Program Makan Bergizi Gratis (MBG) digadang-gadang sebagai salah satu solusi unggulan untuk mengatasi persoalan gizi anak-anak Indonesia. Pemerintah menyebutnya sebagai investasi untuk masa depan. Tapi sayangnya, baru juga berapa bulan dijalankan, program ini sudah terseok-seok.
Belum selesai merayakan peluncurannya, kini kita harus menghadapi kenyataan pahit: dapur-dapur penyedia makanan menjerit karena belum dibayar, yayasan mitra saling tuding, dan Badan Gizi Nasional mengaku tidak tahu-menahu soal kontrak kerja sama. Ini bukan lagi program makan bergizi gratis, tapi nyaris jadi drama dapur nasional.
Salah satu yang paling mencuat adalah kisruh yang terjadi di Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Kalibata, Jakarta Selatan. Pemilik dapur, Ira Mesra, harus menanggung kerugian hampir Rp1 miliar karena belum menerima pembayaran dari yayasan mitra.
Padahal, selama dua bulan, ia sudah menyediakan lebih dari 65.000 porsi makanan untuk anak-anak di 19 sekolah. Bukan jumlah kecil. Tapi yang lebih menyakitkan, bukan hanya tidak dibayar, dia malah dituding melakukan penggelapan dana oleh pihak yayasan.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan besar: apakah program ini memang sudah siap dijalankan, atau sekadar dipaksakan demi citra politik dan pencitraan kebijakan?
Program MBG sejak awal sudah menuai sorotan. Banyak pihak menilai ide ini terlalu terburu-buru diluncurkan. Makanan bergizi itu penting, tentu. Tapi mengeksekusi program raksasa ini tanpa perencanaan matang dan sistem pengawasan yang kuat, justru jadi blunder.
Bahkan, Badan Gizi Nasional (BGN) sendiri — institusi yang seharusnya berada di garis depan pengawasan — mengaku tidak tahu tentang perjanjian antara yayasan mitra dan dapur Kalibata.
Artinya, sistem koordinasi antarpihak saja belum dibangun dengan baik, tapi program sudah keburu digelar secara nasional.
Program besar seperti MBG mestinya tidak bisa diluncurkan hanya karena enak terdengar di panggung kampanye. Ia perlu roadmap yang jelas, koordinasi lintas sektor, standar pengawasan yang ketat, serta transparansi dalam aliran dana.
Dan yang lebih penting: komunikasi terbuka dengan masyarakat dan pelaku di lapangan. Jika tidak, yang terjadi ya seperti sekarang — dapur tutup, anak-anak kehilangan akses makanan, dan mitra usaha yang mestinya didukung justru jatuh bangkrut.
Kisruh ini juga menunjukkan lemahnya prinsip "bottom-up planning" dalam kebijakan publik kita. Banyak kebijakan lahir dari atas, dari elite, dari meja rapat, tanpa menengok kenyataan di bawah: apakah sekolah siap jadi titik distribusi makanan? Apakah dapur mampu menanggung operasional tanpa arus kas yang lancar? Apakah sistem pengawasan berjalan transparan dan adil? Apakah mitra penyedia dipilih berdasarkan kompetensi atau kedekatan?
Namun yang juga perlu dikritisi adalah bagaimana pemerintah terus memaksakan narasi keberhasilan program ini di ruang publik, seolah-olah tak ada masalah berarti yang terjadi di lapangan.
Alih-alih mendengarkan keluhan para pelaksana teknis seperti pemilik dapur dan pihak sekolah, pemerintah malah sibuk membangun citra seolah semuanya berjalan lancar. Ini berbahaya, karena menciptakan jurang antara wacana dan realita. Padahal, yang dipertaruhkan bukan sekadar reputasi politisi, tapi masa depan dan kesehatan jutaan anak Indonesia.
Di tengah persoalan seperti stunting yang masih tinggi, anak-anak putus sekolah karena kemiskinan, hingga kualitas pendidikan yang stagnan, program MBG tentu bisa jadi oase harapan. Tapi hanya jika ia dilaksanakan dengan benar. Jika tidak, ia hanya jadi proyek ambisius yang menumpuk masalah baru.
Masyarakat berhak mendapat penjelasan: siapa yang bertanggung jawab jika dana tidak cair? Siapa yang mengawasi yayasan mitra? Siapa yang melindungi pelaku usaha kecil seperti Bu Ira yang sudah bekerja sepenuh hati untuk anak-anak?
Sudah waktunya pemerintah berpikir lebih dari sekadar headline dan gimmick. Jika ingin menyelamatkan program ini, benahi dari akarnya. Libatkan semua pihak secara adil, pastikan mekanisme pengawasan berjalan, dan yang paling penting: jangan jadikan perut anak-anak Indonesia sebagai ladang eksperimen kebijakan yang tergesa-gesa.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Koperasi Merah Putih: Antara Harapan dan Ancaman Pemborosan Dana Rakyat
-
Payment ID: Awal dari Negara Polisi Finansial?
-
Bobby, Polisi, dan Kucing yang Lebih Berharga dari Warga Negara?
-
Pajak UMKM Digital: Negara Sigap Memungut, tapi Lupa Melindungi
-
Pidato Prabowo di Kongres PSI: Antara Canda, Sindiran, dan Harapan Kosong
Artikel Terkait
-
Update Terkini Kasus Keracunan MBG di Cianjur, Polisi Periksa 10 Orang
-
Keracunan MBG di Cianjur, Kepala BGN Turun Tangan, Janjikan Perbaikan Sistem
-
CEK FAKTA: Prabowo Ganti Program MBG jadi Pendidikan Gratis Seumur Hidup
-
Puluhan Siswa di Cianjur Keracunan MBG, Cak Imin: Harus Cepat Ambil Langkah Supaya Kita Tenang
-
Muncul Lagi Kasus Siswa Keracunan Gegara MBG, Pesan DPR ke BGN: Ini Alarm Keras!
Kolom
-
Menari Bersama Keberagaman: Seni Pembelajaran Diferensiasi di Kelas Modern
-
Koperasi Merah Putih: Antara Harapan dan Ancaman Pemborosan Dana Rakyat
-
Tugas dan Status: Membedah Jebakan Ganda yang Menguras Mental Pelajar
-
Gaji UMR, Inflasi Gila-gilaan: Mimpi Kemapanan Generasi Z yang Terjegal
-
Gen Alpha Beda dari Kita! Pola Asuh Zilenial Ubah Segalanya
Terkini
-
Ulasan Novel Summer in the City:Cinta Tak Terduga dari Hubungan Pura-Pura
-
Kulit Glowing Bebas Noda Hitam! 4 Moisturizer yang Mengandung Symwhite 377
-
Semifinal Piala AFF U-23: 3 Pahlawan Skuat Garuda saat Mengempaskan Thailand, Siapa Saja?
-
4 OOTD Soft Chic ala Kang Hanna, Bisa Buat Ngampus Sampai Ngopi!
-
Review Anime Tasokare Hotel, Kisah Sebuah Penginapan Antara Dua Dunia