Di tahun 1998, Indonesia melihat sejarah berbalik arah. Presiden Soeharto lengser, Orde Baru runtuh, dan gelombang reformasi mengubah wajah politik negeri ini. Itu semua lahir dari krisis ekonomi, ketidakadilan, dan kemarahan rakyat yang meletup serentak.
Dua puluh tujuh tahun kemudian, tepatnya 2025, kita menyaksikan pemandangan yang terasa akrab, yakni ribuan orang turun ke jalan, gedung DPR dibakar, aparat dikerahkan, dan media sosial dipenuhi tagar protes. Lalu muncul pertanyaan, apakah ini Reformasi Jilid 2? Apakah kita sedang mengulang tahun 1998?
Sebenarnya tidak sepenuhnya sama. Situasi 2025 ini punya warna berbeda. Ada kesamaan di tingkat kemarahan rakyat, tapi konteks dan bentuk protesnya jauh lebih kompleks.
Mari kita ingat pemicunya. Demonstrasi tahun 1998, yang memantik protes adalah krisis moneter Asia. Ekonomi Indonesia jatuh bebas, rupiah ambruk, harga-harga melambung. Di tengah penderitaan itu, mahasiswa menuntut perubahan politik. Puncaknya, tragedi Trisakti, empat mahasiswa tewas tertembak, dan amarah rakyat tak terbendung.
Sementara itu, tahun 2025 ini dimulai dari sesuatu yang terdengar sepele tapi menyentuh nurani masyarakat, tunjangan mewah anggota DPR, sekitar 50 juta rupiah per bulan. Rakyat yang sehari-hari dihantam inflasi melihat para wakilnya hidup berlebihan.
Lalu tragedi menimpa Affan Kurniawan, seorang pengemudi ojek online yang tewas tertabrak kendaraan taktis saat membantu demonstran. Video kematiannya menyebar di media sosial, dan seketika api kemarahan menyala.
Dari titik ini, protes meledak di Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, dan kota-kota lain. Rumah pejabat jadi sasaran, kantor DPRD dibakar, dan korban jiwa jatuh. Pemerintah bereaksi dengan cara klasik, yakni mengerahkan militer, memberi label tindakan “mendekati pengkhianatan”, tapi sekaligus menjanjikan pemotongan tunjangan DPR.
Apakah ini mirip 1998? Sebagian iya. Ada rasa frustrasi terhadap elit, ada tuntutan moral agar negara berpihak pada rakyat. Tapi bedanya, 1998 itu revolusi politik, tuntutannya jelas: turunkan Suharto, akhiri Orde Baru. Tahun 2025 lebih cair. Tidak ada satu figur yang jadi musuh utama, tidak ada ideologi yang memandu. Ini amarah yang lebih emosional ketimbang ideologis.
Media sosial membuat perbedaan lain yang penting. Di 1998, mahasiswa mengandalkan pamflet, radio kampus, atau koran alternatif. Sekarang, cukup satu tagar viral di X atau TikTok, dan besoknya ribuan orang turun ke jalan. Mobilisasi jadi instan. Tapi di sisi lain, amarah yang cepat menyebar kadang juga cepat padam, tergantung tren algoritma.
Yang menarik, ekonomi kita kali ini tidak sedang ambruk total. Pertumbuhan masih ada, rupiah tidak jatuh sedalam 1998. Tapi ketimpangan sosial membuat rakyat merasa terhina melihat wakilnya hidup berlebihan. Ini soal keadilan, bukan sekadar angka pertumbuhan ekonomi.
Jadi, apakah ini Reformasi Jilid Dua? Reformasi 1998 mengubah sistem politik secara total, yakni pemilu bebas, kebebasan pers, desentralisasi. Demo 2025 ini lebih seperti alarm moral, rakyat ingin pemerintah sadar bahwa jurang antara mereka dan kaum elit makin lebar.
Namun, kita juga harus jujur, tanpa arah politik yang jelas, protes semacam ini bisa hilang begitu saja setelah tuntutan sesaat terpenuhi. Jika hanya memotong tunjangan DPR, apakah semua masalah selesai? Tentu tidak. Ketimpangan, korupsi, dan lemahnya kepercayaan publik pada institusi negara tetap menjadi PR besar.
Jadi, mungkin yang kita saksikan sekarang bukan Reformasi Jilid Dua, tapi babak baru dari hubungan rakyat dan negara di era digital. Di mana kemarahan bisa meledak dalam semalam, viral di media sosial, tapi juga bisa padam secepat trending topic berganti.
Sejarah mungkin tidak berulang dengan cara yang sama. Tapi ia sering berima. Dan 2025 adalah gema samar dari 1998, dengan nada dan irama yang berbeda.
Baca Juga
-
Mengubah Hobi Jadi Gaya Hidup Sehat Lewat Olahraga Futsal
-
Futsal dan Tren Urbanisasi: Solusi Ruang Terbatas di Lingkup Perkotaan
-
Bukan Sekadar Hobi, Futsal sebagai Investasi Kesehatan Jangka Panjang
-
Lagu Malang Suantai Sayang: Persembahan Sal Priadi untuk Kota Kelahirannya
-
Menulis di Tengah Kebisingan Dunia Digital, Masihkah Bermakna?
Artikel Terkait
-
Demo 3 September 2025: Giliran Aliansi Perempuan Indonesia Geruduk DPR RI, Ini Tuntutannya
-
Baleg DPR Belum 'Sentuh' RUU Perampasan Aset, Tunggu Naskah Rampung
-
Alasan Logis Jerome Polin Kenapa Anggota DPR Pantas Dikritik
-
Kondisi Depan Gedung DPR Sepi Demonstran, Deretan Mobil TNI Keliling Amankan Jalan
-
Warga Antusias Sambut Jihan Fahira di Tengah Kritik DPR: Yang Ini Jangan Disenggol
Kolom
-
Pegawai Melimpah, Kinerja Seret: Potret Ironi Birokrasi Kita
-
Timnas Indonesia dan Perjalanan Panjang Melelahkan yang Berujung Kegagalan Menyakitkan
-
Kasus di SMAN 1 Cimarga: Netizen Terbelah, Pemerintah Belum Ambil Bagian?
-
Validasi dari Notifikasi: Benarkah Kita Masih Tahu Arti Puas?
-
700 Bahasa Daerah Terancam Punah! Warisan Budaya Indonesia di Ujung Tanduk?
Terkini
-
Rangga dan Cinta Bukan Sekuel, Tapi Reinkarnasi Romansa Ikonik AADC
-
Nggak Perlu Obat! 6 Pose Yoga Ini Bikin Nyeri Haid Hilang dan Perut Gak Kram
-
Review Film Jembatan Shiratal Mustaqim: Horor Religi yang Mengguncang Iman!
-
Rahasia Orang Okinawa Bisa Hidup 100 Tahun Lebih,Ternyata Sesederhana ini!
-
Contek Gaya Edgy Janistar Phomphadungcheep: 5 Outfit Monokrom yang Bikin Penampilanmu Lebih Keren!