Fenomena mental health washing di media sosial mencerminkan gejala yang jauh lebih kompleks daripada sekadar tren komunikasi digital. Ia adalah produk dari zaman yang memasarkan segala hal, termasuk penderitaan manusia, sebagai komoditas yang bisa dijual, diklik, dibagikan, dan dikagumi. Dalam suasana publik yang semakin terbuka terhadap isu kesehatan mental, yang semestinya menjadi ruang aman untuk penyembuhan dan pendidikan, justru terbentuk ruang-ruang artifisial yang penuh slogan, kemasan estetis, dan narasi palsu tentang empati. Di sinilah akar persoalan mental health washing menemukan tempatnya: saat kesadaran kolektif tentang pentingnya kesehatan mental direduksi menjadi alat pemasaran dan pencitraan.
Platform-platform digital dipenuhi dengan unggahan penuh kutipan manis tentang self-love, healing, dan “it’s okay not to be okay”, tetapi tanpa akarnya yang filosofis maupun ilmiah. Isu yang seharusnya diperlakukan secara serius dan penuh kehati-hatian menjadi konsumsi ringan yang dikunyah begitu saja untuk mendulang perhatian publik. Depresi tak lagi dipahami sebagai gangguan yang memerlukan diagnosa medis, melainkan hanya sebagai kesedihan yang bisa diatasi dengan secangkir kopi dan afirmasi positif. Burnout direduksi menjadi alasan bergaya di tengah liburan, bukan cerminan krisis sistemik dari ekspektasi kerja yang menindas. Inilah wajah nyata mental health washing bentuk banalitas dalam empati yang justru menelantarkan substansi dari perjuangan psikologis itu sendiri.
Di balik narasi-narasi Instagramable dan video TikTok yang mengklaim ‘mendukung’ kesehatan mental, sering kali tersembunyi kepentingan ekonomi dan politik. Perusahaan-perusahaan besar, yang budaya kerjanya terkenal menekan, bisa begitu mudah menyelipkan pesan kampanye bertema kesehatan mental sambil tidak mengubah struktur organisasinya. Mereka menjual produk-produk gaya hidup dengan label mindfulness atau wellness padahal tidak menawarkan solusi nyata, apalagi perlindungan psikologis bagi para pekerjanya sendiri. Para influencer, dengan ribuan bahkan jutaan pengikut, mengklaim diri sebagai penyintas gangguan mental tanpa keterbukaan terhadap proses diagnosis yang kredibel atau langkah penyembuhan yang bertanggung jawab. Yang terjadi kemudian bukanlah edukasi, melainkan glorifikasi penderitaan sebagai bahan konten. Penderitaan menjadi estetika, bukan realita yang perlu ditolong.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah ketika masyarakat mulai percaya bahwa penderitaan psikologis bisa disembuhkan dengan konsumsi, bahwa membeli lilin aromaterapi, skincare, atau berlibur ke resor bisa menjadi solusi untuk kecemasan mendalam yang bertumpuk dari trauma masa lalu atau tekanan hidup yang akut. Dalam arus ini, kesehatan mental bukan lagi tentang proses, dukungan sosial, dan pemulihan bertahap, melainkan tentang bagaimana menampilkan citra “bahagia tapi sadar diri” di depan kamera. Bahkan ketika seseorang membagikan ceritanya tentang gangguan mental, sering kali disertai dengan strategi branding personal seolah rasa sakit adalah tiket menuju validasi publik, bukan ruang sunyi yang butuh perawatan mendalam.
Fenomena ini juga merampas ruang bicara dari mereka yang sungguh-sungguh berjuang. Para penyintas, aktivis, dan tenaga profesional kerap kalah gaungnya dari selebritas dan konten kreator yang punya kelebihan algoritma. Isu kesehatan mental menjadi semakin terpolarisasi: yang menyuarakan dengan tulus tenggelam, sementara yang berpura-pura mendapatkan panggung dan tepuk tangan. Praktik ini, dalam jangka panjang, menciptakan lelah kolektif karena publik tidak lagi bisa membedakan mana yang otentik dan mana yang dibuat-buat. Ketidakpercayaan pun muncul, memunculkan anggapan sinis bahwa semua yang mengaku depresi hanya mencari simpati. Ironisnya, ketika semua orang mengklaim sebagai korban, para korban sesungguhnya kehilangan tempat untuk didengarkan.
Health washing dalam bentuk ini juga melanggengkan budaya individualistik. Ia menyalahkan individu atas kondisi mentalnya, mendorong narasi bahwa semua masalah bisa diatasi dengan positive thinking, journaling, dan olahraga ringan. Sementara itu, akar-akar struktural seperti kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi gender, hingga tekanan ekonomi diabaikan. Padahal, kesehatan mental bukanlah domain psikologi semata, melainkan juga isu keadilan sosial. Tak bisa seseorang diminta untuk “lebih kuat secara mental” ketika sistem sosialnya terus-menerus membuatnya merasa tidak berdaya. Tetapi karena sistem sulit diubah dan tidak menguntungkan untuk diperbincangkan secara komersial, maka solusi yang ditawarkan pun lebih mudah: beli produk ini, tonton konten itu, dan segalanya akan membaik.
Maka dari itu, perlu ada gerakan sadar untuk melawan praktik mental health washing ini. Edukasi publik harus diprioritaskan agar masyarakat mampu memilah antara konten yang bertanggung jawab dan konten yang manipulatif. Kesehatan mental tidak boleh lagi menjadi lahan eksploitasi emosional yang dibalut dengan estetika dan viralitas. Para profesional psikologi perlu lebih hadir di ruang publik, bukan untuk bersaing dalam popularitas, tetapi untuk menawarkan narasi yang berakar pada bukti dan empati sejati. Media pun harus lebih kritis dalam memilih siapa yang diberi ruang bicara, bukan hanya berdasarkan jumlah pengikut, melainkan juga berdasarkan kualitas gagasan dan komitmen terhadap penyembuhan kolektif.
Kita membutuhkan narasi kesehatan mental yang lebih jujur, kompleks, dan manusiawi. Narasi yang mengakui bahwa tidak semua orang punya akses ke terapi, bahwa trauma tidak bisa diselesaikan dengan video berdurasi 60 detik, dan bahwa kekuatan mental bukanlah satu-satunya kunci bertahan hidup. Kita membutuhkan ruang digital yang lebih etis, tempat di mana isu-isu psikologis tidak dijadikan barang dagangan, melainkan diperjuangkan sebagai bagian dari hak hidup yang bermartabat.
Fenomena mental health washing tidak bisa dipandang remeh karena ia berakar pada kecenderungan zaman ini: menjual segala hal, bahkan luka batin, sebagai peluang pasar. Jika kita tidak hati-hati, simpati akan berubah menjadi strategi bisnis, dan penderitaan akan kehilangan makna. Maka kritik ini tidak hanya menjadi peringatan, tetapi juga ajakan: untuk membedah, menggugat, dan membangun ulang cara kita memperlakukan isu kesehatan mental baik di media sosial maupun dalam kehidupan nyata.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Mengapa Gen Z Mudah Bosan? Mengulik Fenomena di Balik Dunia Serba Cepat
-
Hamil di Luar Nikah? Tenang Ini Panduan Bijak Menghadapi dan Mencari Solusi
-
Terlalu Baperan, Salah Siapa? Ini Cara Mengatasinya
-
Futsal dan Kesehatan Mental: Pelarian Positif di Tengah Tekanan Akademik
-
Prabowo Singgung Pakar Bayaran yang Bertugas untuk Nyinyir dan Sebarkan Pesimisme
Kolom
-
Mengapa Gen Z Mudah Bosan? Mengulik Fenomena di Balik Dunia Serba Cepat
-
Hilangnya Lagu Anak, Generasi yang Tumbuh tanpa Suara Sendiri
-
Inflasi IPK: Kini Predikat Cumlaude Menjadi Lazim
-
Kreator Lokal, Pahlawan Sunyi di Balik Viral-nya Pacu Jalur
-
Kalau Pemerintah Tegas soal Rokok, Sore Gak Perlu Balik ke Masa Lalu
Terkini
-
Piala AFF U-23 dan Ketergantungan Pasukan Muda Merah Putih kepada Sosok Arkhan Fikri
-
Dua Pembalapnya Tampil Fantastis, Apa Langkah Aprilia Selanjutnya?
-
Kulit Kusam Auto Cerah, 5 Produk Skincare Finally Found You Berbahan Beras
-
Brandon Routh Beri Pujian untuk Film Superman (2025): Saya Bahkan Menangis
-
Ulasan Novel Kokokan Mencari Arumbawangi: Suara Perempuan untuk Lingkungan