
Dalam beberapa bulan terakhir, berita di tanah air dipenuhi dengan informasi yang menyedihkan: pemutusan hubungan kerja (PHK) secara besar-besaran di sektor media. Yang lebih menyedihkan adalah ini tidak hanya terjadi pada media kecil yang berjuang untuk bertahan, tetapi juga pada perusahaan-perusahaan media besar yang sebelumnya dikenal kuat.
Pertanyaannya adalah, mengapa ini bisa terjadi? Apakah semuanya disebabkan oleh media sosial dan kecerdasan buatan (AI) yang semakin maju. Jawabannya adalah ya, tetapi ada faktor lain juga.
Media Sosial, Pesaing Cekatan yang Mengambil Perhatian
Sekarang, coba perhatikan bagaimana orang-orang mendapatkan informasi. Dulu, kita menunggu berita sore di televisi, mendengarkan radio dalam perjalanan macet, atau membaca koran di pagi hari.
Kini? Sebuah video di TikTok bisa menjadi berita besar dalam semalam. Thread di Twitter bisa menyajikan informasi yang lebih rinci dibandingkan laporan investigasi. Bahkan akun gosip bisa lebih cepat daripada situs berita.
Laporan dari We Are Social dan Meltwater (2024) menunjukkan bahwa 69,7% pengguna internet di Indonesia aktif di media sosial. Rata-rata, mereka menghabiskan lebih dari tiga jam sehari hanya untuk berselancar di jejaring sosial. Apa yang mereka cari bukan hanya hiburan, tetapi juga informasi, pandangan, bahkan pendidikan.
Ini berarti? Perhatian publik, yang dulunya dimiliki oleh media tradisional, sekarang telah berpindah. Konten di media sosial lebih cepat, lebih singkat, lebih ringan, dan suka atau tidak lebih dapat diterima oleh banyak orang.
Sementara itu, media tradisional masih terjebak dalam pola pikir lama: berita yang panjang, narasi yang kaku, dan struktur organisasi yang lambat. Tentu saja, mereka kalah cepat.
AI: Di Antara Efisiensi dan Kekhawatiran Kehilangan Pekerjaan
Kemudian, muncul AI. Teknologi ini benar-benar mengubah cara membuat konten. Saat ini, menulis artikel bisa dibantu dengan AI seperti ChatGPT. Membuat desain? Dengan AI di Canva, itu jadi mudah.
Menyuarakan video? Cukup gunakan generator suara AI. Bahkan sekarang, media bisa memanfaatkan AI untuk meneliti tren, menganalisis data pembaca, hingga mengatur jadwal konten secara otomatis.
Menurut Laporan Berita Digital Institute Reuters 2023, banyak kantor berita global mulai bekerja sama dengan AI sebagai asisten. Namun, sayangnya, di Indonesia, daripada memanfaatkan kesempatan ini, banyak media melihat AI sebagai ancaman.
Terutama bagi perusahaan dengan struktur besar dan kelebihan sumber daya manusia, AI dipandang sebagai pemicu efisiensi, yang berarti pengurangan jumlah pekerja.
Akhirnya? PHK menjadi "jalan pintas" untuk mengurangi biaya, meskipun keputusan ini menyakitkan dan berisiko membawa masalah sosial.
Pandangan Ahli: Media Perlu Fleksibel dan Relevan
Dr. Hermin Indah Wahyuni, seorang ahli komunikasi dari Universitas Gadjah Mada, pernah menyatakan bahwa transformasi lanskap media tidak hanya disebabkan oleh teknologi, tetapi juga oleh perilaku audiens.
"Jika media tidak dapat beradaptasi dengan ekosistem digital yang cepat dan interaktif, maka mereka akan tertinggal. Kita tidak dapat terus bergantung pada model lama," katanya dalam sebuah forum publik pada tahun 2023.
Senada, Ignatius Haryanto, seorang peneliti media independen dan mantan direktur LSPP (Lembaga Studi Pers dan Pembangunan), mengungkapkan bahwa banyak media terlalu lama tergantung pada iklan dan tidak membangun komunitas pembaca yang setia.
"Ketika platform digital seperti Google dan Meta mengambil pangsa iklan, media tradisional terjebak karena tidak memiliki strategi untuk mendiversifikasi pendapatan," ujarnya seperti yang dilaporkan Katadata.
Media yang enggan untuk berubah, akan tertinggal. Namun mari kita akui. Kesalahan bukan ada pada AI atau media sosial. Mereka hanyalah sarana. Penyebab keruntuhan media konvensional adalah terlalu lama terjebak dalam kenyamanan.
Saat dunia mengalami perubahan, mereka tidak bisa mengikuti dengan cepat. Ketika penonton mulai beralih ke konten yang lebih singkat dan personal, media tetap bersikeras menggunakan metode lama yang formal dan kaku.
Padahal di luar, banyak kreator independen yang sudah mahir dalam menciptakan narasi, membangun komunitas, serta memperoleh pendapatan melalui berbagai platform.
Hal positifnya adalah masih ada media yang mampu bertahan dan bahkan berkembang. Mereka yang mampu beradaptasi dengan cepat, terbuka pada kemajuan teknologi, aktif di media sosial, bekerja sama dengan influencer, dan tahu cara menyampaikan pesan dengan cara yang modern.
Apa kesimpulannya?
Sekarang ini, dalam industri media, yang menjadi penting bukan lagi ukuran besar, melainkan siapa yang paling gesit dan kreatif.
Jika media konvensional ingin melanjutkan eksistensinya, mereka harus berani melakukan perubahan. Harus belajar dari startup, mempelajari cara kerja kreator konten, dan mengerti teknologi terbaru. Karena dunia sudah bertransformasi dan tidak akan menunggu mereka yang terjebak terlalu lama di masa lalu.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
Artikel Terkait
-
AI atau Sekadar Jargon? Gibran dan Kecanggihan Teknologi yang Diperdebatkan
-
Perusahaan Milik Pacar Lisa BLACKPINK Mau PHK 1.200 Karyawan
-
Timnas Indonesia Bikin Turnamen Uji Coba, Media Malaysia Nyinyir: Tak Level, Maaf
-
Singgung Soal PHK hingga Ancaman Pengangguran, Cak Imin: Dunia Penuh Dengan Ketegangan
-
1.200 Agen Rahasia Amerika Kena PHK, Berapa Pesangonnya?
Kolom
-
Fleksibilitas dan Kecemasan: Potret Gen Z Hadapi Realita Dunia Kerja
-
Ijazah di Tangan, Pekerjaan di Angan: Ironi Kaum Muda Terpelajar
-
Generasi Paylater: Saat Cicilan Jadi Gaya Hidup
-
Menari di Atas Tali Ekonomi Rumahan: Kisah Kreativitas dan Ketangguhan
-
Dari Uang Saku ke Anggaran! Gimana Perjalanan Kemandirian Finansial Gen Z?
Terkini
-
Sinopsis Beneath the Undertow, Drama China Terbaru Chen Jianbin dan Chen Ruoxuan
-
Jonatan Christie dan Chico Pilih Jalur Independen, Apa Kabar Anthony Ginting?
-
Don't Say You Love Me oleh Jin BTS: Ingin Lepas dari Cinta yang Menyakitkan
-
Review Film Cocote Tonggo: Yang Jualan Jamu Kesuburan tapi Nggak Subur
-
Tayang Hari Ini, 3 Alasan Kamu Wajib Menonton Drama Korea Netflix Dear Hongrang