Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Ridho Hardisk
Ilustrasi penggunaan Paylater (Unsplash/Blake Wisz)

Di tengah iklim ekonomi yang penuh ketidakpastian, generasi muda Indonesia tampaknya menemukan jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya: PayLater.

Sekilas terdengar praktis, tak perlu punya dana penuh, cukup klik "Bayar Nanti", dan voila! Barang impian pun bisa langsung dimiliki. Tapi di balik kemudahan itu, ada fenomena yang layak kita kritisi. Apakah kebiasaan “mencicil bahagia” ini akan jadi solusi, atau justru menjerat?

PayLater Jadi Jalan Pintas Finansial?

Menurut survei Katadata bersama Kredivo tahun 2024, Gen Z dan milenial menjadi pengguna utama PayLater. Sekitar 59% dari mereka mengaku menggunakan layanan ini untuk membantu mengatur arus kas, sementara sebagian lainnya memanfaatkannya karena uang yang tersedia tidak cukup.

Bahkan, 48% dari responden menggunakannya untuk keperluan rutin seperti makanan, pulsa, atau transportasi harian. Fenomena ini tidak sekadar bicara tentang gaya konsumsi, tapi lebih dalam: ini bicara soal relasi anak muda dengan rasa aman finansial yang kian menipis.

Dengan harga kebutuhan pokok dan gaya hidup yang terus naik, PayLater bukan sekadar opsi, melainkan dianggap sebagai “penyelamat darurat”.

Menariknya, survei dari Populix pada 2023 menyebutkan bahwa 82% pengguna PayLater mencicil di bawah satu juta per bulan. Terlihat ringan, ya? Tapi coba kumpulkan total cicilan dari berbagai platform. Banyak anak muda yang akhirnya terjebak dalam siklus pinjam untuk bayar cicilan.

Dalam forum-forum diskusi seperti Reddit Indonesia, tak jarang mahasiswa curhat soal beban mental akibat tagihan PayLater yang menumpuk, bahkan ada yang harus meminjam lagi untuk menutup utang sebelumnya. Ironisnya, kebiasaan ini kadang justru dimulai dari pembelian-pembelian kecil seperti skincare, boba, atau tiket konser.

Di sinilah istilah “cicil bahagia” menjadi paradoks. Apakah benar kita membeli kebahagiaan, atau hanya menunda kecemasan?

Ketika “Merasa Mampu” Jadi Ilusi Digital

Munculnya PayLater menciptakan ilusi stabilitas yang tidak nyata. Kita merasa "kuat" karena bisa membeli saat ini dan membayar kemudian. Di platform sosial, gaya hidup "healing" melalui perjalanan singkat dan produk bermerek tampak menjadi tolok ukur.

Kita juga tergerak untuk meraih semuanya, meskipun dengan menggunakan pinjaman. Fenomena ini menunjukkan bagaimana tekanan sosial dan budaya belanja memengaruhi pilihan keuangan.

Selain itu, platform e-commerce dan aplikasi digital semakin cerdas dalam memahami perilaku kita. Algoritma dirancang untuk mendorong kita lebih impulsif, lebih sering melakukan check out, dan tentu saja, lebih sering menggunakan PayLater.

Masalahnya bukan pada teknologinya, tapi pada pola pikir yang terbentuk. Ketika berutang untuk kebutuhan primer, mungkin itu soal bertahan hidup. Tapi ketika utang dipakai demi validasi sosial atau memenuhi ekspektasi gaya hidup, maka kita sedang bermain di jurang tipis antara kebebasan dan keterikatan.

Sayangnya, kesadaran literasi keuangan di kalangan Gen Z masih belum seimbang dengan akses mereka terhadap teknologi keuangan. Banyak dari mereka yang tidak memahami bunga, penalti, atau risiko gagal bayar. Padahal, histori utang bisa berdampak panjang, bahkan memengaruhi kemampuan akses terhadap kredit seperti KPR atau KTA di masa depan.

PayLater mungkin membantu di saat genting. Tapi apakah ia membuat kita makin bijak secara finansial? Atau justru membentuk generasi yang mahir menunda realitas dan hidup dari “bayar bulan depan”?

Artikel ini tidak dimaksudkan untuk menghakimi. Justru sebaliknya, ini ajakan untuk kita merenungi pilihan finansial kita. Kalau benar kita “mencicil bahagia”, pastikan jangan sampai kita juga mencicil beban mental yang tak terlihat.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS 

Ridho Hardisk