Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fiqih Akhdiyatu Salam, M.I.Kom
PHK Massal Industri Media: Apakah Salah Media Sosial dan AI?
Ilustrasi robot AI (Pexels/Kindel Media)

Dalam beberapa bulan terakhir, berita di tanah air dipenuhi dengan informasi yang menyedihkan: pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran di sektor media. Yang lebih menyedihkan adalah ini tidak hanya terjadi pada media kecil yang berjuang untuk bertahan, tetapi juga pada perusahaan-perusahaan media besar yang sebelumnya dikenal kuat.

Pertanyaannya adalah, mengapa ini bisa terjadi? Apakah semuanya disebabkan oleh media sosial dan kecerdasan buatan (AI) yang semakin maju. Jawabannya adalah ya, tetapi ada faktor lain juga.

Media Sosial, Pesaing Cekatan yang Mengambil Perhatian

Sekarang, coba perhatikan bagaimana orang-orang mendapatkan informasi. Dulu, kita menunggu berita sore di televisi, mendengarkan radio dalam perjalanan macet, atau membaca koran di pagi hari.

Kini? Sebuah video di TikTok bisa menjadi berita besar dalam semalam. Thread di Twitter bisa menyajikan informasi yang lebih rinci dibandingkan laporan investigasi. Bahkan akun gosip bisa lebih cepat daripada situs berita.

Laporan dari We Are Social dan Meltwater (2024) menunjukkan bahwa 69,7% pengguna internet di Indonesia aktif di media sosial. Rata-rata, mereka menghabiskan lebih dari tiga jam sehari hanya untuk berselancar di jejaring sosial. Apa yang mereka cari bukan hanya hiburan, tetapi juga informasi, pandangan, bahkan pendidikan.

Ini berarti? Perhatian publik, yang dulunya dimiliki oleh media tradisional, sekarang telah berpindah. Konten di media sosial lebih cepat, lebih singkat, lebih ringan, dan suka atau tidak lebih dapat diterima oleh banyak orang.

Sementara itu, media tradisional masih terjebak dalam pola pikir lama: berita yang panjang, narasi yang kaku, dan struktur organisasi yang lambat. Tentu saja, mereka kalah cepat.

AI: Di Antara Efisiensi dan Kekhawatiran Kehilangan Pekerjaan

Kemudian, muncul AI. Teknologi ini benar-benar mengubah cara membuat konten. Saat ini, menulis artikel bisa dibantu dengan AI seperti ChatGPT. Membuat desain? Dengan AI di Canva, itu jadi mudah.

Menyuarakan video? Cukup gunakan generator suara AI. Bahkan sekarang, media bisa memanfaatkan AI untuk meneliti tren, menganalisis data pembaca, hingga mengatur jadwal konten secara otomatis.

Menurut Laporan Berita Digital Institute Reuters 2023, banyak kantor berita global mulai bekerja sama dengan AI sebagai asisten. Namun, sayangnya, di Indonesia, daripada memanfaatkan kesempatan ini, banyak media melihat AI sebagai ancaman.

Terutama bagi perusahaan dengan struktur besar dan kelebihan sumber daya manusia, AI dipandang sebagai pemicu efisiensi, yang berarti pengurangan jumlah pekerja.

Akhirnya? PHK menjadi "jalan pintas" untuk mengurangi biaya, meskipun keputusan ini menyakitkan dan berisiko membawa masalah sosial.

Pandangan Ahli: Media Perlu Fleksibel dan Relevan

Dr. Hermin Indah Wahyuni, seorang ahli komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, pernah menyatakan bahwa transformasi lanskap media tidak hanya disebabkan oleh teknologi, tetapi juga oleh perilaku audiens.

"Jika media tidak dapat beradaptasi dengan ekosistem digital yang cepat dan interaktif, maka mereka akan tertinggal. Kita tidak dapat terus bergantung pada model lama," katanya dalam sebuah forum publik pada tahun 2023.

Senada, Ignatius Haryanto, seorang peneliti media independen dan mantan direktur LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan), mengungkapkan bahwa banyak media terlalu lama tergantung pada iklan dan tidak membangun komunitas pembaca yang setia.

"Ketika platform digital seperti Google dan Meta mengambil pangsa iklan, media tradisional terjebak karena tidak memiliki strategi untuk mendiversifikasi pendapatan," ujarnya seperti yang dilaporkan Katadata.

Media yang enggan untuk berubah, akan tertinggal. Namun mari kita akui. Kesalahan bukan ada pada AI atau media sosial. Mereka hanyalah sarana. Penyebab keruntuhan media konvensional adalah terlalu lama terjebak dalam kenyamanan.

Saat dunia mengalami perubahan, mereka tidak bisa mengikuti dengan cepat. Ketika penonton mulai beralih ke konten yang lebih singkat dan personal, media tetap bersikeras menggunakan metode lama yang formal dan kaku.

Padahal di luar, banyak kreator independen yang sudah mahir dalam menciptakan narasi, membangun komunitas, serta memperoleh pendapatan melalui berbagai platform.

Hal positifnya adalah masih ada media yang mampu bertahan dan bahkan berkembang. Mereka yang mampu beradaptasi dengan cepat, terbuka pada kemajuan teknologi, aktif di media sosial, bekerja sama dengan influencer, dan tahu cara menyampaikan pesan dengan cara yang modern.

Apa kesimpulannya?

Sekarang ini, dalam industri media, yang menjadi penting bukan lagi ukuran besar, melainkan siapa yang paling gesit dan kreatif.

Jika media konvensional ingin melanjutkan eksistensinya, mereka harus berani melakukan perubahan. Harus belajar dari startup, mempelajari cara kerja kreator konten, dan mengerti teknologi terbaru. Karena dunia sudah bertransformasi dan tidak akan menunggu mereka yang terjebak terlalu lama di masa lalu.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fiqih Akhdiyatu Salam, M.I.Kom