Di tengah banyaknya kasus perceraian dan derasnya arus perubahan nilai sosial-budaya, pernikahan kini perlahan kehilangan statusnya sebagai tujuan hidup yang diidamkan sebagian besar orang. Generasi muda kini tumbuh di dunia yang menawarkan lebih banyak alternatif menemukan kebahagiaan dan makna hidup selain dari pernikahan.
Konstruksi sosial zaman dulu menempatkan pernikahan sebagai langkah alami setelah seseorang mencapai usia tertentu. Namun kini, keputusan menikah lebih sering dilandasi dengan pertimbangan rasional, seperti kesiapan emosional, kestabilan finansial, hingga keberlanjutan karier setelah menikah. Generasi muda makin terbuka pada rasionalisasi bahwa cinta saja tidak akan pernah cukup mencukupi hidup dan meredakan tekanan sosial setelah pernikahan.
Tidak hanya di Indonesia, tren angka pernikahan global juga menunjukkan penurunan cukup signifikan yang secara umum dipengaruhi oleh perubahan persepsi sosial, alasan ekonomi, dan penundaan usia menikah di berbagai negara, seperti Jepang, Tiongkok, dan Korea Selatan. Kanwil Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta menjelaskan tren yang serupa. Jumlah pernikahan yang tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) wilayah Jakarta menunjukkan tren menurun. Tahun 2022 tercatat terdapat 47.226 pasangan menikah, sementara tahun 2023 turun menjadi 44.252, dan terus menurun hingga 2024 yang hanya mencatatkan 40.472 pasangan menikah dari total populasi 4,2 juta penduduk.
Penurunan angka pernikahan seperti yang dijelaskan di atas, bukanlah sekadar statistik semata, melainkan cerminan dari pergeseran pola pikir dan prioritas generasi muda dalam memandang pernikahan. Selain perubahan nilai sosial dan rasionalisasi generasi muda dalam memandang pernikahan, terdapat beberapa faktor penentu yang menjadikan pernikahan kini menjadi pilihan yang ditunda (delayed choice) dan bahkan menjadi pilihan yang dikesampingkan (optional choice).
Pandangan yang menempatkan pernikahan sebagai delayed choice atau bahkan optional choice ini tidaklah muncul tanpa sebab. Kesenjangan ekonomi, misalnya, dapat membuat tidak sedikit generasi muda merasa belum mampu memenuhi ekspektasi sosial yang melekat pada pernikahan, seperti memiliki rumah sebelum menikah, mengadakan pesta pernikahan, dan memulai hidup mandiri dengan stabil setelah menikah. Tingginya biaya pernikahan juga membuat pernikahan pada masa sekarang bukan lagi sekadar urusan cinta belaka, tetapi juga soal perhitungan kondisi finansial setelah menikah.
Selain itu, munculnya alternatif-alternatif bentuk komitmen selain pernikahan, seperti cohabitation atau tinggal bersama tanpa menikah, kini menjadi fenomena yang makin diterima oleh sejumlah negara, terutama di negara-negara maju. Praktik cohabitation dianggap sebagai cara realistis untuk mengenal pasangan satu sama lain lebih dalam sebelum mengambil keputusan berkomitmen besar seperti pernikahan.
Generasi muda hari ini memandang pernikahan bukan lagi hanya tentang dua menjadi satu, melainkan tentang dua individu yang sadar dan setara dalam memilih jalan bersama tanpa kehilangan identitas masing-masing.
Ironisnya, masih banyak pula generasi muda yang masih terikat pada ide tentang pernikahan, bukan pada kesiapan masing-masing dan siapa pasangan yang akan dinikahi. Mereka yang terjebak dalam married to the idea atau ide tentang pernikahan ini memilih untuk tetap menikah atau bahkan memilih untuk cepat-cepat menikah saat sudah menginjak usia tertentu karena tekanan dari keluarga, ekspektasi masyarakat, atau ketakutan menyalahi aturan standar normal tentang pernikahan.
Ironi tersebut menggambarkan bahwa sebagai generasi yang paling terbuka terhadap kebebasan pun tetap masih harus berhadapan dengan bayang-bayang norma tradisional tentang standar pernikahan. Generasi ini sadar akan rasionalitas pernikahan, tetapi terkungkung pada tuntutan sosial terhadap pernikahan.
Hal yang perlu diluruskan dalam cara generasi muda memandang pernikahan adalah mereka tidak menolak pernikahan. Generasi muda kini hanya menolak pernikahan yang menuntut pengorbanan identitas mereka. Generasi muda meyakini bahwa pernikahan seharusnya tidak lagi menjadi kewajiban sosial yang harus dipatuhi setiap orang. Pernikahan seharusnya menjadi bentuk komitmen yang lahir dari kesiapan, kesetaraan, dan keinginan untuk bertumbuh bersama. Pada akhirnya, relevansi pernikahan bagi generasi muda bukan ditentukan oleh norma sosial, melainkan oleh kesadaran dan nilai personal yang mereka pilih untuk dijalani.
Baca Juga
-
Adu Jurus Purbaya VS Luhut: Polemik Utang Kereta Cepat Jakarta-Bandung
-
Gawai, AI, dan Jerat Adiksi Digital yang Mengancam Generasi Indonesia
-
Rangga dan Cinta Bukan Sekuel, Tapi Reinkarnasi Romansa Ikonik AADC
-
Pegawai Melimpah, Kinerja Seret: Potret Ironi Birokrasi Kita
-
Refleksi Satu Tahun Komunikasi Publik Pemerintahan Presiden Prabowo
Artikel Terkait
-
Amanda Manopo Ngaku Ada yang Pakai Cara Mistis Agar Batal Nikah dengan Kenny Austin
-
Gofar Hilman Sebut Haldy Sabri Main Pakai 'Cheat' Usai Dengar Cerita Lamaran Irish Bella di Mekkah
-
Alasan Irish Bella Kepincut Haldy Sabri di Luar Dugaan, Singgung 'Bau Badan'
-
Baru Terungkap, Souvenir Mewah di Pernikahan Amanda Manopo Capai Hampir Rp10 Juta per Tamu
-
Pernikahannya dengan Haldy Sabri Dianggap 'Lavender Marriage', Irish Bella Cuma Tertawa
Kolom
-
Bahasa Kita Membentuk Dunia: Ubah Cara Bicara, Ubah Lingkungan
-
Mengulik Defender, Pembela yang Kadang Menjadi Target Serta Dampaknya
-
Ternyata, Pelaku Bullying Itu Bukan Selalu Orang Jahat: Kenapa Orang Baik Ikut Terlibat?
-
Budaya Diam di Sekitar Kita: Mengapa Perilaku Bullying Terus Terjadi?
-
Sekolah Apung: Solusi Pendidikan bagi Anak-Anak Pesisir di Daerah Terpencil
Terkini
-
Indonesia Jadi Tuan Rumah FIFA Series 2024: Untung atau Buntung?
-
Komunitas Bermain Yogyakarta "Ruang Pulang Anak Rantau di Kota Pelajar"
-
Bahas Pindah Agama Jika Menikah, Respons Jennifer Coppen Tuai Perdebatan!
-
Ahmad Dhani dan Mulan Jameela Ungkap Alasan Menyentuh Adopsi Bayi Perempuan
-
Timnas Indonesia U-20 Jalani Belasan Uji Coba Jelang Kualifikasi Piala Asia