Scroll untuk membaca artikel
Sekar Anindyah Lamase | Christina Natalia Setyawati
Ilustrasi Pemagang (Pexels/Ruslan Burlaka)

Magang unpaid, atau magang tanpa bayaran, adalah topik yang tak henti-hentinya memicu perdebatan sengit, terutama di kalangan para pencari kerja muda, mulai dari mahasiswa tingkat akhir hingga fresh graduate yang tengah meraba-raba langkah pertama di dunia profesional. Di satu sisi, banyak sekali perusahaan, baik yang sudah mapan maupun startup yang sedang merintis, gencar menawarkan program magang ini dengan dalih mulia: memberikan pengalaman berharga secara cuma-cuma. 

Mereka sering kali menggambarkan magang sebagai gerbang emas menuju karier impian, tempat di mana skill diasah dan networking dibangun tanpa perlu mengeluarkan biaya. Namun, di balik janji-janji manis tersebut, bagi para pemagang, realitas di lapangan seringkali jauh lebih pahit, menuntut pengorbanan yang tak sebanding dengan imbalan yang diterima.

Mari kita selami lebih dalam betapa beratnya beban yang harus ditanggung seorang pemagang unpaid. Bayangkan, seseorang harus mendedikasikan waktu berjam-jam setiap hari, lima hari seminggu, bahkan tak jarang harus lembur, untuk mengerjakan tugas-tugas yang seringkali sama kompleks dan krusialnya dengan pekerjaan karyawan berbayar.

Ironisnya, semua dedikasi itu tidak berujung pada selembar gaji di akhir bulan. Padahal, ada segudang biaya hidup yang tak bisa dinegosiasikan: ongkos transportasi pulang-pergi yang bisa jadi sangat mahal, jatah makan siang yang mau tidak mau harus dibeli, atau bahkan biaya sewa kamar jika lokasi magang jauh dari rumah.

Dalih pengalaman sering kali terasa seperti retorika kosong ketika perut keroncongan atau dompet menipis. Ini bukan sekadar masalah nominal uang, melainkan juga tentang pengakuan atas waktu, tenaga, dan potensi yang telah dipersembahkan. Pemagang bukan robot, mereka adalah individu yang juga memiliki kebutuhan finansial. Ketika mereka bekerja tanpa dibayar, itu seolah meremehkan nilai kontribusi mereka, seolah-olah waktu dan energi mereka tidak berharga.

Tidak dapat dimungkiri, pengalaman kerja itu krusial. Magang memang bisa menjadi jembatan vital untuk memahami seluk-beluk dunia profesional yang sebenarnya, membangun relasi dan jaringan yang luas, serta mengasah skill praktis yang tidak didapatkan di bangku kuliah. Namun, ada garis tipis yang memisahkan antara kesempatan belajar yang tulus dan praktik eksploitasi terselubung.

Ketika sebuah perusahaan terlalu sering atau bahkan secara sistematis mengandalkan pemagang unpaid untuk menyelesaikan pekerjaan operasional yang seharusnya masuk dalam ranah karyawan berbayar, itu adalah lampu merah. Pemagang akhirnya hanya menjadi karyawan bayangan yang mengerjakan tugas-tugas vital, tetapi tanpa menerima hak-hak dasar yang selayaknya. Alih-alih mendapatkan mentorship yang intensif dan bimbingan langsung dari para ahli di bidangnya, pemagang justru seringkali dibuang ke tugas-tugas remeh-temeh yang kurang memberikan nilai tambah signifikan pada pengalaman mereka. Ini membuat magang tidak lebih dari sekadar suruhan gratisan, yang jauh dari esensi magang sebagai proses pembelajaran dan pengembangan diri.

Praktik magang unpaid memiliki implikasi dan dampak jangka panjang yang kurang sehat, tidak hanya bagi individu pemagang tetapi juga bagi ekosistem industri secara keseluruhan.

Pertama, praktik ini secara tidak langsung mempersempit akses kesempatan kerja bagi mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi kurang mampu. Bayangkan, hanya mereka yang memiliki privilese finansial, yang tidak terbebani oleh kebutuhan hidup sehari-hari, yang sanggup bertahan menjalani magang unpaid. Ini menciptakan jurang kesenjangan yang semakin lebar di pasar kerja, di mana talent-talent hebat dari keluarga kurang mampu mungkin terpaksa mengubur mimpinya karena tidak bisa membiayai kebutuhan dasar selama magang. Ini jelas tidak adil dan menghambat mobilitas sosial.

Kedua, jika dibiarkan terus-menerus, praktik ini bisa merusak nilai dan martabat suatu profesi itu sendiri. Jika suatu jenis pekerjaan atau posisi bisa diisi dan dilakukan tanpa bayaran, lalu apa gunanya pendidikan tinggi, sertifikasi, atau skill yang sudah susah payah diasah bertahun-tahun? Ini bisa memicu persepsi bahwa pekerjaan tertentu tidak memiliki nilai ekonomis, yang pada akhirnya akan merugikan semua pihak.

Tentu, kita tidak bisa menggeneralisir bahwa semua magang unpaid itu buruk. Ada beberapa kasus di mana program magang memang didesain dengan tujuan pembelajaran yang kuat, dilengkapi dengan struktur mentorship yang jelas, dan durasi yang tidak terlalu membebani. Namun, penting bagi kita semua, baik sebagai calon pemagang maupun pihak perusahaan, untuk bersikap lebih kritis dan bijak.

Bagi para calon pemagang, pertimbangkanlah baik-baik apa yang benar-benar akan Anda dapatkan dari program magang tersebut. Apakah ada skill spesifik yang jelas akan diasah? Apakah ada mentorship yang serius dari senior yang kompeten? Apakah durasi dan beban kerjanya realistis dengan kondisi Anda? Jangan ragu untuk bertanya secara detail sebelum berkomitmen.

Bagi perusahaan, inilah saatnya untuk berbenah. Jika memang Anda membutuhkan tenaga kerja dan kontribusi yang berarti, berikanlah imbalan yang layak. Investasi pada pemagang adalah investasi pada talenta masa depan, pada keberlanjutan industri, dan pada reputasi perusahaan itu sendiri.

Magang seharusnya menjadi jembatan yang adil dan bermartabat menuju dunia kerja, yang memungkinkan semua orang, terlepas dari latar belakang ekonominya, untuk berkesempatan mengembangkan diri. Bukan sebaliknya, menjadi arena eksploitasi berkedok pengalaman yang hanya menguntungkan satu pihak.

Bagaimana menurut Anda? Apakah praktik magang unpaid masih relevan di era sekarang, atau sudah saatnya kita bersama-sama mendorong perubahan menuju ekosistem kerja yang lebih adil, etis, dan berkelanjutan?

CEK BERITA DAN ARTIKEL LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Christina Natalia Setyawati