Setiap tahun ajaran baru, pemandangan yang sama selalu berulang. Orang tua sibuk mondar-mandir mengurus dokumen pendaftaran, mempersiapkan anaknya menghadapi tes masuk, hingga mencari informasi sekolah terbaik.
Sebagian besar melakukannya dengan cara yang terhormat—tanpa menyuap, tanpa menitipkan anak lewat jalur belakang. Mereka berjuang sekuat tenaga, dan ketika gagal, tetap legawa. Lagi pula, ada banyak sekolah swasta dengan kualitas yang tak kalah baik.
Saat Sekolah Jadi Ajang Titip-Titipan
Tapi di sisi lain, ada fenomena yang terus menjangkiti dunia pendidikan kita: kecurangan. Setiap tiba masa PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru), suasananya sama: tukang calo berkeliaran, dan beberapa panitia tampak memegang “jalur rahasia” ke sekolah favorit.
Modusnya beragam—dari jalur titipan anggota dewan, memo dari pejabat, hingga suap yang dibungkus dengan embel-embel “biaya pengembangan”. Sebagian besar orang tua dan panitia bekerja jujur, tapi realitasnya banyak jalan tak biasa yang beredar.
UU Pendidikan: Janji Meritokrasi yang Tak Berjalan
UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan bahwa pendidikan adalah hak warga negara dan harus diselenggarakan secara merata dan berkeadilan . Ada prinsip bahwa pendidikan bersifat adil dan tanpa diskriminasi.
Namun praktik tahun ke tahun menunjukkan jurang jauh antara teori dan kenyataan. Syarat PPDB yang dipenuhi secara formal menjadi celah manipulasi. Bayangkan, banyak aturan resmi — sayangnya, ini malah menciptakan peluang praktik tidak adil.
Titip-Titipan Itu Membunuh Kehormatan
Wahai para pemangku jabatan yang terhormat, ketika Anda menitipkan anak, keponakan, atau cucu untuk masuk sekolah lewat jalur khusus, itu sama sekali tidak ada kehormatannya. Anda bukan membantu, tapi merusak sistem dan mencederai keadilan bagi anak-anak lain yang benar-benar berjuang.
Dan untuk partai politik yang kadernya kedapatan bermain seperti ini, bukan sekadar teguran yang dibutuhkan—pecat mereka. Apa susahnya memotong kader model begini dari tubuh partai? Toh, Anda tak akan rugi. Justru, publik akan melihat komitmen Anda terhadap etika dan meritokrasi.
Administrasi yang Rumit Jadi Lahan Kecurangan
Panitia Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) pun seringkali tak luput dari sorotan. Persyaratan administratif yang terlalu berbelit-belit justru membuka peluang bagi “calo sekolah” dan praktik pungli. Syarat yang berlebihan hanya menyulitkan warga biasa dan memberi celah bagi oknum untuk menawarkan “jalan pintas.”
Penyederhanaan Persyaratan: Solusi Logis
Para panitia bisa memulai dari menyederhanakan persyaratan administratif: KK dan KTP cukup, tanpa perlu QR code melekuk atau persyaratan estetik berlebihan. Kemudian verifikasi harus fokus pada:
- Domisili: tidak ada pemalsuan surat atau KK.
- Prestasi: validitas ijazah, sertifikat, atau nilai lomba harus diverifikasi.
- Tes: soalnya adil dan tes dilakukan terbuka, transparan, dan tercatat.
Panitia harus menolak titipan dan suap dengan tegas: “kami di sini demi keadilan, bukan karena amplop.” Ingat, dunia dan akhirat akan meminta pertanggungjawaban
Sekolah Favorit dan Obsesi yang Salah Arah
Fenomena ini juga dipicu oleh obsesi sebagian orang tua untuk memasukkan anak ke sekolah “top”. Mereka berpikir kualitas pendidikan hanya ada di sekolah negeri favorit. Padahal, pendidikan sejati ada pada pola asuh di rumah, karakter anak, dan etika kerja yang dibangun sejak dini.
Orang tua terlalu percaya kalau anak masuk sekolah favorit; maka masa depannya pasti bagus. Tapi pendidikan bukan tentang label, melainkan jenis-asuh, karakter, dan integritas—nilai yang justru jarang diajarkan di sekolah.
Memang benar jika sekolah yang bagus akan memperbesar peluang baik. Fasilitas yang memadai dan akses yang lebih baik dibanding sekolah biasa. Namun, ketika masuk saja sudah lewat jalur curang, apa yang mau diharapkan?
Pendidikan Butuh Etika, Bukan Jalur Belakang
Pendidikan adalah tangga yang seharusnya adil untuk semua. Jika masih ada orang tua yang tergoda jalur titipan, atau panitia yang sengaja membuka jalan bagi suap, maka kita sedang mewariskan sistem yang busuk kepada generasi mendatang.
Mari berhenti menjadikan sekolah sebagai komoditas titipan. Tanamkan integritas sejak rumah, karena anak-anak meniru apa yang kita lakukan.
Baca Juga
-
Kamu Lelah, Aku Juga: Beban Mental Seumur Hidup bagi Perempuan dan Laki-Laki
-
The Academy's Genius Swordsman:Webtoon Aksi yang Bikin Tegang!
-
Dari Air Mata ke Surga Kecil: Makna Cinta di Langit Taman Hati
-
Saat "Bumi Cinta" Naik Layar: Mampukah MD Pictures Menjaga Magisnya?
-
Tutorial Jadi Orang Keren di Buku "Seni Berbicara" Karya Larry King
Artikel Terkait
Kolom
-
Dari PPDB ke SPMB: Apakah Sekadar Ganti Nama?
-
Kamu Lelah, Aku Juga: Beban Mental Seumur Hidup bagi Perempuan dan Laki-Laki
-
Manusia vs Notifikasi: Tradisi Multitasking dan Fokus yang Tak Punya Ruang
-
Zero Waste demi Estetika? Saat Aktivisme Lingkungan Kehilangan Akar Sosial
-
Jempol Lincah, Otak Rebahan: Fenomena Nyinyir Zaman Now
Terkini
-
Kartu Joker Menanti, Alice in Borderland Season 3 Rilis 25 September 2025
-
9 HP Buat Mahasiswa: Budget Pas-pasan, tapi Fitur Gak Kaleng-Kaleng!
-
Erick Thohir Soroti Mental Liga Indonesia All Star saat Lawan Oxford United
-
Kepindahan Struick ke Liga Indonesia, dan Ketakutan Bakal Melekatnya Nasib Pemain Terdahulu
-
Potret Pria 50-an dalam Novel Tube: Menjadi Baik Tak Berarti Berubah Total