Drama Korea ‘Angry Mom’ membuka cerita dengan kehidupan Jo Kang-ja, seorang ibu yang terkejut mengetahui bahwa putrinya, Ah-ran, menjadi korban bullying berat di sekolah. Dari sinilah drama membongkar realitas penting yakni bullying tidak pernah sesederhana ejekan atau gurauan kasar.
Dalam drama ini, bullying ditampilkan sebagai jaringan kekerasan terstruktur, di mana siswa-siswa berpengaruh, pihak sekolah, bahkan pejabat pendidikan terlibat dalam mempertahankan hierarki dan menutup-nutupi kasus.
Kekerasan verbal, intimidasi fisik, hingga pelecehan sistematis memperlihatkan bahwa bullying tumbuh subur bukan karena satu anak jahat, tetapi karena ekosistem pendidikan yang terlalu lama memilih diam.
Relevansi ini terasa kuat dengan kondisi saat ini banyak kasus bullying baru ditangani setelah viral di media sosial, setelah korban bertahan dalam diam bertahun-tahun. Drakor ‘Angry Mom’ mengingatkan bahwa masalah besar selalu dimulai dari kelalaian terhadap kekerasan kecil yang dibiarkan berulang.
Sinopsis Drakor Angry Mom: Metafora Perlawanan yang Kita Butuhkan
Sinopsis drama Korea yang dirilis pada 2015 lalu ini menceritakan tentang pembalasan seorang ibu yang anaknya dibully oleh sekelompok temannya. Keputusan Jo Kang-ja menyamar sebagai murid SMA mungkin terasa dramatis, tetapi justru di situlah kekuatan simbolisnya.
Tindakannya adalah bentuk kritik terhadap dunia orang dewasa yang sering hanya memberi nasihat untuk lebih sabar saja dan jarang benar-benar turun tangan.
Kang-ja hadir bukan sebagai pahlawan super, tetapi sebagai gambaran bahwa keselamatan anak tidak boleh dinegosiasi. Ia menolak narasi bahwa korban harus kuat sementara pelaku dibiarkan nyaman.
Pesan ini sangat relevan dengan kondisi saat ini, yang mana banyak sekolah lebih peduli pada reputasi daripada kesehatan mental murid.
Orang tua diminta untuk tidak memperbesar masalah yang terjadi antarsiswa, dan guru terlalu takut atau tidak berdaya untuk menegakkan keadilan.
Sosok Kang-ja mengingatkan bahwa keberanian memihak korban adalah bentuk perlindungan paling nyata. Namun drama ini juga menyiratkan hal penting, seharusnya tidak ada ibu yang perlu melawan sistem sendirian. Pendidikan ideal adalah ketika murid aman tanpa perlu ada Jo Kang-ja yang menyamar.
Relevansi Anti-Bullying di Era Digital: Safe Space Tidak Akan Muncul Sendiri
Meskipun dalam serial Korea ‘Angry Mom’ telah lama rilis beberapa tahun lalu, tetapi temanya tetap relevan karena bullying kini berpindah wujud.
Selain kekerasan di sekolah, ada pula cyberbullying yang mengintai dari balik layar ponsel. Komentar jahat, penyebaran foto tanpa izin, dan tekanan sosial digital membuat bullying jauh lebih kompleks.
Drama ini menegaskan bahwa safe space bukan tempat fisik, tetapi budaya. Tidak ada artinya ruang kelas baru, kamera CCTV, atau kurikulum karakter jika siswa masih saling merendahkan, guru masih takut melapor, dan masyarakat masih menormalisasi kekerasan verbal sebagai bercanda.
Dari tontonan ini juga mengajarkan bahwa empati harus dilatih, bukan diasumsikan. Ruang aman hanya lahir ketika semua pihak baik guru, siswa, orang tua, dan sekolah berkomitmen untuk melindungi suara korban dan menolak segala bentuk kekerasan sekecil apa pun. Dengan kata lain, safe space bukan slogan, tetapi tindakan kolektif.
Perubahan Dimulai dari Keberanian untuk Mendengar dan Melawan Penindasan
Bagian paling kuat dari drama Korea ‘Angry Mom’ bukan pada adegan emosional atau aksi dramatisnya, tetapi pada gagasan bahwa perubahan dimulai dari keberanian kecil seperti mendengar.
Drama ini memperlihatkan bagaimana suara korban sering diabaikan demi menjaga citra sekolah, bagaimana guru yang ingin membantu justru dibungkam oleh struktur yang lebih besar, dan bagaimana siswa belajar meniru dunia orang dewasa yang penuh kepura-puraan. Dalam kenyataan hari ini, kita melihat pola yang mirip.
Banyak kasus bullying yang dibiarkan sampai terlambat. Masyarakat lebih cepat menyalahkan korban daripada mendengar cerita mereka. Padahal mendengarkan adalah bentuk penyelamatan pertama.
Serial ‘Angry Mom’ ini juga menjadi pengingat keras bahwa anti-bullying tidak akan berhasil jika empati hanya muncul saat masalah menjadi besar. Keberanian untuk menegur, menghentikan, dan berdiri di sisi korban adalah fondasi utama dari gerakan anti-bullying.
Pada akhirnya, drama ini bukan hanya tentang seorang ibu yang marah, tetapi tentang masyarakat yang seharusnya malu karena membiarkan kekerasan tumbuh terlalu lama
Baca Juga
-
Bullying Subur Karena Kita Tak Pernah Menciptakan Safe Space, Benarkah?
-
Stop! Bilang 'Cuma Bercanda', Lelucon Bisa Menjadi Trauma
-
Pantai Jadi Destinasi: Siapa yang Mendapat Untung, Siapa yang Tersisih?
-
Berani Melawan dan Bangga Pada Diri Sendiri
-
Di Balik Putihnya Garam, Ada Luka dan Harapan Orang-Orang Pesisir Rembang
Artikel Terkait
-
Bullying Subur Karena Kita Tak Pernah Menciptakan Safe Space, Benarkah?
-
Peran Strategis Sekolah: Ujung Tombak Utama Pencegahan Bullying
-
Bullying: Beda Sikap Masyarakat Antara Korban dan Pelaku Perundungan
-
Saat Ruang Digital Jadi Ajang Menghina Mereka yang Tak Bisa Membela Diri
-
Cyberbullying: Ketika Komentar Jahat Disebut Ongkos Berada di Internet
Kolom
-
Bullying di Sekolah: Refleksi Ruang Aman yang Gagal Tercipta
-
Di Balik Gap Usia: Saat Roasting Antar Generasi Dinormalisasi
-
Cancel Culture dan Toxic Call-Out: Edukasi atau Bullying Berkedok Moral?
-
Bupati Tak Menyerah, tapi Sistem Penanganan Bencana Aceh Jelas Kewalahan
-
Bullying Subur Karena Kita Tak Pernah Menciptakan Safe Space, Benarkah?
Terkini
-
Cedera Hamstring, Marselino Ferdinan Batal Perkuat Timnas Indonesia U-22?
-
Verrell Bramasta Buka Loker Staf Ahli DPR, Jobdesk Tuai Nyinyir Warganet?
-
Doyoung Bikin Variety Show Baru, Undang Jisoo BLACKPINK dan Idola Lainnya
-
John Herdman Diisukan Jadi Pelatih Timnas, Bagaimana Rekam Jejaknya?
-
Dari Joko Anwar hingga Mouly Surya: 7 Sutradara yang Mendefinisikan Ulang Sinema Indonesia