Setiap tanggal 1 Mei, jalanan ramai oleh lautan manusia yang membawa spanduk, pengeras suara, dan tuntutan yang menggema. Hari Buruh, yang dirayakan hampir di seluruh dunia, kerap dipahami sebagai momen unjuk rasa atau sekadar hari libur nasional. Tapi pernahkah kita, di tengah riuhnya teriakan dan liburnya pekerjaan, duduk sejenak untuk merenung: sebenarnya, apa arti dari semua kerja keras yang kita lakukan setiap hari?
Kerja bukan cuma soal upah atau rutinitas. Ia adalah denyut nadi peradaban. Sejak zaman dahulu, para pemikir besar telah mencoba memahami esensi dari kerja itu sendiri. Plato, dalam filsafatnya, menyebut kerja bukan sebagai sekadar alat bertahan hidup, tapi sebagai jalan menuju kebajikan. Baginya, melalui kerja, manusia belajar disiplin, membangun nilai, dan menciptakan harmoni dalam masyarakat. Aristoteles melanjutkan gagasan itu, menempatkan kerja sebagai bagian dari proses untuk mencapai eudaimonia_kondisi bahagia dan bermakna dalam hidup. Kerja, bagi para filsuf Yunani ini, adalah arena pembentukan diri.
Tentu, tidak semua orang melihat kerja dengan pandangan sefilosofis itu. Jeremy Bentham dan John Stuart Mill, misalnya, lebih praktis. Dalam kerangka utilitarianisme, kerja dinilai dari seberapa besar manfaat yang bisa dihasilkan bagi orang banyak. Semakin besar dampak positifnya, semakin bermakna kerja itu. Maka dari itu, Hari Buruh juga adalah hari untuk menghormati semua pekerjaan, sekecil apa pun terlihat. Dari petugas kebersihan yang menjaga jalan tetap bersih, buruh pabrik yang menjaga roda ekonomi tetap berputar, hingga pengemudi ojol yang jadi jembatan antara kenyamanan dan kecepatan_semuanya punya kontribusi tak tergantikan.
Namun, refleksi tak berhenti pada manfaat semata. Hari Buruh juga membuka ruang bagi pertanyaan yang lebih sulit: bagaimana jika kerja keras seseorang tak dibalas dengan penghargaan yang layak? Bagaimana jika keringat yang menetes tidak cukup untuk sekadar memenuhi kebutuhan dasar? Di sinilah filsafat keadilan berbicara. John Rawls menawarkan pandangan bahwa masyarakat yang adil bukanlah yang membagi hasil sama rata, tapi yang memastikan bahwa setiap orang punya kesempatan yang adil untuk tumbuh. Keadilan, menurutnya, adalah ketika sistem dibangun untuk membantu mereka yang paling tertinggal, bukan sekadar mempertahankan status quo.
Lalu datang suara keras Karl Marx, yang menantang seluruh struktur ekonomi yang memperlakukan pekerja sebagai sekadar alat produksi. Baginya, kerja seharusnya adalah ekspresi dari kemanusiaan, bukan penjara yang mencabut kebebasan. Ketika pekerja hanya dihargai sejauh ia bisa menghasilkan laba, maka ada yang hilang dari esensi manusia itu sendiri. Hari Buruh, dalam terang pemikiran Marx, bukan sekadar peringatan, tapi juga seruan agar kita tidak lupa akan martabat.
Tapi tak semua soal kerja harus dibicarakan dalam bingkai ekonomi atau politik. Filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus memberi warna lain. Mereka melihat kerja sebagai bentuk perlawanan terhadap absurditas hidup. Dalam dunia yang kadang terasa kosong dan tak memberi jawaban pasti, kerja bisa menjadi jangkar, tempat kita menanam makna sendiri. Camus, misalnya, membayangkan tokoh mitos Sisyphus yang terus mendorong batu ke puncak gunung, hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Tapi dalam absurditas itu, ada pilihan untuk tetap melanjutkan, untuk menciptakan makna dari hal yang tampaknya tak bermakna.
Viktor Frankl, psikiater dan penyintas kamp konsentrasi Nazi, memperdalam gagasan ini. Dalam bukunya Man’s Search for Meaning, ia mengatakan bahwa manusia bisa bertahan dalam penderitaan paling berat selama ia punya “mengapa”. Dalam konteks kerja, itu berarti bahwa selama seseorang menemukan alasan yang cukup kuat_entah untuk keluarga, cita-cita, atau nilai yang ia yakini_ia bisa melewati “bagaimana” yang paling berat sekalipun.
Maka Hari Buruh bukan hanya soal sejarah perlawanan atau nostalgia perjuangan buruh. Ia juga adalah momen untuk menengok diri sendiri: apakah kita masih bisa menemukan makna dalam kerja yang kita jalani? Apakah sistem tempat kita bekerja memberi ruang untuk manusia berkembang, atau justru mempersempit ruang gerak kita sebagai pribadi?
Hari Buruh adalah tentang pengakuan. Bahwa di balik setiap produk, jasa, dan kenyamanan hidup modern, ada manusia-manusia yang berkeringat, berkorban, dan berharap. Ini tentang memastikan bahwa setiap orang, apapun jenis pekerjaannya, punya hak untuk dihargai, dilindungi, dan diberi kesempatan untuk bertumbuh. Dan yang paling penting: diberi ruang untuk tetap menjadi manusia.
Di dunia yang semakin cepat dan kompetitif, kita sering lupa bahwa manusia bukan mesin. Kita butuh istirahat, pengakuan, dan rasa bahwa apa yang kita lakukan bukan sia-sia. Kerja bukan semata aktivitas ekonomis, tapi bagian dari perjalanan menjadi manusia seutuhnya. Maka, saat 1 Mei kembali datang, semoga kita tidak hanya mengingatnya sebagai tanggal merah, tapi juga sebagai hari untuk merenung: sudahkah kerja membuat kita lebih manusiawi?
CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Presiden Prabowo Siap Hadir di May Day 2025, Momen Bersejarah: Wujud Perhatian dan Keberpihakan
-
Jelang Hari Buruh 1 Mei, Menaker Siap Tampung Aspirasi Buruh: Kemenaker Rumah Bersama
-
DPR Siap Tampung Aspirasi Buruh saat May Day 2025
-
Dasco Singgung soal Indonesia Gelap saat Temui Buruh: Indonesia Itu Masa Depannya Terang
-
Dalam Rangka May Day, DPR Bakal Beri Hadiah untuk Para Buruh: UU PPRT Bakal Segera Dibahas
Kolom
-
Mengenal Trah Tumerah, Istilah Silsilah Jawa yang Makin Sering Dilupakan
-
Ketika Mahasiswa Jadi Content Creator Demi Bertahan Hidup
-
Ironi Organisasi Mahasiswa: Antara Harapan dan Kenyataan
-
Bahasa Zilenial: Upaya Generasi Muda Berkomunikasi dan Mendefinisikan Diri
-
Ketika AI Masuk ke Ruang Kelas: Guru Akan Tergantikan atau Diperkuat?
Terkini
-
Rayakan Ulang Tahun ke-29, Ini 5 Rekomendasi Drama Snow Kong
-
Sinopsis Drama Good Boy, Ketika Mantan Atlet Memulai Karier Sebagai Polisi
-
Skor Tertinggi Tahun Ini, TWS Raih Piala Kedua 'Countdown' di Show Champion
-
AFC Berulah dengan Pindahkan Venue Ronde Keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026? Begini Penjelasannya!
-
Review Anime Girls Band Cry, Realitas Pahit Industri Musik Indie