Saking seringnya kita mendengar suara-suara sumbang seperti "perempuan jangan sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya cuma di dapur, susah dinasehati, nanti cowok minder" atau lebih ekstrem lagi seperti "perempuan berkarier itu nggak butuh laki-laki".
Kita jadi lupa satu hal paling mendasar: pendidikan bukanlah musibah. Ia bukan hal yang harus dicurigai atau ditakuti. Ia bukan sebab dari rusaknya tatanan rumah tangga. Ia juga bukan akar dari kesepian atau ketidakseimbangan relasi.
Mengapa harus ada ketakutan bahwa perempuan cerdas akan “mengalahkan” laki-laki? Bukankah seharusnya saling melengkapi, bukan saling membatasi? Narasi-narasi sinis tadi seolah menciptakan ketakutan palsu.
Bahwa perempuan yang belajar tinggi akan kesepian, akan tak diinginkan, akan dianggap terlalu dominan. Padahal, justru perempuan yang terdidik bisa menjadi ibu yang membimbing dengan penuh kesadaran, istri yang berdiskusi sejajar, dan pribadi yang lebih utuh menjalani hidup.
Di tengah arus perubahan sosial yang makin deras, perempuan masa kini tampil dengan lebih banyak peran: ibu rumah tangga, pencari nafkah, pemimpin komunitas, hingga akademisi. Namun, narasi seksis dan sinis masih bertahan dalam berbagai bentuk. Mulai dari candaan yang merendahkan perempuan berpendidikan tinggi hingga stigma bahwa perempuan sukses adalah ancaman bagi relasi rumah tangga.
Padahal, membenahi pola pikir seperti ini adalah salah satu fondasi penting untuk membangun keluarga dan masyarakat yang sehat. Pertama, ilmu adalah hak sekaligus kebutuhan perempuan; dan kedua, pernikahan bukanlah arena kompetisi, melainkan kolaborasi. Narasi ini melawan pola lama yang menganggap pendidikan tinggi perempuan sebagai sumber konflik, bahkan penghalang keharmonisan rumah tangga.
Menurut data BPS (2023), tingkat partisipasi sekolah perempuan usia 19–24 tahun masih tertinggal dibanding laki-laki. Di sisi lain, laporan World Bank menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam pendidikan tinggi secara signifikan meningkatkan kualitas ekonomi keluarga dan kesejahteraan anak-anak.
Namun, meningkatnya minat perempuan dalam pendidikan sering diiringi kekhawatiran: Apakah ini akan “mengancam” pasangan mereka? Apakah suami merasa tergeser perannya sebagai pemimpin rumah tangga?
Inilah saatnya membenahi mindset maskulinitas yang rapuh, yang hanya mendefinisikan kepemimpinan dari segi dominasi. Dalam relasi yang sehat, suami justru menjadi penyokong utama pertumbuhan istrinya, termasuk dalam ranah intelektual dan spiritual.
Studi dari Harvard (2015) menemukan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh ibu berpendidikan tinggi cenderung memiliki aspirasi akademik dan sosial yang lebih baik. Artinya, mendukung pendidikan perempuan bukan sekadar persoalan keadilan gender, tetapi investasi jangka panjang bagi masa depan keluarga dan bangsa.
Namun, tentu tidak cukup hanya menormalisasi bahwa istri boleh pintar. Kita harus membangun ekosistem yang memungkinkan perempuan tumbuh tanpa rasa bersalah. Dalam rumah tangga, ini berarti membicarakan peran dan ekspektasi secara terbuka. Dalam masyarakat, ini berarti menghapus candaan yang meremehkan pencapaian perempuan. Dalam media, ini berarti menyuarakan cerita-cerita yang lebih beragam dan membumi.
Pendidikan, karier, dan potensi seorang istri bukan saingan, tapi anugerah yang memperkaya rumah tangga. Dan suami yang mendukung adalah teladan bahwa cinta sejati tidak takut berbagi ruang untuk tumbuh.
Pendidikan adalah anugerah dan setiap manusia, termasuk perempuan, berhak untuk merasakannya. Maka, mari kita luruskan cara pandang. Pendidikan bukan alat untuk meninggikan diri, bukan pula senjata untuk saling mengalahkan.
Ia adalah jalan untuk mengenali hidup dengan lebih utuh, untuk menjalani peran sebagai manusia, pasangan, dan orang tua dengan hati yang lebih terang. Perempuan tidak menjadi “terlalu” hanya karena ia tahu banyak hal. Ia tetap sama: manusia yang sedang tumbuh. Dan semua pertumbuhan adalah karunia.
Karena pada akhirnya, rumah bukanlah tempat untuk bersaing siapa lebih tinggi, tapi tempat untuk saling menguatkan agar sama-sama sampai di puncak, bersama.
Baca Juga
-
Ulasan Novel Api Jihad di Tanah Suriah: Jalan Tobat Mantan Tentara ISIS
-
Ulasan Buku Strategi Najmah: Ketika Madrasah Tumbuh di Tangan yang Tepat
-
Ulasan Novel Teruslah Bodoh Jangan Pintar: Ketika Keadilan Bisa Dibeli
-
Jika Kita Tak Pernah Baik-Baik Saja: Buku Pengingat Sedih Itu Manusiawi
-
Ulasan Novel Lautan dan Dendamnya: Mencari Tuhan dalam Balutan Romansa
Artikel Terkait
-
Dukung Pekerja Perempuan Maju dan Berdaya Jadi Komitmen Pertamina
-
PNM Hadirkan Peluang Usaha untuk Perempuan Prasejahtera
-
Nasabah Binaan PNM Mekaar Sukses Dilirik Brand Batik Besar, Ini Rahasianya
-
Giring Bola, Lawan Norma: Perempuan di Tengah Maskulinitas Futsal
-
Kenaikan Biaya Pendidikan Ancam Inflasi RI
Kolom
-
Pemblokiran Rekening Dormant, Respons Publik dan Kebijakan yang Tergesa?
-
Rekening 'Tidur' Dibangunkan Paksa PPATK Bikin Rakyat Resah
-
Mengapa Bendera Bajak Laut One Piece Berkibar Jelang HUT NKRI ke-80?
-
5 Makna Bendera One Piece Berkibar Jelang HUT RI, Jadi Simbol Kritik Sosial
-
Sound Horeg dan Dinamika Budaya Populer di Era Digital
Terkini
-
Review Jujur Film The Bad Guys 2, Sedang Tayang di Bioskop
-
Baru Main Futsal? Ini Formasi yang Wajib Kamu Coba Biar Nggak Keteteran
-
Futsal Bukan Sekadar Hobi, Tapi Gaya Hidup Anak Muda Zaman Now!
-
7 Drama China yang Dibintangi Zhao Qing, Terbaru The Immortal Ascension
-
Futsal dan Filosofi Hidup: Dari Lapangan, Mimpi dan Karakter Diri