Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Fiqih Akhdiyatu Salam, M.I.Kom
Ilustrasi media massa koran (pexels.com/Efrem Efre)

Pengurangan anggaran media yang dilakukan oleh Dedi Mulyadi berasal dari keinginan untuk meningkatkan efisiensi dalam birokrasi serta memaksimalkan komunikasi publik di zaman digital.

Sebagai seorang politisi yang terkenal dekat dengan masyarakat dan aktif di platform media sosial, Dedi menyadari adanya potensi besar dalam menggunakan platform digital untuk menyampaikan pesan pemerintah yang efektif, hemat biaya, dan memiliki jangkauan yang luas.

Ketika berperan sebagai anggota DPR RI dan salah satu tokoh terkenal di Jawa Barat, Dedi menunjukkan bahwa pendekatan narasi yang autentik, manusiawi, dan komunikatif melalui media sosial bisa membangun hubungan emosional dengan masyarakat.

Cara komunikasinya yang santai, yang sering kali menyentuh aspek sosial, terbukti berhasil menarik perhatian jutaan orang tanpa perlu pengeluaran besar untuk promosi.

Dari pengalaman ini, terdapat pemahaman bahwa strategi komunikasi pemerintah tak harus selalu mengikuti cara lama, seperti kerjasama advertorial dengan media konvensional yang menghabiskan dana hingga puluhan miliar rupiah setiap tahunnya.

Dedi Mulyadi secara terbuka menyatakan bahwa sebelumnya anggaran kerjasama media Pemprov Jabar bisa mencapai Rp50 miliar, namun dengan pendekatan digital yang dia gunakan, hanya sekitar Rp 3 miliar diperlukan untuk menjangkau banyak orang dengan efektivitas tinggi.

Inisiatif ini tidak hanya berfungsi sebagai cara untuk menghemat anggaran, tetapi juga sebagai langkah modernisasi dalam membangun transparansi informasi dan kedekatan dengan masyarakat.

Meski demikian, kebijakan ini juga memicu perdebatan dan kekhawatiran tentang masa depan media lokal yang selama ini bergantung pada kerjasama informasi dengan pemerintah daerah.

Pernyataan yang viral di media sosial dari Dedi Mulyadi, “Sebelumnya iklan di Pemprov Jabar bermitra dengan media seharga Rp50 miliar. Kini cukup dengan Rp3 miliar dan tetap viral,”

Kendati demikian, pesan yang disampaikan mengenai bagaimana pemerintah berkomunikasi. Ia menunjukkan bahwa media sosial dapat menjadi metode komunikasi publik yang lebih efisien dan hemat biaya dibandingkan media tradisional. Namun, satu pertanyaan yang juga penting adalah: apa dampaknya bagi media lokal?

Dalam hal ini, sudah lama diakui bahwa penggunaan media sosial efektif. Dr. Rulli Nasrullah, M. Si. , seorang ahli komunikasi digital, menyatakan bahwa media sosial mendukung komunikasi dua arah dan partisipasi publik secara real-time.

Media sosial tidak hanya berfungsi sebagai saluran untuk menyebarkan informasi, tetapi juga menciptakan ruang interaksi dengan cepat membentuk persepsi publik,” kata Rulli dalam bukunya Media Sosial: Perspektif Komunikasi, Budaya, dan Sosioteknologi (2014).

Namun, ketika anggaran media pemerintah berpindah dari media massa ke digital, ada kekhawatiran bahwa media lokal dapat kehilangan sumber dana yang penting.

Prof. Masduki, Ph. D. , seorang dosen di Universitas Islam Indonesia, menulis di Jurnal Komunikasi Indonesia bahwa media lokal sangat rentan secara finansial karena bergantung pada pendapatan dari pemerintah daerah dan iklan.

Pengurangan anggaran ini dapat memicu efek beruntun seperti pemutusan hubungan kerja, menurunnya kualitas laporan, hingga mengancam keberlangsungan media lokal itu sendiri.

Apabila pemerintah tidak berhati-hati dalam mempertimbangkan kebijakan dalam bekerjasama dengan media lokal dan media digital, ketidakseimbangan informasi di tingkat daerah akan muncul,” kata Prof. Masduki (2020).

Dia menekankan bahwa media lokal masih sangat penting untuk menyampaikan isu-isu komunitas yang sering kali diabaikan oleh media nasional atau konten viral dari media sosial.

Selain itu, pergeseran anggaran yang tidak diiringi strategi yang jelas juga dapat menimbulkan ketegangan pada hubungan antara pemerintah dan media lokal.

Hubungan yang awalnya bersifat saling menguntungkan dalam penyebaran informasi publik bisa berubah menjadi tidak seimbang, di mana pemerintah merasa cukup berfungsi sebagai “media” untuk dirinya sendiri melalui konten digital.

Untuk menghindari keretakan informasi lokal, pemerintah daerah harus terus menganggap media lokal sebagai mitra yang strategis, bukan hanya sebagai saluran promosi.

Media sosial dan media lokal seharusnya tidak saling dipertentangkan, tetapi digunakan secara saling melengkapi. Konten digital dari tokoh pemerintah bisa diperkuat dengan laporan yang mendalam dari media lokal, sehingga masyarakat dapat menerima pesan yang tidak hanya menarik secara visual tetapi juga dalam substansi.

Di sisi lain, media lokal juga perlu berbenah. Mereka harus mengubah model bisnis, meningkatkan keterampilan digital, dan memperkuat keterlibatan dengan komunitas mereka. Seperti apa yang disampaikan oleh Prof. Janet Steele dari Universitas George Washington,

Media lokal akan tetap relevan jika mereka mampu menunjukkan bahwa keberadaan mereka memiliki dampak langsung pada kehidupan masyarakat sekitar.

Kesimpulan

Langkah efisiensi anggaran adalah hal yang logis, namun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan prinsip-prinsip demokrasi lokal yang dijunjung oleh media.

Pemerintah daerah dan media lokal seharusnya saling beradaptasi, bukan saling menggantikan. Kerjasama, bukan persaingan, harus menjadi kunci dalam sistem komunikasi publik di era digital ini.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Fiqih Akhdiyatu Salam, M.I.Kom