Hayuning Ratri Hapsari | Akrima Amalia
Ilustrasi sekelompok demonstran berjalan (Unsplash/AngiolaHarry)
Akrima Amalia

Beberapa hari terakhir, lini masa media sosial di Indonesia dipenuhi dengan tagar dan unggahan tentang 17+8 Tuntutan Rakyat. Gerakan ini bukan sekadar tren viral belaka, melainkan bentuk keresahan publik yang selama ini terpendam.

Berdasarkan unggahan kreator konten di Instagram, TikTok, hingga YouTube, suara yang sama menggema: rakyat butuh perubahan nyata, bukan janji-janji yang menguap di udara.

Fenomena ini menarik, karena lahir bukan dari partai politik, bukan pula dari organisasi besar, melainkan dari masyarakat sipil: mahasiswa, kreator konten, pekerja, sampai warga biasa yang merasa lelah dengan wajah lama politik Indonesia. Pertanyaannya, ketika tuntutan rakyat akhirnya menjadi arus besar, bagaimana DPR meresponsnya?

Apa itu 17+8 Tuntutan Rakyat?

Ilustrasi checklist(Unsplash/GlennCarstens-Peters)

"17+8" bukan hitung-hitungan matematika. Angka itu mewakili 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang yang disuarakan masyarakat.

Tuntutan jangka pendek (deadline satu minggu, sampai 5 September 2025) berisi hal-hal yang sifatnya mendesak. Diantaranya:

  • Tarik TNI dari pengamanan sipil dan hentikan kriminalisasi demonstran.
  • Bentuk tim investigasi independen untuk menyelidiki kekerasan aparat.
  • Batalkan kenaikan tunjangan DPR, termasuk fasilitas pensiun seumur hidup.
  • Hentikan kekerasan polisi, bebaskan demonstran yang ditahan.
  • Pastikan upah layak untuk buruh, guru, tenaga kesehatan, dan pekerja informal seperti mitra ojol.

Sedangkan tuntutan jangka panjang (target 31 Agustus 2026) menyoroti akar persoalan bangsa, antara lain:

  • Reformasi DPR secara menyeluruh, termasuk audit anggaran independen.
  • Reformasi partai politik agar lebih transparan.
  • RUU Perampasan Aset Koruptor harus segera disahkan.
  • Reformasi Polri agar lebih humanis dan profesional.
  • TNI kembali ke barak, fokus pada fungsi pertahanan, bukan keamanan sipil.

Jika diperhatikan, 25 poin tuntutan rakyat menyentuh isu paling mendasar: keadilan, transparansi, dan keberpihakan negara pada rakyat kecil. Tidak heran, tuntutan ini cepat mendapat simpati luas.

DPR akhirnya buka suara

Gelombang aspirasi publik yang terus membesar membuat DPR tidak bisa tinggal diam. Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menyatakan DPR akan merespons tuntutan tersebut.

Ia menegaskan bahwa sejumlah poin bahkan sudah disampaikan langsung oleh mahasiswa dalam audiensi dengan DPR pada 3 September 2025.

Lebih lanjut, Dasco menyebut DPR akan segera menggelar rapat pimpinan fraksi untuk membahas secara serius isi tuntutan. Menurutnya, DPR perlu menyatukan pandangan agar tidak sekadar memberi janji kosong.

Sementara itu, Ketua DPR Puan Maharani juga disebut memimpin reformasi internal sebagai bentuk evaluasi diri. Sekilas, respons ini terdengar positif.

Namun, publik masih menyisakan banyak tanda tanya: apakah langkah DPR ini sungguh-sungguh, atau hanya bagian dari strategi meredam kritik?

Antara harapan dan skeptisisme

Ilustrasi jalan bercabang(Unsplash/EinarStorsul)

Di titik ini, wajar bila publik skeptis. Sudah terlalu sering kita mendengar kata "evaluasi", "rapat fraksi", atau "pembahasan lebih lanjut". Bahasa politik yang manis, tetapi minim realisasi.

Sejak awal, DPR berada dalam sorotan karena dianggap jauh dari rakyat. Isu tunjangan fantastis, fasilitas mewah, sampai pensiun seumur hidup menjadi simbol ketimpangan yang menyakitkan.

Maka, ketika rakyat menuntut transparansi anggaran dan penghentian fasilitas istimewa, itu bukan sekadar kritik, melainkan seruan untuk mengembalikan marwah lembaga legislatif.

Namun, di sisi lain, 17+8 Tuntutan Rakyat juga membuka ruang harapan baru. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, isu-isu rakyat berhasil menyatu dalam satu narasi bersama.

Tidak hanya mahasiswa, tetapi juga buruh, pekerja kreatif, akademisi, bahkan influencer ikut bersuara. Ini artinya, tuntutan bukan lagi segmented, melainkan benar-benar kolektif.

DPR punya kesempatan emas: menjawab keresahan ini dengan tindakan nyata, bukan basa-basi.

Momentum atau formalitas?

Ilustrasi matahari terbit (Unsplash/DawidZawia)

Pertanyaan besar kini menggantung: apakah DPR akan menjadikan 17+8 Tuntutan Rakyat sebagai momentum reformasi atau sekadar formalitas untuk meredakan protes?

Jika serius, DPR bisa segera melakukan langkah konkret:

  • Membuka seluruh anggaran DPR ke publik secara transparan.
  • Membatalkan fasilitas kontroversial seperti pensiun seumur hidup.
  • Mendorong percepatan RUU Perampasan Aset Koruptor.
  • Menghentikan praktik represif terhadap suara kritis.
  • Tindakan-tindakan itu akan langsung terlihat dan dirasakan. Tidak butuh jargon, tidak butuh pencitraan. Cukup keberanian politik.

Sebaliknya, jika hanya berhenti di rapat fraksi dan janji evaluasi, maka publik akan semakin kehilangan kepercayaan. Dan ketika kepercayaan sudah runtuh, sulit rasanya membangun legitimasi kembali.

"17+8" adalah simbol. Simbol bahwa rakyat tidak lagi pasif, bahwa suara mereka bisa menggema lebih keras dari ruang sidang DPR.

Respons DPR memang patut diapresiasi, tetapi ini baru langkah awal. Publik berhak mengawasi, menagih, bahkan mendesak agar tuntutan benar-benar dijalankan.

Karena pada akhirnya, tuntutan rakyat bukanlah beban, melainkan pengingat: lembaga negara ada untuk melayani, bukan dilayani.

DPR sudah angkat bicara. Sekarang tinggal diuji, apakah mereka berani membuktikan kata-kata dengan kerja nyata.