Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Sherly Azizah
Ilustrasi desa (Pexels/Quang Nguyen Vinh)

Sumber daya alam, bagai nadi bumi, menjadi tumpuan kehidupan masyarakat desa. Hutan, sungai, dan tanah subur adalah warisan leluhur yang menopang ekonomi, budaya, dan identitas mereka. Namun, pengelolaan sumber daya alam yang tidak bijaksana sering kali merenggut hak hidup masyarakat desa, meninggalkan luka mendalam.

Eksploitasi berlebihan, kebijakan yang tidak pro-rakyat, dan minimnya keterlibatan komunitas lokal telah memperparah ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan. Urgensi masalah ini terletak pada ancaman terhadap keberlanjutan kehidupan desa, yang jika dibiarkan, akan menghapus identitas budaya dan mata pencaharian rakyat kecil.

Melalui tulisan ini, saya mencoba meneropong lebih jauh dampak pengelolaan sumber daya alam terhadap masyarakat desa dan peran kebijakan pemerintah dalam mendukung mereka.

Pengelolaan sumber daya alam yang tidak berkelanjutan sering kali dimulai dari kebijakan yang mengutamakan keuntungan jangka pendek. Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia ditebangi secara besar-besaran untuk kepentingan industri kayu atau perkebunan. Sungai yang menjadi sumber air bersih dicemari limbah tambang.

Akibatnya, masyarakat desa yang bergantung pada hutan untuk kayu bakar, hasil hutan non-kayu, atau ladang tradisional kehilangan sumber penghidupan.

Air bersih yang dulu melimpah kini tercemar, memaksa warga desa mengeluarkan biaya tambahan untuk kebutuhan dasar. Ketidakadilan ini mencerminkan bagaimana pengelolaan alam sering kali dirancang tanpa mempertimbangkan kebutuhan komunitas lokal.

Dampak dari pengelolaan yang tidak berpihak ini terasa nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat desa. Petani kecil yang menggantungkan hidup pada kesuburan tanah kini berhadapan dengan lahan yang rusak akibat alih fungsi menjadi tambang atau perkebunan skala besar.

Nelayan di desa pesisir kehilangan tangkapan ikan karena laut tercemar atau dieksploitasi oleh kapal-kapal besar. Lebih dari sekadar kerugian ekonomi, ini adalah ancaman terhadap identitas budaya.

Ritual adat yang bergantung pada kelestarian hutan atau sungai menjadi sulit dilaksanakan, melemahkan ikatan sosial dan warisan leluhur. Masyarakat desa, yang seharusnya menjadi penjaga alam, justru tersingkir dari tanah mereka sendiri.

Faktor yang memperburuk masalah ini adalah kurangnya keterlibatan masyarakat desa dalam pengambilan kebijakan. Banyak proyek pengelolaan sumber daya alam, seperti pembangunan bendungan atau tambang, dilakukan tanpa konsultasi memadai dengan warga lokal.

Akar pengetahuan tradisional tentang cara menjaga alam, yang dimiliki masyarakat desa, sering diabaikan demi pendekatan teknologi modern yang tidak selalu sesuai dengan kondisi lokal.

Selain itu, kompensasi yang dijanjikan kepada warga terdampak kerap tidak sebanding dengan kerugian yang mereka alami. Ketimpangan ini menciptakan ketidakpercayaan terhadap pemerintah, yang seharusnya menjadi pelindung kepentingan rakyat.

Kebijakan pemerintah yang tidak mendukung masyarakat desa juga memperparah kerusakan lingkungan. Izin-izin eksploitasi sumber daya alam sering diberikan tanpa pengawasan ketat, memungkinkan perusahaan melakukan pelanggaran seperti pembuangan limbah atau deforestasi ilegal.

Sementara itu, program reboisasi atau reklamasi lahan yang digembar-gemborkan pemerintah kerap kali hanya berhenti di atas kertas, tanpa implementasi yang nyata di lapangan.

Akibatnya, masyarakat desa tidak hanya kehilangan sumber daya alam, tetapi juga berhadapan dengan bencana seperti banjir atau tanah longsor yang dipicu oleh kerusakan lingkungan. Ini adalah bukti nyata bahwa kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat justru menghancurkan kehidupan mereka.

Untuk membalikkan keadaan ini, kebijakan pemerintah harus berfokus pada pemberdayaan masyarakat desa. Pertama, keterlibatan warga lokal dalam perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam harus dijamin, misalnya melalui skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat atau koperasi desa.

Kedua, pemerintah perlu memperketat pengawasan terhadap perusahaan yang mengeksploitasi sumber daya alam, dengan sanksi tegas bagi pelaku pelanggaran.

Ketiga, investasi dalam pendidikan dan teknologi ramah lingkungan dapat membantu masyarakat desa mengembangkan ekonomi lokal tanpa merusak alam, seperti agrowisata atau kerajinan berbasis bahan alami. Langkah-langkah ini bukan hanya solusi, tetapi juga wujud keadilan bagi mereka yang hidup berdampingan dengan alam.

Pengelolaan sumber daya alam yang tidak bijaksana adalah luka pada denyut bumi yang menopang kehidupan masyarakat desa. Dampaknya, dari hilangnya mata pencaharian hingga pudarnya identitas budaya, adalah seruan untuk perubahan mendesak.

Dengan kebijakan yang berpihak pada rakyat, pemberdayaan komunitas lokal, dan pengawasan yang ketat, pemerintah dapat mengembalikan harapan bagi desa-desa. Seperti pohon yang tumbuh kembali di tanah gersang, keadilan dan keberlanjutan masih dapat diraih.

Semoga, dari derita ini, lahir tekad untuk menjaga bumi sebagai rumah bersama, masyarakat desa bukan lagi korban, melainkan penjaga warisan alam yang abadi.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Sherly Azizah