Scroll untuk membaca artikel
Ayu Nabila | Oktavia Ningrum
Bandara Husein Sastranegara (DocPribadi/Januar)

Bayangkan tahun 2018, turis asal Malaysia ke Bandung bisa mencapai 10.000 orang per bulan. Ya, per bulan dan hanya dari satu negara. Angka ini bukan bualan; itu fakta dari data pariwisata yang tercatat sebelum kebijakan menutup Bandara Husein Sastranegara.

Sekarang, mari tengok kondisi terbaru. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang tahun 2024, total kunjungan turis asing ke Bandung hanya 37.000 orang. Ini sudah dari seluruh negara, bukan Malaysia saja. Artinya, penurunan drastis terjadi. Lalu pertanyaannya: apa yang berubah?

Jawabannya sederhana dan terang-benderang: Bandara Husein ditutup untuk penerbangan komersial. Bandara kecil yang dulu jadi pintu masuk utama wisatawan ke jantung kota Bandung kini dipaksa tidak beroperasi untuk umum, dan semua penerbangan dialihkan ke Bandara Kertajati, Majalengka.

Masalahnya? Lokasi Kertajati terlalu jauh. Jauh dari pusat kota, jauh dari daya tarik utama wisata Bandung, dan sangat tidak praktis bagi wisatawan luar negeri yang ingin kunjungan singkat tapi padat.

Dulu, turis dari Kuala Lumpur bisa naik pesawat jam 7 pagi, sampai di Bandung jam 9 kurang, ngopi di Dago, lihat Tangkuban Perahu, kulineran di Asia Afrika, belanja di Pasar Baru, dan kembali ke KL malam harinya. Semua bisa dalam satu hari. Cepat, murah, dan nyaman.

Sekarang? Mereka harus terbang ke Jakarta atau ke Kertajati, lalu menempuh perjalanan darat yang memakan waktu 3–5 jam. Buat wisatawan yang hanya punya waktu akhir pekan, opsi ini langsung gugur. Dan Bandung pun perlahan-lahan kehilangan tempat di peta wisata regional.

Bandara Husein itu kecil, tapi strategis. Dekat kota, gampang diakses dengan angkot, ojek, atau taksi. Dan itu disuarakan sendiri oleh masyarakat. Seperti dalam ulasan Google Maps dari seorang pengguna bernama Daniel Wijaya, ia menulis:

Come on governor, mayor or someone up there, please hurry up open again this airport. Kertajati is way too far and inconvenient. Husein is the best, albeit small and in the center of dense settlement, it is really easy to access. Just need to call taxi or by using public transport a.k.a. angkot.”

Pernyataan ini bukan suara tunggal. Banyak pelaku usaha, sopir travel, pemandu wisata, hingga pedagang oleh-oleh di Bandung yang merasakan dampak langsung. Mereka tidak butuh teori besar. Yang mereka tahu: dulu turis rame, sekarang sepi. Dulu gampang dijangkau, sekarang sulit.

Sayangnya, para pembuat kebijakan sering mengabaikan suara-suara kecil ini. Mereka bicara soal efisiensi dan konsolidasi, padahal yang mereka abaikan adalah denyut ekonomi rakyat kecil.

Penerbangan bukan cuma soal pesawat lepas landas dan mendarat. Ia adalah urat nadi pariwisata. Dan Bandung, tanpa akses langsung dan praktis, kehilangan daya tariknya di mata wisatawan regional. Coba saja bandingkan geliat Bandung era 2015–2018 dan sekarang. Perbedaannya terasa bahkan di jalanan.

Lucunya, alasan penutupan Husein banyak dibungkus dengan narasi “keselamatan”, “tidak cocok untuk pesawat besar”, hingga “bandara militer dan sekolah penerbang”. Padahal selama bertahun-tahun, penerbangan komersial aman-aman saja. Dan siapa bilang semua turis butuh pesawat jet besar? Malaysia, Singapura, Brunei—pasar utama Bandung—cukup dengan Boeing kecil atau Airbus seri ringan.

Ini bukan soal "baper", ini soal keputusan yang menghancurkan ekosistem ekonomi lokal. Sopir travel, pemandu wisata, pemilik toko oleh-oleh, tukang bajaj, pelaku UMKM—semua terdampak langsung. Dan mereka merasakannya sejak Husein “dipaksa” pensiun dini.

Mau bukti? Coba tanya saja ke para pelaku industri pariwisata lokal. Mereka akan bilang: turis itu dulu ramai. Dan bukan sekadar ramai, tapi rutin. Karena akses mereka mudah. Dan saat akses itu dimatikan, Bandung pun ditinggalkan.

Kita tidak perlu gelar profesor untuk memahami ini. Tutup bandara, turis pergi. Buka akses, turis datang. Sesederhana itu. Dan ketika pemerintah gagal memahami logika dasar ini, maka yang mereka tutup bukan hanya bandara—tetapi juga pintu rezeki bagi ribuan warga Bandung yang bergantung pada wisata.

Saat ini, yang dibutuhkan bukan pembelaan teknis yang tak meyakinkan. Tapi kemauan untuk membuka mata dan mengakui kesalahan kebijakan. Saatnya buka mata, akui kesalahan, dan ambil tindakan nyata.

Bandung pantas punya bandara kota seperti Husein. Bukan hanya karena efisiensi, tapi karena itulah denyut hidup pariwisata kita. Karena jika tidak, bukan hanya pariwisata yang mati—tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Oktavia Ningrum