Ungkapan Bhinneka Tunggal Ika ditetapkan sebagai semboyan negara Indonesia bukan tanpa alasan. Memiliki arti "berbeda-beda, tetapi tetap satu jua" menghadirkan makna mendalam bagi bangsa kita yang majemuk. Semboyan itu, selalu digaungkan oleh masyarakat untuk terus menyadari keberagaman budaya dan menjaga persatuan.
Dalam konteks bahasa, kita sepakat bahwa bahasa persatuan adalah bahasa Indonesia. Namun, setiap daerah di Indonesia memiliki bahasa lokal sendiri dan berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lain. Berdasarkan data dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Indonesia tercatat memiliki 718 bahasa daerah. Jumlah ini belum mencangkup dialek-dialek yang dimiliki tiap bahasa daerah sehingga jumlah bahasa daerah dan dialeknya diperkirakan akan lebih dari 700-an.
Namun, jumlah angka tersebut bukan tidak mungkin mengalami penurunan. Faktanya pada tahun 2024, terdapat 18 bahasa daerah berstatus aman, 21 rentan, 3 mengalami kemunduran, 29 terancam punah, 8 kritis, dan 5 punah. Bahkan, hanya ada 74 bahasa daerah yang sudah terkaji vitalitasnya. Artinya baru sekitar 10 persen bahasa daerah yang sudah diteliti kemampuannya untuk bertahan sebagai media komunikasi penuturnya.
Sebagai wilayah dengan bahasa daerah terbanyak di Indonesia, Papua mencatat ada 428 bahasa lokal yang tersebar di berbagai provinsi. Sayangnya, per tahun 2024 saja sudah ada empat bahasa lokal yang ditetapkan punah, yaitu bahasa Tandia di daerah Teluk Wondama, bahasa Air Matoa di Kaimana, Provinsi Papua Barat, bahasa Mapia di Kabupaten Supiori, dan bahasa Mawes di Kabupaten Sarmi. Hal serupa juga terjadi di wilayah Jawa, yang memiliki penutur bahasa daerah terbanyak. Salah satu bahasa yang mendapat perhatian adalah bahasa Sunda. Sejak satu dekade terakhir, penutur bahasa ini diperkirakan kehilangan dua juta penutur dari 48 juta penutur.
Bukan tanpa sebab, suatu bahasa bisa punah. Salah satu faktor yang mendasari hilangnya suatu bahasa adalah jumlah penutur yang terus berkurang. Pada kasus bahasa Air Matoa di Kaimana, Provinsi Papua Barat yang dinyatakan punah pada tahun 2010 karena hanya tersisa satu saja penutur dan sudah berusia lanjut. Hal tersebut menunjukkan bahwa bahasa tersebut tidak dapat diwariskan karena penutur yang tersisa tidak memiliki rekan untuk bercakap dan mewarisinya.
Pada kasus lain, perkembangan zaman juga turut memengaruhi preferesensi masyarakat dalam memandang suatu kebudayaan. Arus globalisasi yang kian masif membuat masyarakat, khususnya kawula muda lebih tertarik dengan budaya luar negeri yang terkesan lebih modern. Pandangan ini turut membuat eksistensi bahasa daerah makin tersisih dan tergantikan dengan bahasa asing. Hal ini juga terjadi karena orang tua cenderung lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa keseharian dan lebih memilih untuk mengajarkan bahasa asing pada anak sedini mungkin.
Di samping berfungsi sebagai alat komunikasi, bahasa juga merupakan cerminan dari budaya suatu masyarakat. Melalui bahasa, nilai, norma, dan cara pandang suatu kelompok dapat tersampaikan dan terus dipelihara. Dengan kata lain, satu bahasa dapat mewakili satu budaya karena bahasa berperan sebagai identitas kolektif bagi para penuturnya. Bahasa tidak hanya menyampaikan pesan, tetapi juga menyimpan jejak sejarah, pola pikir, dan sistem nilai yang diwariskan turun-temurun.
Dalam konteks sosial, bahasa menjadi medium yang memperlihatkan keragaman budaya di tengah masyarakat majemuk. Cara seseorang berbicara, memilih kosakata, atau menggunakan dialek tertentu sering kali mencerminkan latar belakang sosial, kondisi geografis, dan tingkat pendidikan. Oleh sebab itu, bahasa dapat digunakan untuk memahami karakter suatu masyarakat, termasuk dinamika sosial yang terjadi di dalamnya.
Lalu bagaimana jika suatu bahasa daerah kehilangan penuturnya?
Saat sebuah bahasa hilang, maka yang berhenti bukan hanya penutur dan media komunikasinya saja. Melainkan cara berpikir, nilai-nilai, dan identitas yang hidup di dalamnya. Bahasa bagaikan catatan tidak berwujud yang menyimpan identitas kebudayaan, karakteristik masyarakat penutur, dan latar belakang wilayah yang menjadi tempat berkembangnya media tutur tersebut.
Bahasa merupakan wadah bagi penutur untuk berekspresi, merawat tradisi, dan menyimpan sejarah kolektif di suatu komunitas masyarakat. Oleh karena itu, hilangnya bahasa daerah sama saja dengan hilangnya warisan kebudayaan yang membentuk keragaman bangsa. Dalam konteks yang lebih luas, fenomena ini dapat memicu krisis identitas kultural yang mengikis rasa memiliki terhadap budaya sendiri.
Ancaman krisis identitas karena menurunnya penutur bahasa daerah merupakan hal yang nyata adanya. Masyarakat terancam putus dari akar tradisi dan kehilangan rasa memiliki terhadap budayanya sendiri. Bahkan bahasa daerah yang seharusnya menjadi jembatan penghubung antarkalangan masyarakat bisa menjadi asing di telinga generasi muda jika tidak diwariskan.
Meski sejumlah upaya revitalisasi dan dokumentasi bahasa daerah terus dilakukan oleh pemerintah melalui Badan Bahasa, masyarakat harus turut berpartisipasi aktif dalam melestarikan bahasa daerah. Beberapa langkah sederhana yang dapat dilakukan adalah dengan membiasakan anak berbicara dalam bahasa daerah sebagai bahasa ibu dan memaksimalkan lembaga pendidikan untuk mengajarkan tradisi lokal dan bahasa daerah kepada peserta didik.
Baca Juga
-
Ulasan Buku Journal of Gratitude: Syukuri Hal Sederhana untuk Hidup Bahagia
-
Ulasan Buku My Olive Tree: Menguak Makna Pohon Zaitun bagi Rakyat Palestina
-
Ulasan Novel Terusir: Diskriminasi Wanita dari Kacamata Budaya dan Sosial
-
Membaca Buku Self Improvement, Sumber Motivasi atau Malah Toxic Positivity?
-
Ulasan Novel Petjah: Benang Takdir yang Membuka Luka di Masa Lalu
Artikel Terkait
-
Diksi Pejabat Tidak Santun: Ini Alasan Pentingnya Mapel Bahasa Indonesia
-
QR Code di Buku Bahasa Indonesia Kelas 12 Diduga Mengarah ke Situs Judi Online, Netizen Geram
-
Sirene Darurat Intoleransi Meraung, Alissa Wahid Ajak Bangsa Kembali ke DNA Asli
-
Pacar Bule Lina Mukherjee Belajar Bahasa Indonesia, Siap Menikah?
-
Bukan karena Ultah Prabowo, Fadli Zon soal HKN: 17 Oktober Bertepatan Lahirnya Bhinneka Tunggal Ika
Kolom
-
Kios Buku di Tengah Wisata Edukasi: Sudut Yang Hampir Terlupakan
-
Di Balik FYP TikTok: Algoritma dan Seni Membaca Perasaan Manusia
-
Refleksi Satu Tahun Komunikasi Publik Pemerintahan Presiden Prabowo
-
Generasi Muda dan Konser Musik: Bukan Sekadar Arena Hiburan, Tapi Tempat Refleksi Diri
-
Menilik Tokoh Ryuji: Dari Obsesi Peneliti ke Candaan Ableisme
Terkini
-
Romantic Thriller yang Bikin Mikir, Film Dopamin Wajib Nonton Nih!
-
4 Rekomendasi Sepatu Lari Kanky yang Budget-Friendly, Mulai Rp200 Ribuan!
-
4 Serum Kombinasi Retinol & Niacinamide yang Ampuh Samarkan Bopeng di Wajah
-
Menyingkap Pahit Manis Sejarah Tionghoa Peranakan dalam Novel Ca-Bau-Kan
-
Glamour! 5 Busana Ikonik di Victorias Secret Fashion Show 2025