Di atas kertas, jumlah aparatur sipil negara (ASN) di Indonesia seharusnya cukup untuk menggerakkan mesin birokrasi dengan efektif dan efisien. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan sebuah ironi: pegawai melimpah, tapi kinerja seret. Gedung-gedung pemerintahan penuh dengan meja dan kursi yang berpenghuni, tetapi sering kali alpa dari ide, inovasi, dan produktivitas nyata.
Paradoks ini bukan soal jumlah belaka, melainkan soal kualitas dan keahlian ASN kita. Menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit instansi yang kelebihan pegawai administrasi, tapi personel tenaga ahli di bidang strategis sangat minim. Birokrasi yang berbelit dan terlalu sibuk mengurus tanda tangan menjadikan para aparatur negara ini sering kali lupa pada tugas utamanya, yaitu melayani publik dengan efisien dan manusiawi. Dalam banyak kasus yang kita semua sering temui, para aparatur negara kita ini masih terjebak dalam tumpukan berkas manual dan budaya formalitas. Waktu mereka habis di meja rapat dan tumpukan berkas, sementara ide, inovasi, dan produktivitas nyata justru seret bahkan mandek.
Ironi selanjutnya dapat kita temukan pada sistem rekrutmen dan kenaikan pangkat atau jabatan yang lebih sering mengutamakan masa kerja daripada kompetensi. Hal tersebut digambarkan secara gamblang oleh para penyelenggara negara kita dalam seleksi ASN formasi 2024. Pada sistem rekrutmen PPPK tahun itu, kriteria administratif utama yaitu masa kerja, mampu menggugurkan sejumlah persyaratan yang telah ditetapkan. Dengan sistem pengangkatan seperti yang disebutkan, persyaratan yang diberikan seolah hanya formalitas semata.
Lebih jauh, kenaikan pangkat atau jabatan para ASN sering kali diatur bukan karena keahlian atau kompetensi yang dimilikinya, melainkan karena senioritas dan bahkan kedekatan struktural dengan pemangku kebijakan yang lebih tinggi. Akibatnya, para pegawai muda dengan ide segar, semangat inovasi, dan produktivitas tinggi sering kali memilih diam atau berpindah ke sektor-sektor lain yang mampu menghargai kemampuan dan keterampilan mereka.
Di tengah berbagai sorotan terhadap sistem birokrasi, pemerintah sebenarnya telah berulang kali melaksanakan program reformasi birokrasi, mulai dari penyederhanaan struktur hingga mencoba menginisiasi digitalisasi di berbagai lini layanan. Namun, berulang kali pula, reformasi birokrasi tetaplah tinggal program. Tanpa disertai keberanian menata ulang pola pikir seluruh pejabat publik, mulai dari penyelenggara negara hingga aparatur sipil, upaya penyederhanaan birokrasi justru menjadi jebakan munculnya formalitas baru.
Reformasi birokrasi yang sejatinya memiliki tujuan mulia untuk mempercepat pelayanan kepada publik justru sering terperangkap dalam kerumitan administrasi versi baru. Misalnya, dalam upaya digitalisasi pelayanan, tak jarang kita rasakan bahwa upaya tersebut hanya berujung pada memindahkan kertas ke layar tanpa mengubah pola pikir di baliknya. Hasilnya, sistem pelayanan memang tampak lebih modern, tetapi mentalitas birokrat yang berbelit dan terlalu prosedural tetap mengakar kuat.
Jika kita menginginkan birokrasi yang sat-set alih-alih seret, ada banyak hal yang perlu dibenahi. Upaya pembenahan tersebut dapat dimulai dari sistem rekrutmen pegawai, penilaian untuk kenaikan pangkat, dan penghargaan terhadap pegawai-pegawai kompeten. Aparatur negara yang kompeten harus diberi ruang dan dukungan untuk berkembang tanpa terhambat oleh hierarki yang kaku. Begitu pula dengan aparatur yang tidak produktif dan tidak tampak hasil kerjanya perlu mendapat pembinaan atau bahkan reposisi yang tegas.
Kita semua tentu setuju bahwa dengan sumber daya manusia yang kita miliki, Indonesia tidak kekurangan orang pintar. Hanya saja sistem kita yang belum mampu menempatkan mereka pada tempat yang tepat. Sudah saatnya pemangku kebijakan terkait melakukan rombakan mendasar dalam tata kelola SDM kita. Penempatan aparatur negara seharusnya didasarkan pada kompetensi, bukan sekadar masa kerja dan kedekatan dengan pemangku kebijakan.
Baca Juga
-
Adu Jurus Purbaya VS Luhut: Polemik Utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung
-
Gawai, AI, dan Jerat Adiksi Digital yang Mengancam Generasi Indonesia
-
Married to the Idea: Relevankah Pernikahan untuk Generasi Sekarang?
-
Rangga dan Cinta Bukan Sekuel, Tapi Reinkarnasi Romansa Ikonik AADC
-
Refleksi Satu Tahun Komunikasi Publik Pemerintahan Presiden Prabowo
Artikel Terkait
-
Kode 02 pada Info GTK: Status Validasi Tunjangan Profesi Guru dan Solusi Agar Cepat Cair
-
PPG Calon Guru Bisa Dapat Uang Rp 17 Juta? Ini Penjelasan dan Rinciannya
-
Segini Besaran Gaji Pensiunan PNS, Bakal Naik Tahun 2025?
-
Terpopuler: Anak Setya Novanto Menikah, Gaji Pensiunan PNS Bakal Naik Oktober 2025?
-
Benarkah Gaji Pensiunan PNS Bakal Naik di Oktober 2025? Cek Faktanya di Sini
Kolom
-
Humor Seksis Tak Cuma Menganggu, tapi Aksi Perundungan Seksual bagi Wanita
-
In This Economy, Gen Z Makin Pesimis soal Masa Depan
-
Di Balik Putihnya Garam, Ada Luka dan Harapan Orang-Orang Pesisir Rembang
-
Kehidupan Pesisir Indonesia: Antara Keindahan Ombak dan Krisis Nyata
-
Komentar Negatif dan Cara Cerdas Menjaga Mental Tetap Stabil
Terkini
-
SEA Games 2025: Siapa Saja 4 Pemain Abroad Andalan Timnas U-22?
-
Silent Bystander: Mengungkap Akar Bullying dari Sisi yang Terabaikan
-
Kehadiran Joey Pelupessy dan Potensi Semakin Sempitnya Dapur Pacu Persib Bandung
-
Mahalini Comeback dengan Album Koma, Ini Makna Mendalam di Balik Judulnya!
-
Efek Kejadian Tumbler Tuku, Satpam KRL Panik Saat Temukan Nasi Uduk di Kereta