Beberapa waktu terakhir, publik dikejutkan dengan pengakuan sejumlah influencer yang mengaku ditawari untuk membuat konten positif atau bahkan “damai” terkait kebijakan pemerintah. Pada berbagai pernyataan terbuka, mereka menyebut bahwa tawaran itu datang dengan imbalan finansial yang tidak sedikit. Lantas, mengapa pemerintah lebih memilih merangkul influencer untuk membangun narasi damai, ketimbang mendengarkan langsung suara rakyat yang mengkritik kebijakannya? Bukannya meredam kegelisahan, langkah ini justru memperlihatkan betapa miskinnya imajinasi komunikasi politik pemerintah.
Fenomena ini menarik karena memperlihatkan paradoks besar dalam demokrasi. Di satu sisi, pemerintah mengklaim terbuka terhadap kritik, namun di sisi lain justru menutup telinga dari aspirasi nyata masyarakat. Influencer dijadikan “juru bicara damai” seolah-olah seluruh kegaduhan bisa diselesaikan hanya dengan konten video yang manis. Padahal, cara ini menyedihkan karena menandakan bahwa pemerintah lebih percaya pada citra semu di media sosial ketimbang realitas di lapangan. Alih-alih memperbaiki kebijakan, pemerintah justru sibuk membangun ilusi ketenangan yang rapuh.
Influencer Jadi Peredam, Bukan Penyambung Lidah
Keberadaan influencer dalam ruang publik seharusnya dapat menjadi penghubung antara masyarakat dengan isu-isu penting. Namun dalam praktiknya, mereka kerap diposisikan hanya sebagai peredam kritik. Dengan daya jangkau besar dan pengikut yang loyal, influencer dianggap mampu menggeser opini publik dari arah yang kritis ke arah yang lebih lunak.
Sayangnya, strategi ini bukan hanya dangkal, tetapi juga mereduksi peran komunikasi publik. Influencer yang semestinya bebas menyuarakan pendapat malah terjebak dalam posisi “alat komunikasi pemerintah.” Alih-alih menyampaikan realitas warga, mereka justru dipaksa menjadi penyambung narasi top-down yang penuh kepentingan politik. Di sinilah kehilangan arah itu terlihat jelas bahwa pemerintah keliru memahami fungsi komunikasi sebagai dialog, bukan monolog yang dibungkus manis.
Narasi Damai vs Realitas Rakyat
Konten “damai” yang dibangun influencer seringkali kontras dengan kondisi nyata di lapangan. Ketika harga kebutuhan pokok naik, masyarakat kehilangan pekerjaan, atau kebijakan publik merugikan kelompok tertentu, muncul video yang menampilkan pesan seolah-olah semua baik-baik saja. Gap antara realitas dan narasi ini bukan hanya menciptakan ketidakpercayaan, tetapi juga melukai kepekaan masyarakat.
Lebih berbahaya lagi, ketika narasi damai ini terus menerus diproduksi, publik bisa menjadi apatis. Mereka akan terbiasa mengonsumsi konten yang menenangkan, meskipun kenyataan hidup sehari-hari justru penuh ketidakpastian. Alih-alih mendorong kesadaran kritis, pemerintah justru meninabobokan masyarakat dengan ilusi. Padahal, demokrasi membutuhkan keterlibatan aktif warga, bukan sekadar penonton drama politik di layar ponsel.
Bahaya Politik Tutup Telinga
Mengandalkan influencer sebagai peredam krisis pada akhirnya mencerminkan politik tutup telinga. Pemerintah tampak lebih sibuk mengelola citra daripada mendengar langsung kritik rakyat. Jika pola ini berlanjut, risiko yang muncul bukan hanya hilangnya kepercayaan publik, tetapi juga runtuhnya legitimasi politik.
Dalam jangka panjang, politik tutup telinga akan melahirkan jurang yang semakin dalam antara pemerintah dan masyarakat. Kritik yang diabaikan akan terus menumpuk, dan ketika saluran formal tertutup, masyarakat bisa mencari jalan lain untuk menyalurkan ketidakpuasan. Pada titik inilah narasi damai ala influencer menjadi kontraproduktif, alih-alih menenangkan, ia justru mempercepat ledakan kekecewaan.
Narasi damai yang dibangun melalui influencer mungkin tampak sebagai solusi cepat dalam mengelola krisis, tetapi sejatinya ia hanya menutupi persoalan. Pemerintah Indonesia kehilangan arah ketika lebih mengutamakan citra di media sosial dibandingkan mendengar aspirasi nyata warganya. Demokrasi bukanlah panggung konten, melainkan ruang dialog antara penguasa dan rakyat.
Jika pemerintah benar-benar ingin menciptakan kedamaian, langkah pertama yang harus dilakukan bukanlah membayar influencer, melainkan membuka telinga. Mendengar kritik dengan sungguh-sungguh jauh lebih berharga daripada menebar pesan semu. Pada akhirnya, kepercayaan publik hanya bisa diraih dengan keberanian menghadapi masalah, bukan dengan menutupinya di balik kamera.
Baca Juga
-
Menggugat Konsep Nama Baik Keluarga: Beban Perempuan dalam Tradisi Sosial
-
Kekerasan Aparat vs Janji Reformasi: Membaca Pesan di Balik Kematian Affan Kurniawan
-
Janji Legislasi yang Gagal: Mengapa DPR Terus Dapat Sorotan Negatif?
-
Fenomena Parentification: Saat Anak Pertama Jadi Orang Tua Kedua
-
Dari Jalanan ke Ingatan: Affan Kurniawan, Martir di Tengah Demokrasi yang Timpang
Artikel Terkait
-
Repot? Mempertanyakan Sikap Pemerintah pada Tuntutan Rakyat 17+8
-
Deadline Tuntutan 17+8, Massa Aksi Piknik di depan DPR
-
Sadar Kualitas DPR Kena Kritik, Pemerintah Ingin Politik Tak Cuma Dicicip Artis dan Orang Berduit
-
Influencer vs DPR: Aksi Nyata 17+8 Tuntutan Rakyat di Era Digital
-
Punya Platform Besar, Apakah Andovi da Lopez Juga Terima Chat Tawaran Jadi Buzzer Kontra Demo?
Kolom
-
Kesejahteraan Guru Terancam? Menag Bilang 'Cari Uang, Jangan Jadi Guru!'
-
Demokrasi Bukan Sekadar Kotak Suara, Tapi Nafas Kehidupan Bangsa
-
Repot? Mempertanyakan Sikap Pemerintah pada Tuntutan Rakyat 17+8
-
Rakyat Ingin RUU Perampasan Aset, DPR Sibuk Pangkas Tunjangan
-
Polemik Bu Ana, Brave Pink, dan Simbol yang Mengalahkan Substansi
Terkini
-
Futsal Nggak Kenal Gender: Perempuan Juga Bisa Jadi Bintang Lapangan
-
Review Film Andai Ibu Tidak Menikah dengan Ayah: Nggak Semudah Itu Jadi Ibu
-
Tanpa Mereka, Futsal Bisa Chaos, Peran Wasit yang Wajib Kamu Tahu!
-
FIFA Matchday Kontra China Taipei Menjadi Bukti Betapa Pentingnya Menit Bertanding bagi para Pemain
-
FIFA Matchday 2025 dan Semakin Matangnya Atribut Positioning Ramadhan Sananta