Sudah bekerja, tapi gaji pas-pasan. Sudah punya penghasilan, tapi masih minta bantuan orang tua. Bisa dikatakan “kerja”, tapi rasanya belum sejahtera. Fenomena ini makin sering dialami oleh generasi muda saat ini dan dikenal dengan istilah underemployment. Kondisi seseorang sudah bekerja, tapi tidak sesuai jam kerja ideal, upah yang layak, atau bidang keahliannya.
Di tengah optimisme pertumbuhan ekonomi nasional, banyak anak muda lulusan perguruan tinggi justru harus rela menerima pekerjaan di bawah potensi mereka. Bukan karena malas atau tidak kompeten, melainkan karena lapangan kerja yang tersedia tak secepat pertumbuhan angkatan kerja.
Fakta dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa pada Februari 2024, jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,6 juta orang, dengan angka tertinggi berada di kelompok usia muda, yaitu antara 15–29 tahun.
Menariknya, sebagian besar dari mereka bukan benar-benar menganggur, melainkan bekerja paruh waktu, mendapat upah minim, atau bekerja di sektor informal.
"Kita lihat tren underemployment meningkat, terutama di sektor jasa dan perdagangan," ujar Kepala BPS, Margo Yuwono, seperti dikutip dari Antara News.
Artinya, banyak anak muda yang sudah bekerja, tapi belum bisa hidup mandiri secara finansial karena pendapatan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Kenapa ini bisa terjadi? Salah satu penyebab utamanya adalah ketidakseimbangan antara jumlah lulusan perguruan tinggi dan lapangan kerja yang tersedia.
Jumlah sarjana terus bertambah setiap tahun, sementara pertumbuhan ekonomi belum mampu menciptakan pekerjaan berkualitas dalam jumlah yang cukup. Tak jarang, para lulusan terpaksa menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan bidang studinya.
Contoh nyatanya banyak: ada sarjana manajemen yang akhirnya bekerja sebagai customer service, lulusan teknik yang menjadi admin toko online, atau bahkan lulusan ekonomi yang menjual makanan lewat ojek daring. Bukan salah mereka, tapi struktur ekonomi kita belum siap menyerap tenaga kerja terdidik secara optimal.
Selain itu, perubahan zaman juga membuat pola kerja bergeser. Banyak pekerjaan baru lahir dari dunia digital, tapi sering kali jenis pekerjaan ini bersifat freelance, kontrak, atau proyek, sehingga tidak memberikan kepastian penghasilan maupun perlindungan sosial bagi pekerjanya.
“Di era digital, banyak anak muda yang punya penghasilan, tapi tidak stabil dan tidak dilindungi BPJS,” kata Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda.
Inilah tantangan terbesar saat ini: bagaimana memastikan bahwa semua anak muda yang bekerja bisa hidup layak, punya jaminan hari tua, dan bisa merencanakan masa depan dengan baik.
Pemerintah tentu sudah melakukan berbagai upaya, mulai dari pelatihan vokasi, program magang, sampai subsidi upah. Namun, jika dilihat dari realita di lapangan, langkah-langkah tersebut belum cukup efektif.
Masih banyak pelaku usaha kecil dan menengah yang kesulitan membayar upah minimum, sementara anak muda butuh pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan lebih dari sekadar “biaya transport pulang-pergi”.
Diperlukan kolaborasi lebih luas antara pemerintah, dunia usaha, dan institusi pendidikan agar lulusan tidak hanya dibekali ijazah, tapi juga disambungkan langsung ke dunia kerja yang relevan.
Mungkin sudah saatnya kita mengubah definisi sukses. Selama ini, banyak dari kita yang dibesarkan dengan anggapan bahwa sukses itu adalah lulus kuliah cepat, langsung dapat kerja tetap, punya jabatan, atau bisa hidup mandiri dalam waktu singkat.
Tapi kenyataannya, tidak semua orang bisa melewati jalan lurus seperti itu. Banyak anak muda yang sudah bekerja keras, melamar puluhan bahkan ratusan lowongan, sampai rela terima gaji di bawah UMR — tapi tetap saja belum bisa lepas dari bantuan orang tua. Dan ketika hal ini terjadi, sering kali mereka menyalahkan diri sendiri: “Apakah aku kurang kompeten? Kurang pandai bersaing? Atau memang salah jurusan?”
Padahal, masalahnya bukan hanya soal individu. Ini juga soal sistem. Dunia kerja hari ini sedang menghadapi perubahan besar. Banyak pekerjaan lama hilang atau berubah bentuk karena otomatisasi dan digitalisasi, sementara pekerjaan baru belum mampu menyerap jumlah tenaga kerja sebanyak yang dibutuhkan.
Di tengah kondisi ini, generasi muda terpaksa menjadi "relawan" dari transformasi ekonomi yang belum sepenuhnya siap untuk menampung mereka.
Meskipun pemerintah serta institusi pendidikan terus berusaha menyesuaikan kurikulum dan pelatihan vokasi, ada kesenjangan antara apa yang diajarkan dan apa yang benar-benar dibutuhkan di lapangan.
Jadi, jika kamu merasa sudah bekerja tapi masih susah, itu bukan berarti kamu gagal. Itu hanya menunjukkan bahwa kamu sedang hidup di zaman transisi, zaman di mana sistem lama mulai goyah, tapi sistem baru belum sepenuhnya berdiri kokoh.
Semoga di masa depan, anak muda Indonesia tidak lagi harus puas dengan pekerjaan yang sekadar membuat mereka survive. Semoga nanti, setiap anak muda yang bekerja bisa benar-benar sejahtera punya penghasilan layak, tabungan yang cukup, akses kesehatan, hingga ruang untuk berkembang secara profesional.
Karena bekerja itu bukan cuma tentang bertahan hidup. Tapi juga tentang memiliki harapan, percaya pada masa depan, dan yakin bahwa usaha hari ini akan membawa kehidupan yang lebih baik besok.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Siap Hadapi 2030: Tips Bertahan di Tengah Krisis Ekonomi dan Pendidikan
-
Antara PLTU dan Janji Hijau: Dilema Transisi Energi di Tengah Krisis Iklim
-
Konflik Ruang Yogyakarta antara Uang dan Warisan
-
Narasi Angkringan di Yogyakarta yang Tenggelam oleh Kultur Cafe
-
Manusia Is Value Ekonomi, Bukan Sekadar Objek Suruhan Kapitalisme
Artikel Terkait
-
OJK Dorong Generasi Muda Melek Keuangan Supaya Sejahtera
-
PSSI - FIFA Bersinergi Hadirkan Lapangan Sepak Bola Ramah Anak di Kawasan Bank Mandiri Wijayakusuma
-
Manager Fest 2025 Hadirkan Solusi untuk Sandwich Manager di Tengah Ketidakpastian
-
Masa Depan di Genggaman: Peran Bank Digital dalam Mendorong Kemandirian Finansial Generasi Muda
-
Pertamina Dukung Pembalap Muda Berprestasi di Ajang Pertamina Mandalika Racing Series 2025
Kolom
-
Dari Jaga Perairan ke Tanam Kedelai: Apa Kabar Mandat TNI AL?
-
AI Masuk ke Kurikulum, Peluang atau Masalah?
-
Conscientious tapi Terluka, Saat Ketekunan Justru Menjadi Beban Kerja
-
Baca Artikel Member Lain di Yoursay Sebelum Nulis Sendiri, Ini Urgensinya
-
Kecemasan Digital: Bagaimana Algoritma Politik Membentuk Pikiran Kita?
Terkini
-
BRI Liga 1: Stefano Cugurra Pasang Target Tinggi, Bali United Incar 5 Besar
-
Review Film 47 Meters Down: Perjuangan Menyelamatkan Diri dari Serangan Hiu
-
Ulasan Novel Efek Halo: Di Balik Senyum Manis, Tersimpan Bahaya Maut
-
Pantai Tiang Bendera, Keindahan Sunset di Ujung Selatan Nusantara
-
Makin Parah! Satu-satunya Bintang Vietnam di ASEAN All Stars Juga Dilarang Bergabung