Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Christina Natalia Setyawati
Raja Ampat (Pixabay/blackinkstudio07)

Raja Ampat, gugusan pulau di ujung barat laut Papua Barat Daya yang diakui dunia sebagai surga bawah laut dengan keanekaragaman hayati laut yang tak tertandingi, kini menghadapi dilema serius yang berpotensi mengancam eksistensinya, yaitu pertambangan nikel.

Isu ini bukanlah kabar baru; benih-benih kekhawatiran sudah muncul bertahun-tahun lalu seiring terkuaknya informasi mengenai konsesi izin usaha pertambangan (IUP) di beberapa pulau Raja Ampat, khususnya Pulau Gag

Sejarahnya, potensi nikel di Pulau Gag telah teridentifikasi sejak era kolonial, namun kegiatan eksplorasi dan eksploitasi besar-besaran baru mengemuka pada awal tahun 2000-an seiring meningkatnya permintaan nikel global.

Kala itu, beberapa perusahaan pertambangan mulai mengajukan permohonan IUP, dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM) secara resmi memperoleh konsesi di Pulau Gag.

Meskipun secara geografis Pulau Gag berada di wilayah Raja Ampat, statusnya yang sempat menjadi bagian dari Kabupaten Sorong memicu kerancuan administratif dan resistensi kuat dari masyarakat lokal serta pegiat lingkungan yang menyoroti potensi dampak terhadap ekosistem Raja Ampat yang sangat rentan. 

Pada periode ini, status Raja Ampat sebagai Kawasan Konservasi Perairan Daerah (KKPD) dan kemudian diakui sebagai World Heritage Site Tentative List oleh UNESCO semakin memperkuat argumen penolakan terhadap aktivitas pertambangan, mengingat adanya tumpang tindih area konsesi tambang dengan wilayah konservasi yang menjadi poin krusial perdebatan.

Berbagai organisasi masyarakat sipil, pemerhati lingkungan, dan tokoh adat pun secara aktif menyuarakan penolakan mereka, menyoroti ancaman nyata terhadap ekosistem laut, terumbu karang, spesies endemik, serta mata pencarian masyarakat lokal yang sangat bergantung pada sektor pariwisata dan perikanan.

Hingga saat ini, perdebatan seputar pertambangan nikel di Raja Ampat, khususnya di Pulau Gag, masih terus bergulir tanpa henti.

Meskipun tekanan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat internasional, cukup kuat, keberadaan IUP yang telah diterbitkan tetap menjadi dasar bagi potensi kegiatan eksplorasi atau eksploitasi di masa mendatang.

PT ANTAM diketahui memiliki konsesi pertambangan nikel di Pulau Gag dan telah melakukan beberapa kegiatan eksplorasi awal. 

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (Antam), PT Gag Nikel (PT GN) dan ketiga perusahaan lain, PT Anugerah Surya Pratama (PT ASP), PT Mulia Raymond Perkasa (PT MRP), dan PT Kawei Sejahtera Mining (PT KSM) melakukan pelanggaran serius terkait lingkungan dalam aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. P

elanggaran yang dimaksud terkait aktivitas pertambangan yang dilakukan di pulau kecil dan tanpa manajemen lingkungan serta pengelolaan air limbah larian.

Pihak berwenang dan perusahaan kerap kali menyatakan komitmen mereka untuk menerapkan standar pertambangan yang ketat dan ramah lingkungan, tetapi bagi masyarakat dan pegiat lingkungan, ancaman inheren dari pertambangan terhadap ekosistem sensitif Raja Ampat tetap menjadi perhatian utama.

Kebijakan pemerintah pusat yang terus mendorong hilirisasi nikel di Indonesia memang memberikan dorongan bagi industri pertambangan, tetapi pemerintah daerah di Raja Ampat juga dihadapkan pada dilema besar antara potensi pendapatan daerah yang menggiurkan dan keharusan untuk melindungi lingkungan yang merupakan daya tarik utama pariwisata mereka.

Isu tumpang tindih antara wilayah konservasi dan izin pertambangan masih menjadi perhatian serius, menekankan pentingnya harmonisasi regulasi dan penegasan batas-batas wilayah untuk menyelesaikan konflik yang berlarut-larut ini.

Meskipun secara ekonomi pertambangan nikel menjanjikan keuntungan yang signifikan, potensi dampak negatif jangka panjangnya terhadap Raja Ampat jauh lebih besar dan sulit dipulihkan, bahkan bisa dibilang tak tergantikan.

Pertama dan yang paling utama, adalah kerusakan ekosistem laut yang tidak dapat diperbaiki. Kegiatan pertambangan, khususnya nikel, sering kali melibatkan pembukaan lahan besar-besaran dan pembuangan limbah tailing yang, meskipun dikelola, tetap memiliki potensi kebocoran atau rembesan ke laut.

Hal ini dapat mencemari perairan secara masif, merusak terumbu karang yang merupakan fondasi kehidupan laut Raja Ampat, menghancurkan padang lamun, dan mengancam habitat penting bagi ribuan spesies laut endemik.

Kerusakan ini tidak hanya menghilangkan keanekaragaman hayati yang tak ternilai, tetapi juga mengancam mata rantai makanan laut dan siklus ekologis yang rapuh, yang pada akhirnya akan meruntuhkan seluruh sistem kehidupan di sana. 

Kedua, ancaman serius terhadap pariwisata berkelanjutan yang menjadi tulang punggung ekonomi Raja Ampat. Industri pariwisata Raja Ampat, khususnya pariwisata bahari, sangat bergantung pada keindahan dan kesehatan ekosistem lautnya yang bersih dan terjaga.

Pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat pertambangan akan secara langsung membunuh daya tarik pariwisata, yang pada akhirnya akan menghancurkan ekonomi lokal yang telah dibangun dengan susah payah di sekitar sektor ini, menyebabkan ribuan pekerja di sektor pariwisata kehilangan mata pencarian. 

Ketiga, ada kontribusi terhadap perubahan iklim dan peningkatan risiko bencana lingkungan. Pembukaan hutan untuk pertambangan juga berkontribusi pada deforestasi, yang mengurangi kemampuan bumi menyerap karbon dioksida dan memperburuk dampak perubahan iklim global.

Selain itu, kegiatan penambangan dapat meningkatkan risiko erosi, tanah longsor, dan banjir, terutama di wilayah kepulauan dengan topografi yang rentan terhadap fenomena alam tersebut. 

Keempat, dampak sosial dan budaya yang mendalam terhadap masyarakat lokal. Masuknya industri pertambangan skala besar dapat mengubah struktur sosial dan budaya masyarakat secara drastis.

Konflik lahan, pergeseran nilai-nilai tradisional, dan ketergantungan pada ekonomi ekstraktif dapat mengikis kearifan lokal dan kohesi sosial yang telah terbangun selama berabad-abad. 

Terakhir, ada ketergantungan pada sumber daya tak terbarukan yang menciptakan kerentanan ekonomi jangka panjang. Meskipun memberikan keuntungan ekonomi jangka pendek yang instan, ketergantungan pada sumber daya mineral tak terbarukan seperti nikel menciptakan masa depan ekonomi yang tidak pasti.

Ketika cadangan habis, wilayah tersebut akan menghadapi masalah ekonomi dan lingkungan yang jauh lebih parah, tanpa adanya alternatif berkelanjutan yang dapat menopang kehidupan masyarakat.

Isu pertambangan nikel di Raja Ampat adalah contoh klasik dari dilema abadi antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan.

Mempertimbangkan nilai tak ternilai dari keanekaragaman hayati Raja Ampat dan potensi kerugian jangka panjang yang tidak dapat diubah, keputusan terkait masa depan wilayah ini perlu diambil dengan sangat hati-hati, mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian lingkungan untuk generasi mendatang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati