Akhir-akhir ini fenomena pernikahan sederhana makin populer di kalangan Gen Z, bahkan diikuti juga oleh sebagian generasi milenial.
Dibandingkan melangsungkan prosesi pernikahan dengan cara yang glamor, mereka justru memilih menikah secara sederhana di Kantor Urusan Agama (KUA).
Tanpa dekorasi yang mewah, hanya mengundang keluarga dan orang-orang terdekat, namun tetap sakral dan intim menjadi salah satu alasan mengapa tren menikah di KUA kian digemari.
Di antara sorotan ingar bingar media sosial soal pernikahan yang meriah, sebagian pasangan muda mudi Gen Z justru berani tampil kontras. Mereka tak ragu membagikan momen bahagia dalam balutan kesederhanan lewat foto-foto pernikahan di depan gedung KUA.
Meski begitu, pilihan ini tidak serta merta mengurangi makna pernikahan. Sebaliknya, fenomena menikah di KUA justru dinilai sebagai tren positif serta menunjukkan perubahan gaya hidup dan pergeseran persepsi tentang esensi pernikahan itu sendiri.
Ada beberapa alasan utama mengapa pernikahan di KUA lantas digandrungi para Gen Z, salah satu alasan utamanya adalah efisiensi biaya pernikahan.
Tidak mau menutup fakta bahwa melangsungkan serangkaian prosesi pernikahan pasti membutuhkan biaya yang begitu besar, mulai dari sewa gedung, dekorasi, make up dan busana, catering, bahkan mempelai pun terkadang harus memikirkan buah tangan untuk para tamu undangan.
Masalah yang paling dasar bukan terletak pada perencanaannya, namun biaya hidup yang tidak kalah bengkak dari sekadar kebutuhan pesta.
Menikah di KUA pun jadi pilihan yang paling make sense, bahkan tepat karena dinilai bisa menekan anggaran pesta. Terlebih saat mempelai melaksanakan pernikahan langsung di kantor KUA pada hari kerja, maka mereka tidak perlu mengeluarkan biaya alias gratis.
Dana sekian puluh atau ratusan juta yang tadinya akan digunakan sebagai biaya pesta pun bisa dialokasikan ke kebutuhan lain, seperti tabungan rumah tangga, membeli rumah, atau bahkan rencana anggaran pendidikan anak. Pada intinya, dana yang sangat banyak itu bisa digunakan untuk keperluan yang lebih penting.
Selain soal biaya, Gen Z telah membangun esensi pernikahan yang berbeda dari generasi sebelumnya. Pernikahan tidak lagi dipandang sebagai ajang unjuk diri dan gengsi, tidak perlu acara yang heboh dengan prosesi adat yang memakan banyak biaya.
Namun, pernikahan dinilai sebagai momen sakral sekaligus gerbang awal membangun kehidupan yang baru. Melaksanakan pernikahan dengan cara sederhana dianggap bisa mengurangi tekanan sosial dan ekspektasi berlebihan dari lingkungan sekitar.
Sementara itu, menikah di KUA juga bisa berlangsung lebih privat. Hanya keluarga inti dan orang terdekat yang akan menghadiri akad mempelai sehingga di hari spesial itu, mempelai lebih banyak menghabiskan waktu dengan orang terkasih.
Kehadiran keluarga merupakan dukungan moral yang paling berarti bagi mempelai serta diharapkan bisa memberi kekuatan positif bagi pengantin baru yang akan mulai mengarungi bahtera kehidupan rumah tangga.
Memilih acara pernikahan yang lebih privat juga berkaitan dengan gaya hidup minimalis yang kerap diidamkan oleh generasi muda. Gen Z cenderung menyukai hal-hal yang praktis dan anti-ribet.
Menikah di KUA memberi kelebihan pada mempelai dan keluarga yang tidak mau repot mengurus vendor, tamu undangan, urusan logistik, dan tetek bengek lainnya yang terkadang bikin ribet.
Di samping itu, pesta pernikahan akan menyita banyak tenaga dan waktu sehingga menikah di KUA merupakan solusi tepat daripada pesta meriah yang membuat lelah.
Fenomena menikah di KUA ala Gen Z ini layak dipandang sebagai tren yang positif. Di tengah gempuran sosial untuk menyelenggarakan pesta pernikahan mewah dan adat yang pakem, Gen Z justru berani mendobrak standar tersebut dan memilih arus hidupnya sendiri.
Kesederhanaan pernikahan tidak lantas menunjukkan bahwa mereka anti dengan tradisi, tetapi menunjukkan pandangan hidup baru dengan nilai-nilai yang diyakini sesuai kondisi pribadi.
Menikah di KUA bukan sekadar pilihan untuk mengurangi pembengkakan biaya, tetapi pernyataan sikap bahwa ada makna yang berarti di balik suatu kesederhanaan.
Menikah bukan ajang tampil mewah, tetapi langkah awal mengarungi kehidupan yang baru. Begitulah fenomena ini bisa turut menghidupkan kembali makna pernikahan yang sesungguhnya.
Baca Juga
-
Ulasan Novel Aksara Sevanya: Drama Hidup Remaja dan Gejolak Cinta Segitiga
-
Ulasan Novel Wesel Pos: Sudut Pandang Unik tentang Hidup Masyarakat Urban
-
Potret Sosial di Balik Kisah Cinta Beda Ormas dalam Novel Kambing dan Hujan
-
Serba-Serbi Kisah Cinta dan Nostalgia di Buku Kumpulan Cerpen Jeruk Kristal
-
Problematika Remaja dalam Bingkai Sepak Bola di Novel Bandar Bola, Cuy!
Artikel Terkait
-
Ngoper Emosi, Ngegolin Bahagia: Futsal di Mata Gen Z Lebih dari Sekadar Olahraga
-
Game Favorit Gen Z Jadi Umpan Percobaan Serangan Siber
-
Bukan Sekadar Tempat Nongkrong, Ini Ruang Kreatif Gen Z di Tengah Hiruk Pikuk Jakarta
-
Dari Ibu Rumah Tangga Jadi Pemimpin Keluarga Bersama PNM Mekaar
-
Okie Agustina Jawab Pertanyaan soal Calon Istri Gunawan Dwi Cahyo, Selingkuhan yang Dulu?
Kolom
-
Kamu Bukan Sekadar Penonton: Saatnya Jadi Suara untuk Alam
-
Janji Negara Menjaga Bumi: Suara Kritis atas Lemahnya Penegakan Hukum
-
Irasional, Letak Indahnya Cinta Orang Tua
-
Film yang Katanya 'Nasionalis' Seharusnya Memuliakan Bahasa
-
Hargai Karya Siswa: Pentingnya Etika Mengelola Konten Digital di Sekolah
Terkini
-
Mulai 5 Jutaan Saja, Inilah 5 Rekomendasi Laptop Editing Terbaik untuk Content Creator
-
Estetik! aespa Kejutkan Fans dengan Teaser Light Stick Resmi Versi Baru
-
The Power of 'Nggak, Makasih': Heroiknya Menolak Sedotan dan Tas Kresek
-
What You Want oleh Cortis: Semangat Raih Mimpi dan Wujudkan Semua Keinginan
-
4 Sheet Mask Calendula, Solusi Praktis Menenangkan Kulit yang Mudah Iritasi