Scroll untuk membaca artikel
Hayuning Ratri Hapsari | Djoko ST
Ilustrasi aktivitas di kawasan pertambangan. (Unsplash/Dominik Vanyi)

Dalam beberapa tahun terakhir ini, Indonesia menjadi salah satu primadona dalam produksi nikel. Sumber daya alam ini menjadi kunci dalam transisi global menuju energi hijau, khususnya dalam pembuatan baterai kendaraan listrik.

Pemerintah kita pun gencar mendorong hilirisasi nikel, termasuk pelarangan ekspor bijih mentah. Tujuannya mulia yakni meningkatkan nilai tambah, membuka lapangan kerja, dan menjadikan Indonesia pemain global dalam rantai pasok industri baterai.

Namun, di balik hal tersebut, ada konsekuensi ekologis yang mulai menampakkan wajahnya. Di beberapa wilayah penghasil nikel, banjir bandang dan longsor kian sering terjadi, terutama di Sulawesi dan Halmahera.

Banjir sesungguhnya bukanlah fenomena baru, tetapi frekuensinya meningkat signifikan dalam dekade terakhir. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, Sulawesi Tengah mengalami lebih dari 150 kejadian banjir dan longsor sejak 2018, banyak di antaranya berada dekat kawasan tambang.

Pertanyaannya adalah: apakah ada korelasi antara aktivitas pertambangan nikel dengan peningkatan risiko banjir?

Mengubah tutupan vegetasi

Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pembukaan lahan dalam skala besar, termasuk untuk keperluan tambang, bakal langsung mengubah tutupan vegetasi yang berperan menahan air dan mencegah erosi. Nah, ketika vegetasi hilang, maka air hujan langsung mengalir ke permukaan, membawa serta material tanah.

Teori Land Use Change Hydrology (LUCH) menjelaskan bahwa perubahan tata guna lahan, terutama deforestasi dan pertambangan, berdampak langsung pada pola aliran air permukaan dan kapasitas resapan tanah.

Organisasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan melaporkan bahwa sejak 2009 hingga 2020, sekitar 41.000 hektare tutupan hutan di wilayah ini telah beralih fungsi akibat aktivitas tambang nikel.

Adapun Forest Watch Indonesia (FWI) mencatat bahwa dalam rentang 2017-2021, deforestasi di pulau-pulau kecil mencapai 318.600 hektare, dengan 13.100 hektare di antaranya terjadi di dalam konsesi tambang.

Masalahnya, tambang nikel tidak hanya melibatkan pembukaan lahan secara masif, tetapi juga menghasilkan limbah padat seperti overburden (lapisan tanah penutup) dan sisa material (tailing). Jika tidak ditangani dengan baik, kedua limbah padat ini dapat menyumbat aliran sungai atau terbawa hujan ke pemukiman.

Kajian yang dilakukan oleh LIPI (kini BRIN) pada 2021 menemukan bahwa sedimentasi di sungai-sungai sekitar Morowali meningkat hingga 4 kali lipat dibanding kondisi sebelum tambang beroperasi.

Dampak lainnya adalah perubahan kualitas air. Lumpur dan logam berat yang terbawa ke sungai dapat mencemari sumber air masyarakat. Ini mengancam kesehatan dan keamanan pangan lokal.

Ironisnya, banyak dari kawasan terdampak adalah kampung nelayan dan petani kecil yang tidak menikmati langsung manfaat ekonomi dari industri nikel.

Tak bergigi

Pemerintah memang telah menerapkan dokumen AMDAL sebagai prasyarat operasional tambang. Namun, pengawasan terhadap implementasinya sering kali tak bergigi. Laporan Walhi menyebut hanya 30 persen dari tambang nikel di Sulawesi yang benar-benar mematuhi ketentuan reklamasi dan revegetasi lahan.

Di sisi lain, kita tidak bisa memungkiri bahwa industri nikel memberi kontribusi besar terhadap produk domestik bruto (PDB) dan ekspor nasional kita. Nilai ekspor nikel olahan Indonesia mencapai USD 33 miliar pada 2023, meningkat lebih dari 10 kali lipat dalam lima tahun terakhir.

Namun seperti dikatakan Joseph Stiglitz (2006), penerima Nobel Ekonomi, pertumbuhan ekonomi yang tidak inklusif dan tidak berkelanjutan akan menciptakan apa yang diistilahkan sebagai “kutukan sumber daya”.

Dalam konteks ini, maka Indonesia tampaknya menghadapi dilema klasik yaitu antara memacu pertumbuhan ekonomi dan menjaga keberlanjutan lingkungan.

Oleh sebab itu, sebuah pendekatan yang disebut sebagai environmental justice sangat perlu dipertimbangkan. Konsep ini menuntut distribusi yang adil atas dampak lingkungan, sehingga masyarakat lokal tidak menjadi korban pembangunan nasional.

Keterlibatan komunitas adat

Di banyak negara, pengelolaan tambang dilakukan melalui skema berbasis komunitas dan ekoregion. Finlandia dan Kanada, misalnya, mensyaratkan keterlibatan komunitas adat dan pemberlakuan zona larangan tambang di daerah resapan.

Indonesia pun sesungguhnya punya peluang untuk mengembangkan model serupa. Namun, tentu saja dibutuhkan kemauan politik, transparansi, dan reformasi tata kelola sektor tambang.

Salah satu langkah awal adalah bagaimana memperkuat pemetaan risiko lingkungan secara spasial, dan menjadikannya syarat mutlak dalam pemberian izin tambang.

Teknologi seperti penginderaan jarak jauh dan big data dapat digunakan untuk memantau degradasi hutan, sedimentasi sungai, serta emisi dari aktivitas pertambangan secara real time.

Di sisi lain, perlu juga membangun insentif bagi perusahaan yang benar-benar mengimplementasikan model pertambangan hijau. Sertifikasi lingkungan yang kredibel, seperti ISO 14001 atau IRMA (Initiative for Responsible Mining Assurance), bisa menjadi acuan.

Pemerintah juga harus mempertegas sanksi terhadap pelanggaran lingkungan. Denda administratif dan pencabutan izin harus dijalankan secara konsisten, bukan hanya simbolik maupun gertak sambal.

Yang tak kalah pentingnya yaitu masyarakat lokal harus dilibatkan sejak awal dalam proses perencanaan, pemantauan, dan evaluasi proyek tambang. Partisipasi ini bukan hanya hak, melainkan kebutuhan untuk mencegah konflik sosial dan degradasi ekologis.

Tanpa upaya-upaya tersebut, kita hanya akan terus menyaksikan sebuah ironi pembangunan di mana tanah kita digali demi masa depan hijau dunia, tetapi masyarakat lokal kita justru tenggelam dalam lumpur dan banjir.

Karenanya, transisi menuju pertambangan yang berkelanjutan bukan sekadar tuntutan global, melainkan panggilan moral bagi kita semua. Tidak cukup hanya mengejar target produksi atau meraih investasi, kita harus memastikan pula bahwa setiap ton mineral yang diangkat dari negeri ini tak dibarengi dengan munculnya luka sosial dan kehancuran ekologis. 

Masa depan hijau dunia tidak boleh dibangun di atas reruntuhan kampung-kampung kita. Saatnya menambang dengan hati nurani, dengan keberpihakan yang jelas. Keberpihakan kepada lingkungan, kepada keadilan, dan kepada generasi mendatang.

Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS

Djoko ST