Fenomena job-hopping atau kebiasaan berpindah kerja dalam waktu relatif singkat kini semakin sering terlihat, terutama pada generasi Z. Di tengah perubahan dunia kerja yang serba cepat, kemunculan startup, tren remote working, dan tuntutan akan keseimbangan hidup, banyak anak muda memilih untuk tidak menetap lama di satu perusahaan.
Jika dulu loyalitas dianggap sebagai nilai utama seorang karyawan, kini fleksibilitas, kesempatan belajar, dan peningkatan penghasilan justru menjadi daya tarik yang lebih besar. Inilah yang menjadikan job-hopping sebagai fenomena menarik untuk diamati di era sekarang.
Namun, apakah kebiasaan ini benar-benar strategi cerdas untuk membangun karier, atau justru tanda bahwa generasi muda mudah bosan dan tak betah? Pertanyaan ini memunculkan perdebatan di kalangan praktisi HR, pimpinan perusahaan, hingga sesama karyawan.
Ada yang berpendapat bahwa berpindah kerja memberi ruang eksplorasi dan peluang lebih besar, tetapi ada pula yang menilai hal tersebut dapat merugikan citra profesional seseorang.
Mengapa Generasi Z Sering Berpindah Kerja
Generasi Z tumbuh dalam lingkungan yang dinamis dan sarat teknologi. Mereka terbiasa dengan akses informasi cepat, peluang belajar yang beragam, serta pola pikir “tak ada yang abadi”.
Dalam dunia kerja, mereka memprioritaskan pengembangan diri, fleksibilitas, dan keseimbangan hidup. Hal ini membuat mereka tidak segan mencari perusahaan yang lebih sesuai dengan nilai dan kebutuhan pribadi mereka.
Selain itu, tekanan ekonomi dan tingginya biaya hidup juga mendorong anak muda mencari penghasilan lebih besar. Job-hopping sering dianggap sebagai jalan tercepat untuk menaikkan gaji atau mendapatkan posisi lebih tinggi.
Dengan latar belakang ini, berpindah kerja bukan semata tanda ketidakbetahan, melainkan strategi adaptif terhadap realitas dunia kerja modern.
Manfaat Job-hopping bagi Karier
Berpindah kerja dapat memberikan pengalaman yang lebih luas dan beragam. Seorang karyawan yang pernah bekerja di beberapa perusahaan biasanya memiliki jaringan profesional lebih besar, pemahaman lintas industri, dan keterampilan adaptasi yang baik. Hal ini menjadi modal penting untuk menghadapi persaingan di dunia kerja yang terus berubah.
Selain itu, job-hopping juga dapat mempercepat kenaikan penghasilan. Banyak survei menunjukkan bahwa karyawan yang berpindah kerja setiap beberapa tahun berpeluang mendapat kenaikan gaji lebih besar dibanding mereka yang menetap lama di satu perusahaan.
Dengan kata lain, langkah ini bisa menjadi strategi finansial yang menguntungkan jika dilakukan dengan perencanaan matang.
Risiko dan Tantangan yang Mengintai
Meski menawarkan keuntungan, job-hopping juga memiliki sisi gelap. Riwayat berpindah kerja terlalu sering dapat menimbulkan kesan tidak loyal, sulit berkomitmen, atau bahkan kurang mampu menghadapi tantangan jangka panjang. Bagi sebagian perekrut, catatan ini menjadi pertimbangan serius sebelum mempekerjakan seseorang.
Tak hanya itu, sering berpindah kerja juga dapat mengganggu stabilitas karier. Adaptasi di lingkungan baru membutuhkan energi, waktu, dan kadang menghambat pembentukan reputasi yang solid di tempat kerja.
Jika dilakukan tanpa strategi jelas, job-hopping justru bisa menjadi bumerang yang menghambat pertumbuhan profesional seseorang.
Fenomena job-hopping pada generasi Z adalah cermin perubahan nilai dan dinamika dunia kerja saat ini. Bagi sebagian orang, ini merupakan strategi cerdas untuk memperluas pengalaman, jaringan, dan penghasilan. Namun bagi yang lain, kebiasaan ini bisa dianggap sebagai tanda ketidakbetahan dan kurangnya komitmen.
Kuncinya terletak pada perencanaan dan tujuan jangka panjang. Berpindah kerja boleh saja, asalkan dilakukan dengan pertimbangan matang agar tetap mendukung perkembangan karier, bukan sekadar mengikuti tren.
Baca Juga
-
Saat Emosi Mengendalikan Ingatan: Mengenal Fenomena Mood-Congruent Memory
-
Hope Theory: Rumus Psikologi di Balik Orang yang Tidak Mudah Menyerah
-
Distorsi Kognitif yang Membentuk Cara Kita Melihat Dunia
-
The Power of Three: Pilar Resiliensi yang Menjaga Kita Tetap Tangguh
-
Membaca Drama 'Genie, Make a Wish' Lewat Lensa Pengasuhan Kolektif
Artikel Terkait
-
Quarter-Life Crisis Mengintai Anak Muda: Saat Usia 20-an Terasa Lebih Berat dari yang Dibayangkan
-
Waspada! Hipertensi Intai Anak Muda, Ini Resep Sehat Kata Dokter
-
Minat Menikah pada Anak Muda Menurun, Enzy Storia: Nggak Usah Buru-Buru
-
Waduh, Investor Muda yang FOMO Main Saham Bakal Alami Kerugian
-
Dari Celana 'Low-Rise' Sampai HP Jadul: Kenapa Gen Z Obsesi Sama Tren Tahun 2000-an?
Kolom
-
Banjir Bukan Takdir: Mengapa Kita Terjebak dalam Tradisi Musiman Bencana?
-
Pasal 16 RKUHAP: Bahaya Operasi Undercover Buy Merambah Semua Tindak Pidana
-
Saat Emosi Mengendalikan Ingatan: Mengenal Fenomena Mood-Congruent Memory
-
Moderate Reader: Indonesia Peringkat Ke 31 Negara Paling Giat Membaca Buku
-
Filosofi Menanam Bunga Matahari untuk Tumbuh di Tengah Quarter Life Crisis
Terkini
-
Review Film The Ghost Game: Ketika Konten Berubah Jadi Teror yang Mematikan
-
Nova Arianto Promosi, Siapa Kandidat Pelatih Baru Timnas Indonesia U-17?
-
Bukan Cuma Wortel, 5 Buah Ini Ternyata 'Skincare' Alami buat Matamu
-
Dari Aktor Top ke Sutradara Hebat: Debut Film 'Pangku' Reza Rahadian
-
6 Karakter Penting di Drama Legend of The Female General, Siapa Favoritmu?