Di tengah riuh rendah kampanye politik, TikTok yang dipenuhi konten edukatif setengah matang, dan masyarakat yang sibuk berburu diskon online, ada satu kabar yang sepi sorotan namun bernada nyaring bagi masa depan Indonesia, yaitu defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025 melebar. Bukan hanya melebar, tapi sudah seperti celana kedodoran di pinggang ekonomi nasional.
Pemerintah memperkirakan defisit anggaran akan mencapai Rp 662 triliun atau 2,78% dari Produk Domestik Bruto (PDB), melampaui target semula sebesar Rp 616 triliun (2,53%). Dalam hitungan kasar, angka ini setara dengan puluhan juta ton beras, atau cukup untuk membiayai makan bergizi gratis seluruh siswa Indonesia selama lebih dari satu dekade. Itu pun jika tepat sasaran.
Namun ironinya, anggaran sebesar itu bukan hasil dari perencanaan super matang atau kelebihan pemasukan, melainkan dari paduan penerimaan negara yang melorot dan belanja yang terus melonjak. Ibarat rumah yang dipaksa berdiri dengan pasak yang lebih tinggi dari tiangnya, maka robohnya tinggal menunggu waktu. Dan robohnya bukan soal jika, tapi soal kapan.
Di balik angka-angka makro yang terlihat kaku, terdapat narasi yang lebih hidup, yaitu tentang keanehan struktur fiskal, kebijakan yang tambal sulam, dan kecenderungan untuk selalu mencari jalan pintas daripada membenahi pondasi. Di sinilah kita menapaki kisah ekonomi Indonesia yang semakin tampak seperti sinetron: penuh drama, akting, dan ending yang menggantung.
Ketika Dompet Negara Bocor di Banyak Sisi
Penerimaan negara adalah tumpuan utama untuk menanggung beban belanja pemerintah. Seperti seseorang yang ingin membeli rumah impian, tetapi gaji bulanannya terus terpotong cicilan motor, asuransi, dan sedekah wajib keluarga. Begitu pula kondisi APBN saat ini: target penerimaan pajak dipangkas sebesar Rp 112,4 triliun dari yang semula dirancang. Bukan karena rakyat tiba-tiba miskin massal atau perusahaan semua bangkrut, melainkan karena target yang sejak awal sudah terlalu optimistis, ditambah kebijakan yang tak banyak berubah.
Meski para pembuat kebijakan bersumpah sudah memperluas basis pajak dan mengoptimalkan digitalisasi pajak, nyatanya penerimaan tak sebanding dengan ekspektasi. Rasio pajak terhadap PDB Indonesia masih berada di angka sekitar 10–11%, jauh tertinggal dari rerata negara-negara OECD yang mencapai 33%. Artinya, negara kita memungut pajak dengan tangan kecil untuk membiayai kebutuhan yang besar.
Tak hanya itu, sektor lain yang dulu jadi penyumbang, seperti dividen BUMN, kini mulai dialihkan ke tempat lain—ke Lembaga Pengelola Investasi yang bernama Danantara. Lembaga ini konon katanya akan mengelola investasi negara lebih optimal. Tapi seperti menaruh uang warisan di startup anak teman pejabat, hasilnya belum jelas, risikonya besar, dan yang bertanggung jawab… ya, kita semua.
Pajak barang mewah yang mestinya bisa jadi ladang emas juga belum tergarap maksimal. Jet pribadi, jam tangan mewah, bahkan kapal pesiar, tak semuanya tersentuh PPN secara adil. Di sisi lain, rakyat kecil tetap membayar pajak dari setiap bungkus rokok dan bensin motor bebek mereka. Sebuah ironi fiskal yang tak lekang oleh waktu.
Belanja Negara: Antara Mimpi Indah dan Realitas Anggaran
Di sisi belanja, pemerintah tampaknya tengah mengalami semacam fiscal euphoria. Meskipun sudah dilakukan berbagai efisiensi, total belanja negara tetap membengkak hingga menyentuh Rp 3.527 triliun. Angka ini bukan main-main. Sebagian besar dari belanja ini digunakan untuk menjalankan program-program besar seperti makan bergizi gratis bagi siswa, program ketahanan pangan, hingga berbagai proyek strategis nasional yang terdaftar namun kadang tak tercatat dampaknya.
Program makan bergizi gratis, misalnya, terdengar seperti kebijakan populis yang baik. Namun dalam praktiknya, banyak sekolah di pelosok belum punya kantin, dapur, atau akses bahan makanan yang terjangkau. Tanpa infrastruktur pendukung, program ini bisa jadi hanya menambah anggaran belanja tanpa efek nyata di lapangan.
Demikian pula dengan program ketahanan pangan yang dari waktu ke waktu hanya menjadi ladang konflik antara kementerian, petani, dan pelaku industri. Lahan yang belum siap, distribusi pupuk yang amburadul, serta mafia komoditas yang bermain di belakang layar, membuat anggaran yang digelontorkan lebih banyak habis untuk menangani kegagalan daripada merayakan keberhasilan.
Menurut laporan OECD tahun 2024, belanja sosial yang tidak dikawal oleh akuntabilitas dan efisiensi justru menjadi tekanan fiskal baru. Pemerintah bukan hanya menghabiskan uang, tetapi menimbun risiko yang suatu saat akan meledak seperti bom waktu anggaran.
Utang Negara: Cerita Cinta Beracun dengan Obligasi
Untuk menutup defisit, pemerintah kembali melakukan manuver klasik: memakai Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp 85,6 triliun dan sisanya diambil dari utang. Sayangnya, cerita ini bukan baru. Sejak dua dekade lalu, Indonesia sudah terbiasa hidup dengan utang sebagai bagian dari napas fiskalnya. Kini, beban bunga utang negara sudah mencapai sekitar Rp 450–500 triliun—15% dari keseluruhan APBN.
Tapi yang mengkhawatirkan bukan hanya besaran utangnya, melainkan ketergantungan jangka panjang terhadap surat utang negara (SBN). Investor mulai jengah. Mereka merasa imbal hasil SBN terlalu rendah dibandingkan dengan suku bunga acuan. Maka, pemerintah terpaksa menaikkan bunga agar investor tetap tertarik, padahal ini hanya memperpanjang siksaan fiskal di masa depan.
Skenario ini telah dikritisi oleh banyak ekonom dunia, termasuk dalam studi Ehigiamusoe & Lean (2020), yang menyatakan bahwa akumulasi utang yang tidak diimbangi oleh pertumbuhan ekonomi akan menyebabkan menurunnya kepercayaan pasar, meningkatnya biaya pinjaman, dan membatasi kemampuan negara untuk menghadapi krisis ekonomi di masa depan.
Dalam istilah sederhana: ini seperti terus-menerus menggali lubang untuk menutup lubang, sambil berharap tanahnya ajaib dan bisa mengisi sendiri.
Solusi: Masih Jadi Wacana Suci yang Tak Pernah Jadi Kebijakan
Setiap tahun, dalam forum-forum besar ekonomi nasional, kata "reformasi perpajakan" selalu menjadi topik andalan. Seperti mantra sakti, ia disebut oleh menteri, akademisi, hingga juru bicara partai. Tapi sayangnya, mantra ini seperti doa yang belum di-amin-kan. Tidak ada peta jalan konkret, tidak ada langkah progresif yang benar-benar dijalankan secara konsisten.
Reformasi yang dibutuhkan sebenarnya sudah jelas: perluasan basis pajak, penghapusan insentif yang tidak efektif, penguatan sistem pajak digital, serta perlunya pajak karbon dan digital economy yang adil. Namun, hingga kini, semuanya seperti janji pengantin baru: manis di awal, samar di akhir.
Batool et al. (2022) menyebutkan bahwa defisit fiskal yang tidak dikendalikan pada akhirnya mendorong pemerintah untuk mencetak uang demi membiayai belanja. Ini mengarah pada inflasi yang tidak terkontrol, yang pada gilirannya menggerus daya beli masyarakat. Rakyat miskin semakin sulit bertahan, dan rakyat menengah perlahan turun kelas.
Kondisi ini tak ubahnya seperti meminum jamu pahit demi sembuh, tapi yang diminum malah air gula yang manis: menyenangkan di lidah, membunuh dalam diam.
Negara Besar, Tapi Takut Bicara Soal Akuntabilitas
Indonesia bukan negara kecil. Sumber dayanya kaya, penduduknya banyak, dan peluangnya terbuka. Tapi dalam hal fiskal, kita justru tampak seperti anak kos yang hidup mengandalkan utang dan janji orang tua. Saat penerimaan negara mengecil dan belanja membesar, maka yang terjadi adalah ketidakseimbangan yang fundamental.
Kini, pertanyaan pentingnya bukan cuma bagaimana menutup defisit, tetapi bagaimana memperbaiki cara kita merencanakan, membelanjakan, dan mempertanggungjawabkan uang negara. Sudah waktunya kita berani bilang tidak pada belanja tidak produktif, berani transparan soal pengelolaan utang, dan serius membangun sistem perpajakan yang adil dan progresif.
APBN bukan hanya laporan keuangan negara. Ia adalah cermin kejujuran, cerminan orientasi masa depan, dan gambaran siapa yang kita utamakan dalam pembangunan. Jika pasaknya terus lebih tinggi dari tiangnya, maka runtuhnya rumah bernama Indonesia bukan perkara mustahil—melainkan keniscayaan.
Dan saat itu terjadi, jangan heran kalau rakyat tak lagi marah... mereka sudah terlalu letih untuk berharap.
Baca Juga
-
Ojek Online: Mesin Uang Platform, Beban Ganda Mitra dan Konsumen
-
Harga Udara Bersih di Jakarta: Mahal, Langka, dan Terpinggirkan
-
WFH dan WFO: Saat Rumah Tangga dan Pendidikan Jadi Penentu Pilihan
-
Perang: Naluri Purba atau Kecelakaan Peradaban?
-
Hari Hutan Hujan Sedunia: Suara Global untuk Menyelamatkan Paru-Paru Bumi
Artikel Terkait
-
Nirina Zubir Ungkap Cara Keluarganya Bertahan di Tengah Ekonomi Sulit
-
Defisit Rp662 T: Dampak Nyata Janji Politik yang Tak Terkendali
-
Sri Mulyani Ungkap APBN Tahun Terakhir era Jokowi Bekerja Keras
-
Perintah Hemat Prabowo Mulai Longgar, Sri Mulyani Buka Blokir Anggaran Rp129 Triliun Bagi 99 K/L
-
Anggaran Mobil Dinas Nyaris Rp1 M per Unit, Mensesneg: Efisiensi Bukan Berarti Tidak Ngapa-ngapain
Kolom
-
Dari Iklan ke Film: Bagaimana Media Membentuk Citra Perempuan?
-
Representasi Perempuan di Layar Kaca: Antara Stereotip dan Realitas
-
Buku Anak Jadi Solusi Segar ketika Reading Slump Menyerang
-
Pemain Sepak Bola Nyambi Jadi Abdi Negara, Bukti Persepakbolaan Indonesia Belum Menjanjikan?
-
Ojek Online: Mesin Uang Platform, Beban Ganda Mitra dan Konsumen
Terkini
-
Tutorial Jadi Orang Keren di Buku "Seni Berbicara" Karya Larry King
-
Erick Thohir Jawab Usulan Piala Indonesia, Serahkan Wewenang ke PT LIB
-
Vivo Y19s GT 5G Rilis, HP Murah Terbaru dan Model Pertama dari Seri GT
-
Diterpa Rumor Naturalisasi Ilegal, Pejabat FAM Ramai-Ramai Berikan Klarifikasi! Panik?
-
Ulasan Film Narik Sukmo: Ketika Tarian Jawa Jadi Gerbang Kutukan!