Mengapa hanya orang tua yang kaya dan berpendidikan tinggi yang mempelajari parenting? Pernahkah kita mengamati siapa yang paling terlibat dalam pendidikan parenting? Siapa yang sering berkonsultasi dengan psikolog keluarga, menghadiri seminar, dan membeli buku tentang parenting? Sering kali, jawabannya adalah: orang tua kelas atas. Mereka yang menjalani kehidupan dengan sejahtera, memiliki gelar sarjana, memiliki pekerjaan tetap, dikelilingi orang-orang yang berpendidikan, dan memiliki akses mudah ke informasi.
Dalam hal membesarkan anak, kelas menengah ke bawah sebenarnya menghadapi kesulitan paling besar, jika kita mau jujur. Mereka yang menghadapi tantangan sehari-hari seperti ekonomi, keterbatasan waktu, tuntutan hidup, dan lingkungan yang tidak selalu mendukung pertumbuhan dalam ilmu pengasuhan anak. Jadi mengapa orang yang lebih "siap secara ekonomi dan pendidikan" memiliki keinginan paling besar untuk belajar ilmu parenting atau pendidikan pola asuh anak?
Pertama, Kesadaran dan Akses. Akses ke informasi adalah kemewahan yang dinikmati oleh kelas atas. Mereka dapat dengan mudah membaca artikel bereputasi baik, berpartisipasi dalam seminar tentang parenting, dan bahkan mendaftar di platform pendidikan yang ramah anak. Di sisi lain, banyak orang tua lainnya tidak punya waktu luang, tidak terbiasa memandang pengasuhan sebagai keterampilan yang dapat dipelajari, dan bahkan tidak tahu apa itu pengasuhan positif.
Kedua, Pendidikan mempengaruhi sikap. Orang tua dengan gelar sarjana biasanya terbiasa dengan pemikiran analitis dan introspektif. Mereka lebih reseptif terhadap gagasan bahwa mengasuh anak adalah keterampilan yang dapat dan harus dikuasai sesuai dengan zaman, daripada sekadar warisan yang diwariskan melalui keluarga.
Namun, berbeda dengan orang tua yang tidak mendapatkan ases pendidikan dengan baik. Karena itulah yang mereka ketahui dan biasa mereka lakukan, mayoritas orang tua kelas bawah terus mengadopsi metode kuno yang sering kali kasar, otoriter, dan bahkan penuh dengan pelecehan verbal. Namun, mayoritas orang tua kelas bawah terus menggunakan metode yang sudah ketinggalan zaman, ia lebih mengikuti apa yang orang tuanya katakan, meskipun terkadang tidak masuk akal.
Mengapa Masyarakat Menengah Kebawah Tidak Memiliki Minat Dalam Pelajari Ilmu Parenting?
Banyak orang tua bekerja dari pagi hingga sore. Mereka harus menjalani siklus yang sama lagi keesokan harinya setelah pulang ke rumah dalam keadaan kelelahan. Dalam keadaan seperti itu, menjadi orang tua seperti ini hanya fokus memenuhi kebutuhannya ketimbang untuk memenuhi wawasan. Meskipun mereka ingin menjadi orang tua yang baik, mereka tidak punya energi untuk mempertimbangkan teori pengasuhan anak. Yang penting adalah anak itu makan, bersekolah, dan berperilaku baik. Mereka percaya itu sudah cukup.
1. Cedera yang Dianggap Wajar
Peradaban kita masih berlabuh kuat pada pola pikir yang mengatakan, "Orang tuaku dulu memukulku, tetapi aku menjadi orang yang luar biasa." Sebenarnya, banyak dari kita memiliki luka pengasuhan dari masa kecil kita yang tidak pernah hilang. Karena pola asuh yang terlalu fungsional namun tidak peduli, kita tumbuh menjadi orang dewasa yang berjuang dengan rasa percaya diri, takut membuat kesalahan, dan berjuang untuk mengomunikasikan perasaan kita. Dan jika luka-luka semacam ini tidak diakui dan ditangani, hal itu akan ditularkan kepada keturunan kita.
2. Pendidikan Mengasuh Anak Masih Mahal dan Tidak Peduli
Cara mengajarkan pola asuh adalah masalah lain. Banyak ilmu pengasuhan anak disajikan dari sudut pandang yang "jauh" dari kehidupan masyarakat umum terutama pada kalangan menengah bawah, menggunakan terminologi akademis, atau terlalu formal dalam pengemasannya, sehingga terkesan membuat para orang tua menengah kebawah insecure terlebih dahulu. Kendati demikian, seminar Parenting hanya sampai kepada kelompok menengah atas, sosialisasi yang tersebar hanya di lingkungan tertentu. Kapan terakhir kali kita melihat nasihat pengasuhan anak yang disampaikan oleh para pakar ditengah masyarakat bawah? misalnya dalam kesempatan sosialisasi di posyandu, atau saat imunisasi, tentu dalam kesempatan seperti ini saja, pengetahuan ilmu parenting jarang sekali disampaikan.
3. Lingkungan yang Tidak Mendukung
Lingkungan sangat memiliki peran besar dalam fenomena ini, di masyarakat bawah, seringkali mencari lingkungan yang se-pemahaman dengan dirinya, sehingga untuk keluar dari zona ketidak minat-nya dalam belajar ilmu parenting akan semakin sulit. Maka bila ingin keluar dari zona seperti ini, masyarakat harus memiliki kesadaran, terutama dalam memilih teman lingkungan sekitarnya.
Lalu, Siapa yang Harus Belajar Mengasuh Anak? Setiap orang tua baik untuk orang kaya maupun untuk orang miskin. yang berhak belajar dalam ilmu parenting bukan hanya orang kaya dan mereka yang memiliki gelar saja, tetapi yang tidak mendapatkan pendidikan tinggi juga memiliki hak yang sama. Menjadi orang tua berarti siap menyaksikan anak-anak Anda tumbuh secara emosional dan fisik. Orang tua yang sempurna tidak diperlukan bagi anak-anak. Yang mereka butuhkan hanyalah orang tua yang terbuka untuk belajar. Terbuka terhadap perubahan, mengakui kesalahan, dan hadir sepenuhnya dengan cinta, toleransi, dan pengertian.
Terakhir, fenomena masyarakat yang sangat relevan disinggung oleh pertanyaan ini. Dampaknya bisa sangat luas ketika akses ke pendidikan dan informasi terbatas, terutama dalam hal mengasuh anak. Ketimpangan sosial dapat diperburuk oleh kurangnya pengetahuan tentang cara membesarkan anak dengan penuh kasih sayang dan sehat. Orang-orang yang memiliki akses ke pendidikan, dan lebih sejahtera secara materi, serta dalam hal membesarkan anak-anak yang mendapatkan penuh pengasuhan dengan baik, anak akan memiliki bakat yang lebih baik dikemudian hari.
Di sisi lain sisi, mereka (orang tua) yang tidak memiliki akses pendidikan dengan baik, mereka akan sering terjebak dalam gaya pengasuhan yang menghambat anak mereka, karena sistem warisan akan terus dilakukan, sehingga ini akan terus menimbulkan kesenjangan sosial ditengah masyarakat, masyarakat yang mengalami dampak seperti ini akan sulit keluar dari zona kemiskinan struktural.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
KPAI Soroti Angka Putus Sekolah di Hardiknas 2025: 4 Juta Anak di Indonesia Tidak Bersekolah
-
Prabowo Gembar-gembor Kesejahteraan Anak di Hari Buruh, KPAI Soroti Kasus Keracunan MBG
-
Berapa Anak Dedi Mulyadi? Gubernur Jawa Barat Larang Punya Banyak Anak Lewat KB Pria Vasektomi
-
Bentrok Suku Anak Dalam dan Sekuriti Perusahaan Sawit di Tebo, Satu Orang Tewas
-
Profil Letjen Kunto Arief Wibowo, Putra Try Sutrisno Jadi Sorotan Usai Mutasi Jabatan
Kolom
-
Menyibak Tabir Kemerosotan Pendidikan: Indonesia Perlu Berbenah
-
Menjaga Senja yang Ramah: Saat Lansia Tak Lagi Jadi Prioritas
-
Kalau AI Bisa Baca, Tulis, Ngoding, Lalu Sarjana Ngapain?
-
Sekolah Bocor di Negeri 'Prioritas Pendidikan': Kapan Janji Jadi Kenyataan?
-
RUU Polri: Kebebasan Ruang Digital Terancam? Revisi Kontroversial yang Bikin Warganet Resah!
Terkini
-
Unik, Simbolisme Lagu TWS 'If I'm S, Can You Be My N': Naksir Tapi Gengsi
-
PSS Sleman Hajar PSM Makassar, Peluang Bertahan di Liga 1 Makin Terbuka?
-
5 Drama Hits Tan Song Yun yang Tayang di iQIYI, Terbaru The Unclouded Soul
-
Ganti Nama Jadi i-dle, (G)I-DLE Siap Rilis 2 Album Sekaligus di Bulan Mei
-
Ulasan Novel Revisweet: Cinta, Revisi, dan Ambisi di Balik Dunia Penerbitan