Di ruang-ruang kuliah masa kini, para pendidik menghadapi realitas baru yang menantang. Mahasiswa generasi Z yang tumbuh di tengah gempuran teknologi digital membawa pola komunikasi yang berbeda secara mendasar dari generasi sebelumnya. Ketika seorang dosen berbicara panjang lebar mengenai konsep akademik, namun perhatian mahasiswa justru teralihkan ke layar ponsel, kita perlu bertanya lebih dalam: apakah komunikasi pendidikan masih bekerja dengan cara yang sama seperti dulu?
Realitas ini menunjukkan bahwa model komunikasi vertikal yang selama ini mendominasi ruang kuliah semakin kehilangan efektivitas. Dosen berbicara, mahasiswa mendengar sebuah pola yang lahir dari paradigma transmisional tentang komunikasi, kini tak lagi relevan bagi generasi yang tumbuh dalam budaya partisipatif, interaktif, dan visual. Generasi Z tidak lagi melihat pendidik sebagai satu-satunya sumber kebenaran atau pengetahuan. Mereka terbiasa dengan informasi yang datang dari berbagai arah media sosial, YouTube, podcast, bahkan komentar anonim di forum daring. Bagi mereka, validasi tidak berasal dari otoritas semata, tetapi dari koneksi emosional dan keterlibatan aktif dalam proses.
Kehadiran digital yang konstan menjadikan mahasiswa Gen Z sebagai generasi multitasking yang cepat menangkap informasi, namun mudah teralihkan. Mereka responsif terhadap pesan-pesan visual, narasi personal, dan ekspresi autentik, tetapi cenderung kurang sabar terhadap struktur komunikasi yang linier, formal, dan terpusat. Di sinilah letak tantangan bagi dunia pendidikan: bagaimana menyampaikan pesan-pesan akademik yang mendalam dalam format komunikasi yang terasa akrab dan menggugah bagi mereka?
Paradoks muncul ketika kita menyadari bahwa meski mahasiswa Gen Z sangat terhubung secara teknologi, banyak dari mereka merasa kesepian, kehilangan arah, dan diliputi kecemasan. Informasi mudah mereka akses, namun makna sering kali sulit mereka tangkap. Di tengah derasnya arus data, pemaknaan menjadi kemampuan langka. Komunikasi pendidikan, dalam konteks ini, tidak cukup hanya menyampaikan isi, melainkan juga harus mampu menyentuh sisi emosional dan eksistensial mahasiswa.
Pendekatan komunikasi edukatif harus bergeser dari sekadar instruksional menjadi transformatif. Mahasiswa Gen Z tidak hanya ingin tahu “apa”, tetapi juga “mengapa ini penting bagi hidup saya?”. Mereka tidak hanya ingin diberi tahu, tetapi juga diajak berdialog, didengarkan, dan diberi ruang untuk merespons. Ruang kuliah idealnya menjadi tempat pertemuan antar pengalaman, bukan sekadar tempat pemindahan informasi satu arah.
Komunikasi efektif dengan Gen Z memerlukan pemahaman atas pola pikir dan emosi mereka. Mereka menghargai keaslian, terbuka terhadap keragaman, tetapi juga rentan terhadap tekanan sosial dan ekspektasi diri yang tinggi. Maka, komunikasi yang otentik, inklusif, dan penuh empati jauh lebih berarti ketimbang komunikasi yang hanya mengandalkan jargon akademik dan otoritas posisi.
Dosen dan tenaga pengajar perlu meredefinisi peran mereka sebagai fasilitator, pendamping refleksi, dan kurator makna. Tidak lagi cukup hadir dengan tumpukan slide dan daftar bacaan, pengajar masa kini dituntut hadir secara utuh dengan kepekaan sosial, kemampuan mendengar, dan kemauan untuk menyesuaikan cara bicara dengan dunia batin mahasiswa. Di tengah kebisingan digital yang membingungkan, suara yang jernih dan relevan justru menjadi kebutuhan utama.
Tantangan ini bukan hanya soal teknologi, tetapi juga soal keberanian untuk berubah. Dunia pendidikan harus berani meninggalkan cara-cara komunikasi lama yang tidak lagi menyentuh, dan mulai membangun pendekatan baru yang lebih sejajar, manusiawi, dan reflektif. Di balik setiap layar yang menyala di ruang kuliah, ada mahasiswa yang mungkin sedang mencari koneksi emosional yang nyata. Bukan pada teknologi, melainkan pada komunikasi yang hadir dengan kejujuran dan empati.
Masa depan pendidikan tidak ditentukan oleh siapa yang paling banyak bicara, tetapi oleh siapa yang mampu membangun ruang untuk benar-benar saling mendengar. Maka, untuk bisa bersuara di tengah bising digital, pendidikan perlu kembali pada esensinya: hubungan manusiawi yang dibangun dengan ketulusan, kehadiran, dan komunikasi yang bermakna.
Baca Juga
-
Mahasiswa Bukan Robot, Saatnya Kembali Berpikir di Era AI
-
Kelas yang Terjebak Masa Lalu, Saatnya Pendidikan Tinggi Menyesuaikan Diri
-
Menjelajahi Kemegahan Istana Maimun, Warisan Melayu yang Memikat Hati
-
Berkunjung ke Taman ACI: Liburan Sejuk, Seru, dan Ramah di Kantong
-
Soto Adjib Jambi: Kuliner Lezat Plus Mini Zoo, Liburan Jadi Lengkap!
Artikel Terkait
-
Ogah Bicara Banyak Soal Siswa Titipan Saat SPMB, Kadisdik DKI: Gue Capek Banget
-
Pendidikan Bermakna Dimulai Sejak Hari Pertama Sekolah, Inilah MPLS Ramah
-
Wajah Tulus Bagus Adi Prayogo, Mahasiswa UGM yang Meninggal Saat KKN Bakal Jadi Sosok Dirindukan
-
Sekolah Bukan Satu-satunya! Siapa Saja yang Bertanggung Jawab Atas Pendidikan Karakter?
-
Otak Kriminal Dosen S3 Hukum: Bunuh Suami, Rekayasa Kecelakaan, Kini Lemas Dituntut Mati
Kolom
-
Aturan Cuma Buat Rakyat? Menggugat Hak Istimewa Rombongan Pejabat di Jalan Raya
-
Dari Sahabat Pena ke Chatbot AI: Bagaimana Teknologi Mengubah Cara Kita Berteman?
-
Karakteristik Schadenfreude dalam Psikologi Massa Sound Horeg
-
Mahasiswa Bukan Robot, Saatnya Kembali Berpikir di Era AI
-
Mitigasi Banjir Jakarta: Benahi Hulu atau Keruk Hilir? Ini Perang Logika Para Pemimpin
Terkini
-
Liga Indonesia Level Up! PT LIB Rekrut Mantan General Manager Liga Jepang
-
Jadwal MotoGP Jerman 2025, Marc Marquez Raih Kembali Gelar SachsenKing?
-
Alice in Borderland 3 Siap Menggebrak: Sinopsis Lengkap dan Jadwal Tayang
-
Ulasan Buku Kokoro: Menyelaraskan Hati dan Pikiran untuk Hidup Lebih Baik
-
Ulasan Buku 'Bangga Jadi Perempuan', Memperbaiki Persepsi tentang Perempuan