Di tengah pesatnya perkembangan media sosial, muncul fenomena baru dalam pola konsumsi masyarakat, terutama generasi muda.
Salah satunya adalah munculnya istilah FOLU (Fear of Losing Out), rasa takut ketinggalan momen atau kehilangan kesempatan untuk memiliki sesuatu yang sedang viral. Fenomena ini semakin diperkuat oleh kehadiran fitur belanja online seperti TikTok Shop.
TikTok Shop memungkinkan pengguna langsung berbelanja produk yang sedang populer dalam waktu singkat. Banyak konten yang dirancang untuk memicu emosi pembelian impulsif, sehingga membuat pengguna merasa harus segera membeli suatu barang meski tidak direncanakan sebelumnya. Dalam banyak kasus, apa yang dibeli ternyata tidak benar-benar dibutuhkan.
Menurut Psychology Today (2021), FOLU merupakan bentuk kecemasan sosial yang dipicu oleh paparan konten media sosial secara intensif. Kondisi ini membuat seseorang merasa harus selalu terhubung dan mengikuti tren agar tidak dianggap ketinggalan informasi atau kalah eksis dari orang lain.
Pola perilaku ini sangat rentan terjadi pada anak muda yang akrab dengan platform digital. Mereka cenderung lebih mudah terpengaruh oleh influencer, ulasan singkat, atau video unboxing yang menampilkan produk tertentu sebagai wajib dimiliki.
Akibatnya, dompet menjadi lebih cepat kosong, lemari penuh dengan barang tak terpakai, dan tabungan pun terkuras. Bahkan, beberapa orang mulai mengalami tekanan psikologis akibat penyesalan setelah membeli barang yang ternyata tidak bermanfaat baginya.
Untuk menghindari hal tersebut, penting bagi kita semua untuk meningkatkan literasi finansial dan kesadaran akan pola konsumsi. Mengatur anggaran harian, menghindari scroll tanpa tujuan, serta mempertimbangkan manfaat sebuah produk sebelum membeli bisa menjadi langkah awal yang baik.
Selain itu, edukasi tentang FOLU juga perlu diperkenalkan sejak dini, baik melalui lingkungan keluarga maupun sekolah. Dengan memahami psikologi di balik dorongan membeli barang, kita bisa lebih mudah mengendalikan kebiasaan konsumtif yang berlebihan.
Saat ini, membeli barang sudah bukan sekadar soal kebutuhan, melainkan juga bentuk ekspresi diri, gaya hidup, bahkan kecemasan sosial. Banyak dari kita yang tanpa sadar terjebak dalam pola konsumsi impulsif karena pengaruh media sosial, terutama platform seperti TikTok Shop yang memicu munculnya rasa FOLU (Fear of Losing Out), rasa takut ketinggalan tren atau momen tertentu.
Padahal, tidak semua produk yang sedang viral benar-benar bermanfaat bagi kita. Ada banyak faktor yang membuat suatu barang menjadi populer di media sosial, seperti strategi pemasaran yang cermat, ulasan singkat dari influencer, atau efek visual yang menarik. Namun, hal-hal ini sering kali membuat kita lupa untuk bertanya: “Apakah saya benar-benar membutuhkannya?"
Selain itu, apa yang disukai atau dibeli oleh orang lain belum tentu cocok untuk kita. Setiap individu memiliki preferensi, kebutuhan, serta kondisi finansial yang berbeda. Mengikuti tren secara membabi buta hanya akan menguras dompet dan menyisakan penyesalan. Belum lagi jika produk tersebut ternyata tidak sebagus yang digambarkan, atau bahkan tidak aman untuk digunakan.
Oleh karena itu, penting untuk membangun kesadaran bahwa tidak ikut-ikutan belanja bukan berarti ketinggalan zaman. Sebaliknya, itulah cara kita menjaga kesehatan mental dan finansial. Kita punya hak untuk memilih, menahan diri, dan fokus pada apa yang benar-benar memberikan nilai bagi hidup kita. Jadilah konsumen yang cerdas, bukan korban dari algoritma media sosial.
Jadi, mulailah membiasakan diri untuk berpikir dua kali sebelum membeli. Gunakan logika, pertimbangkan manfaat, dan jangan biarkan rasa takut ketinggalan mengendalikan keputusan kita. Karena pada akhirnya, kepuasan sejati bukanlah dari memiliki barang yang sama dengan orang lain, tetapi dari membuat pilihan yang tepat untuk diri sendiri.
Mari lebih bijak dalam berbelanja. Tidak semua yang viral layak dibeli, dan tidak semua yang disukai orang lain cocok untuk kita. Jangan sampai rasa takut ketinggalan justru membawa kita pada kerugian besar.
Cek berita dan artikel lainnya di GOOGLE NEWS
Baca Juga
-
Desain Kebijakan yang Lemah: Pelajaran dari Program Makan Bergizi Gratis
-
Eco-Friendly Lifestyle: Hidup Sehat dengan Peduli Sampah Elektronik
-
Tari Kontemporer Berbalut Kesenian Rakyat: Kolaborasi Komunitas Seni Jogja
-
Fenomena Klithih di Jogja: Masalah dan Solusi dari Perspektif Generasi Muda
-
Underemployment Generasi Muda: Bekerja tapi Belum Sejahtera
Artikel Terkait
-
Lagi Disorot Isu Monopoli, Tokopedia dan TikTok Shop Resmi Gabungkan Fitur Seller Center
-
KPPU Ungkap Potensi Monopoli Tokopedia-TikTok, Harga Barang Terancam Naik dan Rugikan UMKM
-
Menteri UMKM Pastikan Bakal Awasi Peralihan Penjualan Tokopedia-Tiktok Shop
-
Integrasi Tokopedia-TikTok Shop Dorong UMKM Naik Kelas di Tengah Perlambatan Ekonomi
-
Ratusan Karyawan TikTok Shop dan Tokopedia Masuk Radar PHK
Kolom
-
FOMO Membaca: Ketika Takut Ketinggalan Justru Membawa Banyak Manfaat
-
Ketupat Pecel dan Keragaman Rasa yang Menyatukan Keluarga di Hari Raya Lebaran
-
Viral dan Vital: Memaknai Ulang Nasionalisme dalam Pendidikan Digital
-
Pantai Teluk Asmara: Miniatur Raja Ampat yang Sama-Sama Tersakiti
-
Sepiring Nasi Telur di Pagi Hari: Sesuap Ungkapan Bisu Kasih Sayang Ibu
Terkini
-
Kembali Dibintangi David Harbour, Film Violent Night 2 Tayang pada Desember 2026
-
Ludes Terjual, Konser G-Dragon di Jakarta Tambah Hari pada 25 dan 26 Juli
-
Resmi Comeback, ATEEZ Ungkap Momen Seru di Balik Produksi GOLDEN HOUR Part 3
-
Anti Ribet, Ini Cara Kalibrasi Warna Monitor Secara Manual Buat Desain Grafis
-
Cozy tapi Tetap Edgy, 4 Ide OOTD ala Annie ALLDAY PROJECT yang Patut Dicoba