Scroll untuk membaca artikel
Hikmawan Firdaus | Budi Prathama
Ilustrasi Pancasila (YouTube Kemendikbud)

Setiap tanggal 1 Juni diperangati sebagai hari lahir Pancasila dan telah ditetapkan sebagai hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016. Peringatan hari lahir Pancasila bukan hanya kegiatan seremonial rutin, namun ini menjadi momen yang sangat sakral untuk menandai lahirnya dasar negara Indonesia yang mampu mempersatukan keberagaman di nusantara.

Pancasila dikenal dengan istilah Philosofische Grondslag, sebuah pandangan hidup dalam berbangsa dan bernegara serta sebagai dasar teori untuk menyusun suatu negara.

Tak ada yang bisa menyangkal bahwa Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara Indonesia yang sudah final, para founding father’s kita lebih dahulu bersepakat kalau hanya ideologi Pancasila-lah yang cocok untuk bangsa Indonesia.

Lewat pidato Ir. Soekarno dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tanggal 1 Juni 1945, telah memberikan angin segar kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa Pancasila merupakan prinsip hidup berbangsa dan bernegara.

Usulan Soekarno yang menjadikan Pancasila sebagai dasar negara sangat relevan dari pertanyaan ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat. Kenapa Indonesia ingin merdeka? Dan apa dasar Indonesia merdeka?

Dengan gaya kharismatik dan penjelasan yang sistematis, Pancasila yang diusulkan Soekarno disepakati oleh seluruh peserta sidang dengan 5 butir sila sebagai dasar negara Indonesia merdeka.

Pancasila sebagai jiwa nasional seluruh rakyat Indonesia

Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup berbangsa dan bernegara, maka nilai-nilai yang dikandungnya mesti menjadi pegangan hidup bagi seluruh rakyat Indonesia. Bahkan menjadi tanggung jawab semua pihak untuk dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari untuk menjawab tantangan zaman.

Pancasila merupakan sebuah ideologi yang dinamis, bukan hanya sebagai jargon museum mati. Apalagi jika sampai menjadikan Pancasila sebagai alat untuk melonggarkan status quo dan praktik nepotisme.

Mengenai nilai Pancasila yang dikandungnya tentu tidak bisa diragukan lagi, namun terkadang nilai praktiknya justru tidak memberikan solusi dalam berbagai problem sosial. Kerap kali kita menemukan orang mengaku Pancasilais, namun ucapan dan tindakan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. Lalu, apa artinya kalau begitu?

Memaknai Pancasila di era digital

Di tengah dunia yang semakin terkoneksi dengan teknologi, Pancasila menemukan ruang baru untuk dihidupkan, tidak hanya di podium upacara, tetapi di layar-layar gadget dan ujung jari-jari kita. Kita sedang berada di era digital, di mana nilai-nilai luhur bangsa mampu menjelma dalam bentuk yang relevan, nyata, dan berdaya guna.

Dunai digital hari ini menjadi ruang kehidupan baru, tempat generasi muda untuk untuk tumbuh, belajar, dan bersosialisasi, bahkan membentuk identitas. Namun, ruang ini juga penuh paradoks: di satu sisi menawarkan kemudahan dan koneksi tanpa batas, di sisi lain menyimpan ancaman berupa disinformasi, ujaran kebencian, radikalisme daring, dan krisis etika dalam berkomunikasi.

Maka, refleksi hari lahir Pancasila di era digital bukan hanya sekedar mengenang sejarah semata, tetapi juga menjawab tantangan masa kini, bagaimana Pancasila bisa hadir dan hidup di ruang digital?

Pertama, sila Ketuhanan Yang Maha Esa mengingatkan kita pentingnya etika dalam menggunakan teknologi. Di tengah maraknya informasi, kita dituntut bijak untuk memilih mana informasi yang fakta, dan mana yang fitnah. Sila ini menamkan nilai integritas dan kesadaran moral, agar tidak menjadi penyebar informasi bohong dan kebencian hanya demi viralitas.

Kedua, sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab mengajarkan kita membangun budaya digital yang manusiawi. Empati, sopan santun, dan saling menghargai menjadi norma ketika berinteraksi di media sosial.

Ketiga, sila Persatuan Indonesia menjadi sangat relevan saat ruang digital menjadi medan pertempuran identitas dan ideologi. Polarisasi politik dan konflik SARA sering kali dijadikan alat pemecah belah. Dari sinilah pentingnya menjadikan Pancasila sebagai tali pengikat yang merangkul perbedaan, bukan malah membenturkannya.

Keempat, sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan memberikan kita pengetahuan akan pentingnya berdialog, musyawarah, dan keterbukaan pikiran. Dari sini, media sosial dapat menjadi ruang demokrasi yang sehat.

Kelima, sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia menyoroti kesenjangan digital yang masih nyata. Tidak semua warga nergara memiliki akses yang setara terhadap teknologi dan literasi digital. Maka, memperjuangkan keadilan digital, dari akses internet di pelosok hingga edukasi literasi digital adalah bagian dari mengamalkan Pancasila secara konkret.

Hidup di dunia di mana segala sesuatunya dapat dilakukan dengan “ujung jari”, ada tanggung jawab moral yang melekat di sana. Setiap klik, komentar, dan mengunggah bisa menjadi cerminan nilai yang kita pegang.

Maka dari itu, menjadi warga digital yang Pancasilais berarti menggunakan teknologi untuk membangun, bukan merusak; untuk menyatukan, bukan memecah.

Refleksi hari lahir Pancasila di era digital harus mengarah pada kesadaran: bahwa nilai-nilai luhur bangsa tidak akan pernah ketinggalan zaman jika kita terus mau menghidupkannya dalam konteks masa kini. Pancasila bukan milik masa lalu, melainkan modal besar dan penuntun hidup bagi semua pihak hingga akhir zaman.

Budi Prathama