Tahun lalu, saya menghadiri wisuda teman-teman beda universitas di kampusnya. Sambil menunggu nama-nama dipanggil satu per satu ke atas panggung, saya mencatat satu hal yang menarik yaitu lebih dari separuh wisudawan menyandang predikat cumlaude. Sebuah pencapaian yang secara teori patut diapresiasi, tetapi secara realitas justru mengundang pertanyaan: apakah benar semua lulusan tersebut setara dalam hal kualitas akademik dan etos belajarnya? Atau jangan-jangan, predikat cumlaude kini tidak lagi seistimewa dulu?
Di banyak perguruan tinggi, IPK atau Indeks Prestasi Kumulatif masih dianggap sebagai tolak ukur utama kesuksesan akademik. Apalagi jika mencapai angka 3,5 ke atas, mahasiswa berhak menyandang gelar "cumlaude". Namun, beberapa tahun terakhir, terutama sejak pandemi COVID-19 melanda, makna dari angka tersebut mulai dipertanyakan. Tak sedikit kampus yang melaporkan peningkatan signifikan dalam jumlah lulusan cumlaude.
Menurut laporan Tirto (2024), Universitas Padjadjaran (Unpad) mencatat tren peningkatan IPK rata-rata lulusannya dari tahun ke tahun—dari 3,48 pada 2019 menjadi 3,62 pada 2023. Di sisi lain, kampus-kampus lain pun melaporkan hal serupa, di mana lulusan cumlaude mencapai 60–70% dari total wisudawan. Ini mengindikasikan bahwa terjadi inflasi nilai yang cukup masif dan meluas.
Penyebab dari gejala inflasi IPK ini cukup kompleks. perubahan sistem evaluasi yang terjadi selama pandemi. Banyak dosen beradaptasi dengan sistem pembelajaran daring dengan mengganti ujian menjadi tugas mandiri atau proyek kelompok, bahkan kehadiran pun menjadi hal yang fleksibel. Absensi menjadi lebih longgar, diskusi kelas beralih ke grup WhatsApp, dan tugas bisa dikerjakan dengan bantuan teknologi, termasuk kecerdasan buatan. Hasilnya, mahasiswa yang disiplin mengumpulkan tugas tepat waktu cenderung langsung mendapat nilai tinggi, bahkan tanpa harus benar-benar memahami substansi materi kuliah.
Kedua, tekanan institusional juga menjadi pemicu. Di tengah persaingan antar kampus untuk mendapatkan akreditasi unggul dan menarik calon mahasiswa baru, jumlah lulusan dengan predikat cumlaude kerap dijadikan sebagai indikator keberhasilan. Hal ini diamini oleh laporan Deduktif.id (2024), yang menyebut bahwa "maraknya lulusan cumlaude adalah bagian dari strategi kampus untuk memperkuat daya saing institusional." Akibatnya, tidak sedikit dosen yang memilih bersikap baik hati dalam memberi nilai, entah karena tekanan birokrasi atau karena ingin menjaga kenyamanan mahasiswa.
Ketiga, bergesernya budaya akademik dari orientasi proses menuju orientasi hasil. Mahasiswa lebih berfokus pada target nilai daripada kedalaman pemahaman. Akibatnya, praktik tidak sehat seperti plagiat, beli tugas, hingga skripsi instan menjadi semakin lumrah. IPK tinggi pun kehilangan nilai autentiknya sebagai refleksi kompetensi intelektual.
Dalam dunia nyata, khususnya dunia kerja, IPK tinggi sudah tidak lagi menjadi jaminan kualitas. Banyak perekrut mulai memprioritaskan pengalaman organisasi, kemampuan adaptif, dan kejujuran. Dalam laporan Pikiran Rakyat (2025), tercatat bahwa sejumlah perusahaan besar seperti Gojek dan Telkom Indonesia bahkan mulai menghapus syarat IPK minimal dalam proses rekrutmen, menganggap bahwa nilai akademik bukan lagi tolok ukur utama dalam menilai potensi karyawan.
Di sisi psikologis, fenomena ini juga menimbulkan ketimpangan rasa. Mahasiswa yang telah berusaha dengan jujur merasa prestasinya menjadi tidak berarti karena dicampur dengan pencapaian palsu. Sementara itu, mahasiswa yang mengetahui celah sistem justru merasa tidak perlu bekerja keras, karena mereka tetap bisa mendapatkan hasil yang sama.
Lantas, apa yang bisa dilakukan? Apakah predikat cumlaude perlu dihapuskan? Saya kira tidak. Namun, kita perlu mengembalikan makna asli dari gelar tersebut. Kampus harus berani meninjau ulang sistem evaluasi akademik secara menyeluruh. Dosen harus diberi kebebasan dan keberanian untuk menilai dengan objektif. Mahasiswa pun harus menyadari bahwa nilai tinggi tanpa kualitas hanya akan menjadi beban di dunia nyata.
Predikat cumlaude seharusnya menjadi simbol dari kombinasi antara integritas, dedikasi, dan kecerdasan. Jika semua orang bisa meraihnya dengan mudah, maka tidak ada lagi yang benar-benar cumlaude. Sudah saatnya kita berhenti memanipulasi angka dan mulai membangun kembali budaya akademik yang sehat dan bermartabat.
Baca Juga
Artikel Terkait
-
Politisasi Ormawa: Intervensi Senior Menggerus Idealisme Mahasiswa
-
KSPM FEB UI Selenggarakan Kursus Pasar Modal, Daftar Sekarang!
-
5 Pilihan Mobil Bekas Super Irit dan Murah untuk Mahasiswa Tahun 2025: Dompet Aman, Gaya Maksimal
-
5 Mobil Bekas Murah 50 Jutaan: Kabin Luas, Tahun Muda Rekomendasi untuk Mahasiswa
-
7 Mobil Bekas Murah buat Mahasiswa: Desain Stylish, Irit BBM dan Mudah Perawatan
Kolom
-
Kreator Lokal, Pahlawan Sunyi di Balik Viral-nya Pacu Jalur
-
Kalau Pemerintah Tegas soal Rokok, Sore Gak Perlu Balik ke Masa Lalu
-
Pidato Prabowo di Kongres PSI: Antara Canda, Sindiran, dan Harapan Kosong
-
Politisasi Ormawa: Intervensi Senior Menggerus Idealisme Mahasiswa
-
Parkir Nuthuk di Jogja: Hama Wisata yang Tak Kunjung Disemprot
Terkini
-
Sore: Istri dari Masa Depan Debut 1,3 juta Penonton sejak 11 Hari Tayang
-
AFF U-23: Imbangi Myanmar, Thailand Tantang Timnas Indonesia di Semifinal
-
Ikon Metal Legendaris Ozzy Osbourne Meninggal Dunia di Usia 76 Tahun
-
Ulasan Buku Sepupu Misterius, Rahasia Sang Penulis Cilik
-
Antusiasme Tinggi, Trailer Film Mortal Kombat II Ditonton 106 Juta Kali