

Pernah nggak sih kamu dengar kalimat, “Manusia itu aset, manusia itu value ekonomi”? Kalimat ini sering banget diucapkan oleh para atasan, HRD, bahkan motivator kerja. Kedengarannya keren. Tapi, pas kita lihat kenyataannya, kok rasanya justru manusia cuma dianggap alat produksi yang bisa dipakai semaksimal mungkin sampai lelah, lalu dituntut tetap semangat karena katanya “value”-nya besar. Ironis, ya?

Kalau memang manusia itu value ekonomi, kenapa masih banyak yang kerja dari pagi sampai malam, tapi gaji segitu-gitu aja? Menurut data dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), meskipun produktivitas global meningkat sekitar 3% selama 2021–2023, banyak pekerja yang tidak merasakan dampak positif secara langsung dalam hal upah atau kesejahteraan. Bahkan, di Asia Tenggara, sebagian besar pekerja masih menghadapi upah minimum yang nggak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup.

Kondisi ini makin kerasa sejak pandemi. Banyak perusahaan beralih ke sistem kerja digital dan otomatisasi. Di satu sisi, kerja jadi lebih fleksibel. Tapi di sisi lain, ekspektasi terhadap pekerja malah naik drastis. Harus bisa kerja cepat, serba bisa, multitasking, dan tetap punya attitude yang bagus. Padahal, burnout udah di mana-mana.

Sebuah laporan dari World Economic Forum (2023) menyebutkan bahwa 60% pekerja global mengalami stres dan kelelahan mental karena tuntutan produktivitas yang makin tinggi. Di Indonesia sendiri, berdasarkan survei oleh Populix (2023), sekitar 68% Gen Z dan milenial mengaku sering merasa burnout karena tekanan kerja yang berlebihan.

Banyak perusahaan mengklaim bahwa sumber daya manusia adalah faktor terpenting dalam kemajuan bisnis. Tapi sering kali yang terjadi adalah: kita cuma dihargai selama kita bisa “menghasilkan”entah itu angka penjualan, engagement di media sosial, atau capaian target bulanan. Begitu performa menurun sedikit, langsung dipertanyakan loyalitasnya. “Nggak produktif nih, lagi males ya?” Padahal, mungkin lagi burnout, atau cuma butuh waktu buat bernapas.

Yang lebih miris lagi, banyak dari kita merasa bersalah kalau ambil cuti atau istirahat. Padahal, tubuh dan pikiran manusia bukan mesin. Kita butuh rehat, butuh waktu buat ngisi ulang tenaga. Tapi di dunia kerja sekarang, istirahat kadang dianggap tanda lemah. Nggak heran kalau banyak orang akhirnya sakit, baik fisik maupun mental, hanya demi mengejar ekspektasi sistem yang sebenarnya nggak manusiawi.

Kapitalisme modern menempatkan produktivitas sebagai ukuran utama nilai seseorang. Tapi pertanyaannya, apakah manusia cuma sebatas seberapa besar output yang bisa dihasilkan? Apakah nilai kita hanya dilihat dari hasil kerja dan pencapaian ekonomi?

Nggak seharusnya begitu. Manusia punya nilai karena kita berpikir, merasa, punya empati, bisa berkolaborasi, dan menciptakan sesuatu yang bermakna. Kalau semua itu direduksi jadi angka dan grafik Excel, maka kita udah kehilangan esensi paling dasar dari kemanusiaan.

Beberapa perusahaan di luar negeri mulai sadar soal ini. Di Belanda dan Swedia, misalnya, model kerja 4 hari dalam seminggu mulai diujicoba untuk mengurangi kelelahan dan meningkatkan kualitas hidup. Hasilnya? Bukan malah menurunkan produktivitas, justru bikin karyawan lebih bahagia dan output kerja tetap stabil. Artinya, menghargai manusia bukan hal yang kontraproduktif bagi bisnis—justru bisa jadi investasi terbaik.

Tapi tentu aja, perubahan nggak bakal datang kalau kita cuma diam. Kita perlu bersuara, mempertanyakan sistem kerja yang melelahkan, dan menuntut perlakuan yang lebih manusiawi.

Faktanya, menurut survei Mercer Marsh Benefits 2023, 87% perusahaan di Asia mengakui kesehatan mental karyawan jadi isu serius. Bahkan menurut WHO, depresi dan kecemasan karena tekanan kerja bikin ekonomi global rugi sampai 1 triliun dolar AS per tahun.

Kita bisa mulai dari hal kecil: bikin lingkungan kerja yang saling peduli, berhenti anggap lembur itu keren, dan sadar bahwa istirahat itu hak, bukan hadiah.

Banyak negara udah bergerak ke arah sana. Di Jepang, beberapa perusahaan mulai menerapkan kebijakan pulang tepat waktu setelah data menunjukkan 60% pekerja alami gangguan tidur (Japan Times, 2023). Bahkan, Microsoft Jepang sempat uji coba kerja 4 hari seminggu dan hasilnya? Produktivitas naik 40% (Microsoft, 2022).

Jadi, kalau perusahaan aja bisa berubah, masa kita masih terus tahan hidup dalam sistem yang bikin lelah terus-terusan?

Pada akhirnya, kalimat “Manusia Is Value Ekonomi” seharusnya bukan cuma jargon yang dipakai perusahaan biar kelihatan progresif. Kalimat ini harus diwujudkan lewat tindakan nyata yang menghargai manusia secara utuh—bukan cuma dari sisi produktivitas, tapi juga dari sisi martabat, kesehatan, dan kualitas hidup.

Karena kita bukan robot. Kita bukan angka. Kita manusia.

YESRUN EKA SETYOBUDI